Nama
Ciremai baru akrab terdengar di telinga saya sebenarnya setelah hobi mendaki
gunung berjalan sekian waktu, salah satu sebabnya karena letaknya berada di provinsi
yang berlainan dengan tempat tinggal. Mengakrabi sekaligus mendaki
gunung-gunung yang berada di sekitaran Jawa Tengah saja butuh waktu hampir
setahun. Untuk memilih gunung-gunung di provinsi tetangga, waktu itu saya lebih
memprioritaskan untuk mendaki gunung yang ada di Jawa Timur dulu. Barulah
setahun belakangan ini, tahun 2016, saya yang “makan bangku” kuliah lagi di PKN STAN Bintaro mulai
berkenalan dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat.
Beberapa
waktu berjalan, Ciremai akhirnya bisa saya sambangi puncaknya di akhir 2016
lalu via jalur pendakian Apuy barengan saudara-saudara di Kelompok Pecinta Alam
STAPALA PKN STAN. Ceritanya bisa dibaca disini
nih, khusus postingan kali ini bakal dibahas mengenai pendakian menuju puncak
tertinggi Gunung Ciremai via jalur pendakian Linggarjati.
Mendengar
nama Linggarjati apa yang kalian ingat? Hmmm, kayak pernah denger gitu yak.
Pastinya pernah lah, terlebih bagi mantan anak sekolahan yang dulu pernah
belajar IPS Sejarah. Yap, jalur pendakian Gunung Ciremai yang satu ini melewati
lokasi dimana Perundingan Linggarjati antara yang dilaksanakan antara Indonesia
dan Belanda pada 11-13 November 1946. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan
dimana Belanda mengakui secara de facto wilayah
RI yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura serta membentuk negara RIS (Republik
Indonesia Serikat) dengan Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran
Indonesia Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni. Itung-itung
mengingat sejarah bangsa lah ya hehe. Btw kalau kalian pengen lebih greget lagi
mengingat sejarah tersebut, bisa banget loh mampir sekalian dan melihat-lihat
isi gedungnya. Lebih santai sih enaknya kalau pas udah turun gunung saja mampir
ke gedung Perundingan Linggarjatinya.
Dalam
Bahasa Jawa, “ardi” merupakan salah satu Dasa
Nama atau nama lain dari gunung selain arga, giri, meru, dll. Mungkin
karena itu pula ikatan batin saya dengan gunung bisa dibilang erat. Pendapat
saya pribadi sih hehe. Pasalnya setiap ada waktu luang atau
tanggal merah sehari saja langsung kepikiran mau mendaki gunung mana lagi yah. Naluri
pendaki kali yaaa.
Pernah
pula satu ketika setelah lulus kuliah, saya punya waktu yang super lowong
selama satu tahun untuk menunggu penempatan kerja. Nah, saat itu adalah saat dimana
saya gencar-gencarnya menjadi pendaki gunung. Bisa hampir tiap bulan mendaki
bahkan sempat dua minggu sekali mendaki gunung. Terlebih lagi karena sangat
mudah menemukan gunung-gunung tinggi di sekitar tempat tinggal. Secara saya
hidup sedari kecil berada di sekeliling pegunungan. Mulai saat itu pula, hobi
mendaki gunung saya geluti benar-benar.
Makin
kesini hobi kadang berbenturan dengan kerjaan. Tapi jangan sampai pekerjaan
menghalangi hobi lah yaaa. Hehe… Bercanda… Kalau bisa sih seimbang, toh bisa
naik gunung duitnya dari kerja. Kesempatan naik gunung seperti saat baru-baru
lulus kuliah itu rasanya saya dapatkan kembali. Sekiranya antara bulan Desember
2016 sampai Februari 2017 alhamdulillah punya kesempatan mendaki beberapa
gunung yang tergolong luar biasa. Awal Desember 2016 saya berkesempatan mendaki
gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu Ciremai, lalu akhir Desember berhasil
menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah yaitu Slamet,
kemudian peralihan Januari ke Februari 2017 finally
bisa menuntaskan pendakian gunung dengan jalur terpanjang se-Jawa tak lain
Gunung Argopuro, dan akhir Februari 2017 bisa menginjakkan kaki di puncak
tertinggi keempat di Jawa Barat meski harus menerima bantaian tanjakan kejamnya
sedari awal mendaki yaitu Gunung Cikuray.
Khusus
postingan kali ini bakal dibahas semua tentang Cikuray termasuk pendakiannya
yang Alhamdulillah dengan lancar terlaksana beberapa waktu yang lalu. Sebagai
awalan, kita kenalan dulu yuk dengan gunung dengan bentuk mirip kerucut raksasa
ini.
GUNUNG
CIKURAY
Gunung
yang terletak di Kabupaten Garut ini memiliki tinggi puncaknya mencapai 2.821
mdpl. Jalur pendakian bisa memilih diantara 3 pilihan yaitu jalur Pemancar di Dayeuhmanggung Kecamatan Cilawu, jalur Kiara Janggot di Kecamatan Bayongbong, dan jalur di Kecamatan Cikajang. Jalur Kiara Janggot adalah jalur yang baru dibuka dan punya pertemuan jalur dengan jalur pemancar di bawah Pos 7. Dari jalur-jalur tersebut, Jalur Pemancar
lah yang menjadi paling favorit meski terkenal tanjakannya yang nggak
habis-habis.
Jalur
Pemancar juga kami pilih untuk pendakian ke puncak Cikuray saat itu. Akses
menuju titik awal pendakian cukup mudah karena gunung ini termasuk gunung yang
cukup sering didaki oleh pendaki yang kebanyakan berdomisili di Jakarta. Gunung ini juga berdekatan dengan Gunung Papandayan dan Guntur yang sama-sama populer. Bisa
dipilih berangkat dari Terminal Lebak Bulus ataupun Terminal Kampung Rambutan.
Tapi mengenai fleksibilitas waktu, bus yang berangkat dari Terminal Kampung
Rambutan lebih banyak pilihannya. Tengah malam pun masih ada bus yang berangkat
menuju Garut.
Pendakian
Gunung Cikuray via Pemancar
Begitu
sampai di Terminal Kampung Rambutan, kami langsung diserbu tawaran-tawaran para
pemburu penumpang. Jangan takut, insyaallah kalau kita menyebutkan kemana
tujuan kita pasti diarahkan ke bus yang bisa mengantar kita. Betul saja,
ternyata sudah semalam itu kehidupan terminal masih riuh. Bus tujuan Garut pun masih
banyak banget. Yap, untuk memulai perjalanan menuju Gunung Cikuray kita harus
menuju Terminal Guntur di Garut. Banyak pilihan bus yang bisa mengantar kita ke
kota yang punya sebutan Swiss van Java
itu. Tarifnya pun hanya berkisar 60 ribuan saja. Enaknya, bus yang kami
tumpangi tanpa harus menunggu penuh sudah langsung jalan. Mungkin karena sudah
ada pewaktuannya kali ya, jadi patokannya bukan penuh tidaknya penumpang.
Sekitar
lima jam perjalanan yang sepenuhnya kami isi dengan tidur, akhirnya kami sampai
di Terminal Guntur Kota Garut tepat sebelum adzan subuh berkumandang. Sekali
lagi kami beruntung karena begitu turun bus langsung mendapat tawaran mobil pick up menuju Pos Pemancar yang tak
lain adalah start pendakian Gunung
Cikuray. Tentunya bergabung dengan rombongan lain, soalnya kami hanya berempat
saja. Ada tiga rombongan dalam satu mobil itu yang tanpa sengaja atau hanya
kebetulan saja semuanya dari Bintaro. Haha kok bisa yaaa, padahal nggak
janjian.
Satu
jam perjalanan di atas mobil tanpa atap dari terminal menuju titik awal
pendakian di pagi hari yang dingin itu, kami sempat berhenti sejenak di salah satu
warung makan yang juga menjadi tempat istirahat para pendaki sebelum atau sesudah
mendaki Cikuray. Kami mengisi perut dan tak lupa membawa bekal beberapa bungkus
nasi dengan lauk khas Sunda untuk dimakan saat istirahat nanti.
Usai
sarapan kami lanjut lagi menuju Pos Pemancar yang sebenarnya merupakan tower
relay stasiun televisi. Keluar dari desa kami mulai menjumpai tanjakan-tanjakan
yang luar biasa curam. Tak lama kemudian kami sampai di satu pos perijinan
dimana kami harus menulis nama anggota dan mengisi kotak seikhlasnya. Kira-kira
10 menit kemudian sebelum memasuki kawasan perkebunan teh ada pos perijinan
lagi yang mewajibkan kami membayar Rp 10.000,- per orang. Kami lanjutkan lagi
naik mobil untuk menuju Pos Pemancar yang sudah nggak jauh lagi.
Beberapa
meter dari Pos Pemancar, kami semua turun karena dirasa mobil mengalami kesulitan
melewati tanjakan terakhir yang lumayan curam meski jalannya sudah beraspal. Belum-belum
udah harus jalan nanjak. Anggap saja pemanasan lah sebelum dihajar tanjakan
Cikuray yang sebenarnya.
Sampai
di Pos Pemancar kami repacking dan
istirahat sejenak disamping warung. Kami kira bakal ada basecamp atau sekedar bangunan tertutup yang bisa digunakan
beristirahat maupun bermalam kalau-kalau turun gunung kemalaman. Tapi ternyata yang ada
hanya warung dan pos beratap kayu semi permanen tanpa dinding. Semoga sebentar lagi
segera dibangun bangunan permanen yang bisa dimanfaatkan pendaki untuk
beristirahat.
Pos
Pemancar – Pos 1
Cuaca
saat itu sangat mendukung banget. Langit membiru dan Cikuray pun nggak tertutup
kabut sama sekali. Kami pun memulai pendakian dengan berdoa terlebih dulu dan
toss ala-ala pencinta alam untuk menjadi penyemangat. Awal perjalanan kami
langsung disambut tanjakan tajam diantara kebun teh yang ada di samping
tower-tower. Cerahnya langit saat itu makin lama membuat matahari menyengat
dengan sangat teriknya. Apalagi baru awal-awal pendakian gitu, belum masuk
hutan jadi nggak ada peneduh sama sekali kecuali shelter di Pos 1.
ceraaah, Cikuray menyambut kami
repacking di bawah tower
diturunin dari mobil disini
trek awal pendakian
diantara kebun teh
Hanya
sekitar 5 menit berjalan dari pemancar kita sampai di Pos 1. Disitu banyak
warung-warung berjajar, tapi buka hanya saat weekend saja. Dari sekian banyak warung, yang paling hits adalah
Warung Cihuy. Disitu pun ternyata kita masih harus membayar biaya administrasi lagi. Kali
ini Rp 15.000,- per orang. Bisa beberapa kali bayar gitu mungkin karena
peruntukannya berbeda. Yang pertama mungkin administrasi untuk masuk wilayah
perkebunan teh, yang kedua untuk pendakian. Gak tahu juga sih alasan tepatnya
kenapa bisa dua kali bayar, di gunung-gunung lain biasanya sih sekali doang
kan.
Pos
1 – Pos 2
Selepas
Pos 1 kita masih harus mengahdapi tanjankan tapi kali ini berupa tanah keras yang
dibuat menyerupai anak tangga. Suasana masih terbuka, jadi makin siang makin
terik saja matahari menerpa tubuh. Nggak heran bakal sering-sering minum. Perlu
diingat ya, di Cikuray jalur Pemancar ini nggak ada sumber air sama sekali jadi
harus pintar-pintar memanage air agar nggak kekurangan saat naik hingga turun
lagi. Paling nggak satu orang bawa dua botol besar dan satu botol kecil untuk
selama perjalanan.
Warung Cihuy
Sekitar
20 menit berjalan kita akan mulai memasuki kawasan hutan. Alhamdulillah jadi
teduh namun jalur seketika berubah menjadi akar-akar yang menjulur tak
beraturan tapi nanjak masih tetep. Dari catper yang saya baca sebelumnya,
memang jalur yang kami lewati ini minus bonusan alias konsisten nanjak. Hanya
ada nanjak dan nanjak abisss.
Pos
2 letaknya agak cukup jauh dari Pos 1 hingga kami berjalan serasa nggak
nyampe-nyampe. Tanjakan demi tanjakan kami lewati. Trek didominasi dengan
akar-akar pohon yang memenuhi jalur pendakian. Sampailah kami di Pos 2. Terhitung dari Pos 1 kami sudah berjalan selama 1 jam.
Pos 2 – Pos 3
penuh akar-akar
Lanjut menuju Pos 3 tanjakan masih konsisten. Kami sampai di jalur yang cukup unik yaitu jalur menanjak yang untuk melewatinya kami harus berpegangan pada akar-akar yang memenuhi jalur tersebut. Selain itu kami juga menemui jalur dengan nama Tanjakan "Wakwaw" yang ngeri-ngeri sedap nanjaknya. Tapi karena namanya lucu jadinya kami ngelewatinya sambil ketawa-ketawa sampai-sampai capeknya pun terlupakan.
Tanjakan Wak-waw
Lolos dari tanjakan itu kami kira sudah selesai, ternyata tanjakan lain masih mengintai untuk dilewati. Memang kami akui Cikuray sangat menghajar dengkul. Baru sampai Pos 3 kami sudah dibuat kewalahan. Saat itu kami sudah memperkirakan kalau tanjakan bakal gini-gini terus sampai puncak. Karenanya kami pun beristirahat dulu agak lama di Pos 3 sambil makan nasi yang telah dibungkus di warung tadi. Perut juga sudah keroncongan minta diisi. Hampir sama waktu untuk pos sebelumnya, menuju Pos 3 ini juga perlu satu jam perjalanan dari Pos 2.
Pos 3 – Pos 4
Panas terik kini telah berganti langit teduh dengan sesekali angin yang lumayan menusuk tulang berhembus. Seperti perkiraan kami sebelumnya bahwa tanjakan Cikuray jalur Pemancar ini memang sangat konsisten. Sekitar satu jam berjalan dari Pos 3 akhirnya kami sampai di Pos 4. Waktu menunjukkan pukul 12.25 WIB, disitu kami menunaikan sholat sekaligus beristirahat sejenak. Jarak antar pos hingga sampai Pos 4 lumayan sama yaitu sama-sama hampir satu jam perjalanan.
Pos 4 – Pos 7
Setelah Pos 4 jarak antar pos sudah nggak saling berjauhan seperti pos-pos sebelumnya yang rata satu jam perjalanan normal. Menuju Pos 5 nggak sampai setengah jam dan begitu pula ke Pos 6 atau yang biasa disebut Puncak Bayangan. Pos 6 ini berupa tanah datar yang lumayan luas untuk beberapa tenda. Kalau pun sedang ramai-ramainya masih memungkinkan untuk membangun tenda di sekitaran tanah lapang itu. Pas kami sampai disitu kami hanya melihat sebuah warung tanpa penghuni. Mungkin kalau weekend saja baru buka. Bakal rame juga pasti pendaki-pendaki dari sekitar Garut maupun dari Jakarta yang mendaki Cikuray. Secara do'i termasuk gunung favorit yang lumayan mudah juga buat dijangkau dari segala penjuru. Kami sempat ngebayangin kalau warung itu buka pasti bakal beli teh anget dulu disitu, pasalnya udara juga mulai dingin banget.
warung di Pos 6 a.k.a Puncak Bayangan
Cukup istirahat di Pos 6 atau Puncak Bayangan kami lanjut menuju Pos 7 yang merupakan pos terakhir sebelum puncak. Trek menuju Pos 7 menjadi yang terberat dari sebelum-sebelumnya. Kita juga bakal ketemu dengan percabangan dengan jalur Kiara Janggot yang baru dibuka. Tanjakan yang menghajar dengkul bakal sangat kita rasakan disini selain karena tenaga sudah terkuras dengan tanjakan pemanasan di pos sebelumnya, kemiringan trek sebelum Pos 7 juga jempolan.
Pos 7
Pukul 15.00 WIB kami sampai di Pos 7. Kalau dihitung sejak kami mulai berjalan dari Pemancar berarti kira-kira perlu waktu 6,5 jam menuju Pos 7. Pos ini ternyata hanya muat satu tenda saja. Kebetulan pula belum ada yang nempatin. Kami segera mendirikan tenda, setelah itu kami menunggu saat sunset tiba karena kami juga berencana menikmati syahdunya matahari tenggelam di Puncak Cikuray. Jarak dari Pos 7 ke puncak hanya tinggal paling 15 menitan saja kok. Jarang banget naik gunung bisa summit dua kali dan dapat sunset sekaligus sunset.
Pas menuju puncak ternyata di atas Pos 7 masih ada tanah lapang yang bisa muat banyak tenda. Jadi nggak perlu khawatir kehabisan tempat. Di puncak juga bisa buat camp tapi khawatirnya ada badai atau petir yang membahayakan jadi kalau camp di puncaknya mungkin bisa menjadi opsi paling terakhir dari yang terakhir. Di Puncak Cikuray yang setinggi 2.821 mdpl tersebut terdapat satu bangunan yang entah fungsinya buat apa kenapa bisa di puncaknya banget gitu. Menurut saya pribadi sih kalau sekedar sebagai shelter seharusnya dibuat di bawah puncak. Kalau pun untuk sebagai penanda puncak tertinggi lebih baik hanya berbentuk tugu saja sih. Soalnya kalau ada bangunan di puncak serasa gimana gitu. Agak sedikit ngurangin kealamian gunung itu sendiri. Menurut kalian gimana?
Bangunan di Puncak
jendela
sunset
lautan awan
Papandayan view
on the top
salam dari Puncak Cikuray
Setiap
pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha
menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung
yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari
di puncak gunung sana?
Kalau
ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan
di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita
mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain
jadikan
alasan kenapa mendaki gunung. Semua
orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa
benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua
kaki ini disana secara langsung
bukan.
Argopuro, Mount of Thousands Savanas
Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.
Menuju Basecamp Baderan
Kami
berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun
Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak
disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah
menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus
gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan
bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan.Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti
kami, bisa drop your email on the comment
form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw,
jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk
wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur,
bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa
sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo.
Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di
daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan
mobil pick up bisa dimanfaatkan buat
nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit
dengan jalanan beraspal nan menanjak.
Setelah
mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally
kami pun sampai di basecamp Baderan. So
exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang
pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul
8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada
pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa
kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa
sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih
ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro
setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.
Target
jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat
packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan
bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan
dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi
Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian
itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok
Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo
belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro
selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet.
Basecamp Baderan
Yap,
kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai
kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target
pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
Bicara
soal pendakian gunung sering kita mendengar beberapa gunung punya predikat
tersendiri, semisal gunung tertinggi, gunung terdingin, gunung terekstrim,
sampai gunung terangker. Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya dengan 7 kawan
sependakian punya kesempatan dan alhamdulillah telah berhasil menuntaskan
pendakian ke salah satu gunung dengan satu predikat tertentu. Yakni Gunung
Argopuro, gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa. Beberapa
orang tentu sudah mengetahui terlebih para pendaki gunung kalau Argopuro memang punya jalur
pendakian yang panjang dan memakan waktu lumayan lama untuk mendakinya.
Menuju Puncak Argopuro
Selama
dan sejauh apa sih mendaki Gunung Argopuro? Hmmm, Semeru saja yang notabene adalah
gunung tertinggi se-Pulau Jawa hanya perlu 3 hari 2 malam untuk naik ke puncak lalu
turun ke basecamp lagi, sedangkan Argopuro yang punya ketinggian maksimal 3.088
mdpl perlu 5 hari 4 malam untuk mendakinya secara lintas jalur, naik dan turun
melewati jalur yang berbeda. Jaraknya pun lumayan fantastis, sekira 45 km yang
harus dilewati untuk menyelesaikan pendakian Argopuro secara paripurna.
Tentang Gunung Argopuro
Argopuro
merupakan nama sebuah gunung di Provinsi Jawa Timur yang masuk ke dalam wilayah
administrasi 5 kabupaten yaitu Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan
Situbondo. Gunung ini berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Datarang Tinggi
Yang/Hyang yang memiliki luas hampir 15 ribu hektar, karenanya nggak heran
kalau masih banyak hewan liar yang ada di hutan Argopuro bahkan tak jarang yang tanpa malu-malu melintas
di jalur pendakian. Letak Argopuro yang diapit gunung populer yakni Semeru dan
Raung menjadikannya turut menjadi gunung yang tak kalah populer pula dikalangan pendaki.
Dari
segi bahasa, “argo” berarti gunung dan “puro” berarti pura. Pantas saja hal
tersebut menjadi latar belakang penamaan Argopuro karena terdapat kompleks
candi atau bangunan menyerupai pura bahkan ada juga yang menyebutnya kraton yang
sampai saat ini masih bisa kita lihat di puncaknya, meski hanya tinggal reruntuhan saja. Hal itu nggak lepas dari sejarah, mitos, dan misteri yang menjadi penghias dalam
pendakian gunung ini.
Argopuro
memiliki 3 puncak yaitu Puncak Rengganis (2.980 mdpl), Puncak Arca/Hyang yang
bisa dibilang puncak semu, dan satu lagi sebagai puncak tertingginya adalah Puncak Argopuro
(3.088 mdpl). Puncak-puncak tersebut masuk wilayah administrasi Kabupaten
Jember. Puncak Rengganis dengan kawahnya yang berwarna putih kekuningan bernama
Kawah Sijeding menjadi daya tarik tersendiri karena dari puncak inilah tercipta
nama Argopuro. Di sekitaran Puncak Rengganis bisa ditemukan reruntuhan bangunan
dikelilingi tembok yang diperkirakan dibangun pada abad ke-12 masehi.
Reruntuhan itu menyerupai kompleks kraton lengkap dengan candi, pura, serta
area pemandian. Namun sayang wujudnya sudah nggak utuh lagi. Padahal jika masih
lengkap dan tertata, tempat tersebut bisa dinobatkan menjadi situs peninggalan
sejarah yang lokasinya tertinggi se-Pulau Jawa bahkan se-Indonesia loh.
Bekas pondasi Candi di dekat Puncak Rengganis
Dua puncak yang
lain berada diseberang Puncak Rengganis, yakni Puncak Argopuro dan Puncak
Arca/Hyang yang berada saling bedekatan. Keunikan juga ada di Puncak Arca/Hyang
yang sesuai namanya disana terdapat satu arca berbentuk sapi namun kepalanya
terpenggal, entah memang sejak awal bentuknya terpenggal atau kepalanya sudah
berpindah tempat. Arca tersebut menjadi hal yang saya kagumi sekaligus menjadi
tanda tanya besar soal bagaimana pada jaman dulu kala bisa terdapat peradaban, sedangkan
lokasinya saja berada di tempat yang sangat jauh dan sulit dijangkau. Sekarang
sih enak sudah ada jalurnya, malah bisa ngojek dari basecamp Baderan sampai
Cikasur. Nah, kalau jaman dulu gimana ceritanya masuk ke hutan belantara yang
pastinya masih sangat liar lalu bisa membangun peradaban di puncaknya yang
begitu dingin dan sunyi. Itulah misteri yang menjadikan Argopuro makin patut dijadikan
tempat petualangan yang pastinya seru.
arca Sapi di Puncak Hyang
Mitos dan Misteri Gunung Argopuro
Nggak
bisa dipungkiri jika dalam setiap pendakian Argopuro selalu saja ada
bayang-bayang mistos sekaligus misteri yang menyelimutinya. Nggak sedikit yang
penasaran akan hal tersebut, namun ada pula yang hanya menganggapnya sebagai
angin lalu. Menurut saya pribadi, hal tersebut sangat menarik banget dan perlu
diketahui sebagai tambahan pengetahuan sebelum mendaki Gunung Argopuro
disamping hal-hal teknis yang memang wajib menjadi bekal bagi pendaki. Lalu apa
saja sih hal-hal yang dianggap sebagai mitos maupun misteri yang berhubungan
dengan gunung cantik ini. Sabar, insyaallah selengkapnya bakal dibahas tuntas
pada bagian ini.
Gunung
Argopuro sangat erat kaitannya dengan cerita Dewi Rengganis. Makanya nama
putri Raja Brawijaya yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit itu diabadikan
menjadi nama salah satu puncaknya. Masyarakat sekitar Argopuro pun sebenarnya
lebih mengenal nama Rengganis dari pada Argopuro itu sendiri karena memang nama
Argopuro berlatar belakang dari adanya reruntuhan pura atau kompleks kraton di
puncak yang konon menjadi kerajaan dimana Dewi Rengganis menghabiskan hidupnya
setelah mengasingkan diri karena keberadaanya yang nggak diakui. Hal itu tak
lain dikarenakan statusnya yang hanya seorang putri dari salah satu selir Prabu
Brawijaya.
Selain
Dewi Rengganis, ada pula cerita masa lalu Cikasur yang menjadi serba-serbi
tersediri saat kita membahas tentang Argopuro. Cikasur merupakan savana maha
luas yang ada di jalur pendakian Baderan. Tempat tersebut juga menjadi spot camping yang recommended bagi pendaki Argopuro karena selain ketersediaan air
yang cukup dari Sungai Qolbu, Cikasur juga menjadi habitat hewan-hewan eksotik
seperti misalnya merak hijau, ayam hutan, rusa, dan beberapa hewan lainnya.
Namun tunggu dulu, dibalik keindahan Cikasur, ternyata savana ini menyimpan
sejarah pedih pada masa kolonialisme Belanda.
Savana Cikasur - Argopuro
Oiya, sebelumya pernah menyangka
nggak sih kalau Cikasur adalah landasan pesawat??? Hmmm, percaya nggak percaya
tapi harus percaya karena banyak bukti dan peninggalan yang memperkuat kalau
Cikasur dulu sempat menjadi landasan pesawat para kompeni, seperti misalnya
puing-puing bangunan yang saat ini hanya tersisa petak-petaknya saja. Ada
juga mesin genset yang letaknya di salah satu sudut Cikasur yang tertutup
semak-semak. Btw, buat apa ya sampai dibuat landasan pesawat di gunung yang jauh dari peradaban dan
siapa pula yang dipekerjakan untuk membangunnya??? Dari cerita Cak Arifin,
pengelola basecamp Bremi, pertanyaan besar itu mulai ada pencerahan. Beliau
menuturkan alasan dibangunnya landasan pesawat di Cikasur adalah karena
keberadaan sumber daya mineral yang menjadi incaran Belanda, disamping itu pemanfaatannya sebagai
sarana untuk mengangkut daging rusa hasil buruan.
bercerita dengan Cak Arifin di Basecamp Bremi
Okey, satu pertanyaan
terjawab. Beralih ke pertanyaan siapa yang dipekerjakan untuk membangunnya,
jawaban dari pertanyaan tersebut begitu mencengangkan. Cerita sejarah kelam pun
sedikit demi sedikit menyayat hati ini. Awalnya hanya beberapa penduduk saja
yang dipekerjakan untuk membangun landasan pesawat di Cikasur, lama kelamaan
beberapa penduduk tadi mengajak penduduk yang lain untuk ikut bekerja disana.
Hingga tiba suatu waktu, Belanda meminta untuk dibuatkan galian tanah untuk
saluran. Ternyata kompeni-kompeni itu punya niatan lain yakni menjadikan galian itu sebagai
kuburan masal para penduduk yang mereka pekerjakan itu. Tujuan utamanya
agar keberadaan Belanda dengan landasan pesawatnya nggak diketahui oleh para
pejuang sekaligus supaya nggak perlu membayar upah kepada para pekerja itu. Tragis
banget, sampai-sampai air mata ini hampir tumpah saat ndenger cerita itu. Oiya,
cerita masa lalu Cikasur nggak berhenti sampai disitu. Efeknya ke jaman
sekarang adalah beredarnya cerita-cerita horor yang dialami pendaki yang
bermalam di Cikasur. Mulai cerita mistis ini dan itu saya
temukan di blog-blog para pendaki sampai cerita dari temen. Salah satunya
yang dialami Acen “Jalan Pendaki” yang saat camping
di Cikasur melihat sleeping bag tak
dikenal masuk ke tendanya. Serem juga sih, tapi untungnya saat itu kami nggak sampai
yang dilihatin atau diperdengarkan yang aneh-aneh. Meski begitu, tetep kepikiran juga sih
pas bermalam disana.
Jalur Pendakian
jalur awal pendakian
Jalur
pendakian resmi terdapat di Desa Baderan yang masuk wilayah Situbondo dan juga
Desa Bremi yang berada di Kabupaten Probolinggo. Biasanya sih para pendaki
memilih naik melewati Baderan dan turun di Bremi untuk mendapatkan pengalaman
pendakian yang lengkap. Bisa juga sih sebaliknya, tapi jalur Bremi banyak
tanjakannya apalagi menjelang dan sesudah Cemara Lima, pos dibawah puncak. Kontras
dengan jalur Baderan yang didominasi banyak banget savana yang otomatis jalurnya jadi lebih
panjang. Pilihan mau naik dan turun lewat mana tinggal disesuaikan saja dengan
sikon.
Secara
garis besar jalur pendakian Argopuro ga beda jauh kok sama gunung-gunung yang
lain. Hanya bedanya kaki bakal melangkah lebih jauh, beban di pundak yang
akan lebih berat, mata yang akan melihat pemandangan indah lebih lama, hati yang
dituntut untuk lebih bersabar menghadapi jalur pendakian yang seperti tak
berujung, dan juga makin banyak rahasia alam yang terkuak mengobati rasa penasaran.
Saya
pribadi punya julukan buat Gunung Argopuro, yaitu gunung dengan sejuta savana.
Nggak terlalu mengada-ada kok, emang savana di Argopuro banyak banget,
khususnya jalur Baderan yak. Nggak kehitung jumlahnya berapa savana yang
ditemui dan dilewati, makanya biar mudah sebut saja jumlahnya sejuta.
Mengenai
kejelasan jalur pendakian sebenarnya cukup banyak petunjuk yang telah
terpasang, namun kadang membingunkan saat terdapat lebih dari 2 cabang dalam
satu persimpangan. Kami pun sempat dua kali tersasar karena trek awal pendakian
memang bentuknya masih berupa kebun-kebun warga yang banyak sekali jalan
setapaknya. Kedua karena terdapat pula jalur ojek seperti yang sudah
diceritakan di atas, jadinya sempat ambil jalur ojek yang muternya terlalu jauh
padahal ada jalur alternatif yang lebih pendek. Semoga saja sih makin kesini
petunjuknya makin diperjelas lagi terutama saat di awal-awal pendakian yang
banyak sekali percabangan jalurnya. Setelah Pos mata air 1 (tempat camp pertama) terlewati sih
insyaallah jalur sudah sangat jelas. Oiya, makin lebih aman
kalau bawa GPS sebagai pemandu pendakian. Bisa pakai GPS konvensional atau
pakai applikasi Orrux Map yang bisa diinstal di android dan pemakaiannya nggak
perlu harus ada sinyal operator. Cara pakainya bisa dipelajari sendiri kok secara online.
Masalah
air sepertinya nggak perlu terlalu dikhawatirkan, terlebih di jalur Baderan
karena sumber air sangat melimpah. Hanya saja saat turun dari puncak kami agak
sedikit kesulitan menemukan informasi letak mata air selain di Taman Hidup. Apalagi air danau tersebut masih
disangsikan bisa dikonsumsi atau tidak. Soalnya beberapa waktu sebelum melakukan
pendakian ini saya sempat melihat video di youtube ada beberapa pendaki yang
berenang di pinggir danau lalu tampaklah air danau yang begitu keruh. Karenanya
untuk berjaga-jaga, kami mengisi penuh tempat air yang kami punya sejak sebelum
ke puncak, yaitu saat berada di tempat camp ketiga (Savana Lonceng).
sumber air di salah satu pos Gunung Argopuro
Itu saja sih yang mungkin bisa menjadi gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro. Di postingan selanjutnya bakal diceritain gimana langkah demi langkah kami berjalan dari basecamp menuju puncak hingga sampai ke basecamp yang lain, serta kejadian dan cerita apa yang mewarnai pendakian panjang 5 hari 4 malam itu. Kelanjutan cerita pendakian Argopuro bisa dibaca disini...!!!
Pulau Jawa banyak sekali memiliki pancang bumi alias gunung tersebar di permukaannya. Nggak heran kalau gunung-gunung di Jawa selalu menjadi tujuan pendakian. Banyak alasan kok untuk menjadikan gunung-gunung tersebut sebagai destinasi pendakian meskipun untuk menuju kesana harus rela menempuh jarak ratusan kilometer dan waktu yang gak sebentar dari daerah asal. Mulai dari view yang disajikan, jalur pendakian yang menguji kemampuan pendakian, hingga bisa melakukan pendakian beberapa gunung sekaligus dalam satu rangkaian waktu, karena memang banyak gunung di Jawa yang bersebelahan; missal Gunung Gede Pangrango, Sindoro Sumbing, Merbabu Merapi, sampai yang di bagian timur Jawa ada Arjuno Welirang. Pengalaman sih, beberapa kali ketemu pendaki di jalur pendakian dan ternyata dia barusan juga mendaki gunung di sebelahnya, alasannya tak lain karena mumpung udah jauh-jauh kesitu jadinya sekalian saja mendaki gunung lain yang basecampnya nggak saling berjauhan.
Saya sendiri khusus untuk gunung-gunung di Jawa Tengah sampai akhir 2016 kemarin sudah hampir semua gunung yang ketinggiannya sekitaran 3000an mdpl pernah saya pijakkan kaki di puncaknya. Kurang satu yang belum yaitu Gunung Slamet yang letaknya berada di bagian barat Jawa Tengah, lumayan jauh juga dari rumah soalnya. Pernah sih sampai di bawah gunungnya namun sayang belum berkesempatan mendaki Slamet. Hingga pada akhir Desember 2016 lalu saat ada tanggal merah, maka rencana pendakian ke atap tertinggi Jawa Tengah itu bisa direalisasikan. Biar ntar kalau ditanyain sudah ndaki kemana aja, jawabnya gampang; gunung di Jateng yang 3000an mdpl sudah semua. Hahaha, enggak gitu juga sih. Pokoknya jangan ada kesombongan sedikit pun sebagai pendaki gunung, ntar bisa “kena batunya” pas mendaki. Gak sedikit kok yang karena kesombongannya saat mendaki berakhir dengan celaka. Jadi anggap saja nambah pengalaman kalau memang sudah mendaki banyak gunung. Yang berhak sombong hanya Tuhan semata, karena Dia-lah yang maha mencipta alam yang manusia tempati dan gunung-gunung yang kita daki ini sodara-sodara. Lanjutttt…
Gunung Slamet
Kenalan dulu yuk dengan gunung yang punya ketinggian maksimal 3.428 mdpl ini. Tinggi banget yak, gak heran sih gunung ini jadi atap tertingginya Provinsi Jawa Tengah. Gunung ini masuk wilayah administrasi beberapa kabupaten diantaranya adalah Purbalingga, Purwokerto, Brebes, dan Tegal yang familiar kita kenal dengan wilayah Jawa Ngapak. Puncaknya bernama Puncak Surono yang konon bermula dari seorang pendaki di jaman dahulu bernama Surono yang terpeleset di puncak dan akhirnya meninggal. Entah kenapa alasannya, nama Surono diabadikan sebagai nama puncak Gunung Slamet. Selain itu untuk mengenang almarhum juga dibangun sebuah tugu di puncak. Di dekat puncak terdapat kawah menganga bernama Segoro Wedhi (Lautan Pasir) yang masih aktif mengeluarkan asap belerang yang baunya sangat pekat menusuk hidung terutama kalau kita lagi di puncaknya.
Jalur Pendakian
Ada beberapa jalur pendakian resmi Gunung Slamet yang bisa kita pilih untuk menuju ke puncaknya. Ada jalur Bambangan di Purbalingga, jalur Baturaden di Purwokerto, ada jalur Guci yang ada di Tegal, jalur Kaliwadas di Brebes, dan juga jalur Dipajaya yang masuk Kabupaten Pemalang. Setiap jalur punya karakteristiknya masing-masing. FYI aja nih, kalau ada beberapa spot di jalur pendakian Slamet yang konon katanya angker dan udah jadi rahasia umum sih. Ada air terjun Guci yang konon katanya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, ada mitos manusia kerdil yang dulunya adalah pendaki yang tersesat yang lama-kelamaan memakan tanaman untuk bertahan hidup sampai-sampai kehilangan jati dirinya sebagai manusia, dan yang paling menyeramkan adalah dua pohon besar di jalur pendakian Bambangan yang konon merupakan pintu gerbang menuju alam gaib serta terdapat pos yang bernama Samarantu yang katanya bermakna samar-samar ada hantu. Hmmm, mayan bikin bulu kuduk merinding sih. Tapi bisa dijadikan referensi aja siapa tahu emang ntar ketemu. Eh, bercanda… Jadikan semua itu kearifan lokal yang patut dihormati dan yang penting jaga sopan santun saat mendaki.
Kala itu kami menuju puncak Gunung Slamet lewat jalur paling mainstream namun menjadi yang difavoritkan pendaki kalau mendakinya yaitu jalur Bambangan yang ada di Kabupaten Purbalingga.
Pendakian Gunung Slamet Jalur Bambangan
Kalau ditanya kenapa pilih jalur Bambangan sebagai awal pendakian menuju puncak Gunung Slamet tak lain karena memang jalur tersebut yang paling populer di kalangan pendaki. Untuk yang pertama kali emang enaknya kalau pakai jalur yang paling rame dulu gapapa lah, baru yang selanjutnya bisa mencoba jalur lain yang lebih menantang.
Menuju basecamp Bambangan makin kesini makin gampang aja. Di Stasiun Purwokerto sudah ada angkutan yang khusus untuk pendaki yang ingin menuju basecamp. Saran saya sih mending kalau yang dari luar kota dan ada jalur kereta ke Purwokerto lebih enak kalau pakai kereta dan dilanjut dengan angkutan umum yang khusus untuk pendaki tersebut. Bahkan sampai ada paguyuban dan tanda pengenalnya juga lho. Mereka akan mengantar ke basecamp sekaligus menjemput untuk diantarkan lagi ke stasiun atau terminal.
Waktu tempuh antara Stasiun Purwokerto dan Basecamp Bambangan hanya satu jam perjalanan saja. Sembari menuju basecamp juga bisa sekalian membeli logistik yang belum lengkap. Banyak warung-warung kok sepanjang jalan menuju Bambangan.
Sampai di basecamp kita wajib melakukan registrasi dan mengurus administrasi. Kalau datang secara rombongan kita harus menulis nama seluruh anggota rombongan dan meninggalkan KTP salah satu wakilnya. Buku tamu dipisahkan perwilayah antara Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur & Luar Jawa. Jadi buku tamu untuk pendaki dari Jawa Timur dan Luar Jawa dijadikan satu, mungkin karena masih belum terlalu banyak pendaki yang naik Slamet yang berdomisili dari daerah tersebut. Tak lupa membayar karcis masuk yang masih lumayan terjangkau lah untuk kalangan mahasiswa. Saat akan mendaki kita juga bakal dibekali dengan peta jalur pendakian yang terdapat pula estimasi waktu dan jarak tempuh antar pos. Selain itu juga bakal diminta membawa dua bibit pohon yang harus dibawa naik dan ditanam di gunung.
Basecamp – Pos 1 (2,5 jam)
Pendakian dimulai dengan melewati gerbang hits di dekat basecamp. Belum terlalu menanjak karena masih melewati area perkebunan warga, namun susahnya banyak cabang jalan yang ada di kebun-kebun itu yang sedikit membingungkan. Belum apa-apa kami sudah bertanya sama warga dimana jalur pendakian yang benar.
Saat di ladang yang banyak cabangnya, ikuti jalur pendakian yang ke arah kiri. Setelah beberapa tanjakan terlewati kita bakal menemukan deretan warung sederhana berjajar dengan senyum ramah ibu-ibu menawarkan dagangannya. Awal sampai disitu pasti mengira kalau sudah sampai di Pos 1, ternyata itu hanya pos bayangan saja. Pos 1 masih jauh banget coy. Tapi segarnya semangka yang menggoda apalagi pendakian di siang bolong yang terik, sepertinya tak ada salahnya untuk mampir sejenak sekalian mencicipi tempe kemul yang hangat untuk menambah tenaga.
Tak berapa lama bakal dijumpai trek Slamet yang sebenarnya dengan tanjakan yang menghajar dengkul. Vegetasi juga mulai memasuki hutan pinus yang rimbun.
Sampai juga kami di Pos 1 yang bernama “Pondok Gembirung”.Terdapat beberapa warung di Pos 1 tersebut yang sebagian besa menjajakan makanan ringan, nasi, dan yang menjadi ciri khas adalah setiap warung pasti ada yaitu semangka dan tempe mendoan. Waktu tempuh kami dari basecamp menuju Pos 1 memang agak molor yaitu 2,5 jam karena banyak penggoda iman yang memaksa kami untuk singgah agak lama untuk menikmati santapan khas Gunung Slamet.
Pos 1 – Pos 2 (±1 jam)
Menuju Pos 2 trek pendakian makin dipersulitdengan keadaaan semalam yang sepertinya turun hujan. Tanjakan yang sebetulnya mudah dilalui, tapi karena becek dan licin sehingga perlu tenaga ekstra untuk melewatinya. Hingga sampai di ujung suatu tanjakan terlihat beberapa warung dengan aroma tempe mendoan yang menyeruak. Itulah pos 2 yang bernama "Pondok Walang".
Pos 2 – Pos 3 (±1 jam)
Makin ke atas, hutan makin lebat dan akan banyak melewati jalur pendakian yang menyerupai cerukan sempit sebagai jalan air mengalir.
Kami sampai di Pos 3 menjelang magrib, karenanya kami singgah sejenak untuk menyeruput teh hangat yang tentunya kami nggak masak air sendiri tapi beli di warung yang ada di pos tersebut. Hingga Pos 3 kami masih bisa menjumpai warung. Enak juga ya, Gunung Slamet sekarang bisa bikin tas carrier jadi lebih enteng.
Pos 3 – Pos 4 (±1 jam 20 menit)
Karena kami mulai pendakian sekitar jam 1 siang, sehingga selepas Pos 3 pun hari sudah gelap. Kami keluarkan head lamp untuk menerangi jalan kami menuju Pos 4 yang bernama Samarantu. Yap, pos yang cukup tenar namanya karena cerita-cerita mistis yang beredar. Kami sih yakin saja karena kami mendaki dengan niat baik dan gak berulah macem-macem.
Pos 4 ternyata berbentuk tanah yang tidak begitu lapang dan banyak pohon besar yang sudah tumbang. Kami lihat saat itu ada dua tenda yang ngecamp disitu. Kami kira karena banyak cerita horror tentang Pos 4 sehingga bikin pendaki menghindari mendirikan tenda di Pos Samarantu, ternyata nggak semua berfikir kayak gitu juga kan. Kami pun beristirahat sejenak sembari melihat sekeliling yang keadaannya memang cukup mencekam. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara wanita tertawa. Kami yang awalnya sedang mengobrol pun seketika terdiam. Setelah kami telusuri arah suara berasal dari tenda. Hmmm, berarti emang ada pendaki wanita disitu. Positive thingking saja lah. Kami berencana ngecamp di Pos 5. Itu pun kami harap-harap cemas dapet lapak buat mendirikan tenda atau tidak.
Pos 4 – Pos 5 Camp (±30 menit)
Jarak antara Pos 4 ke Pos 5 memang tidak terlalu jauh, tapi rasanya jadi agak jauh. Mungkin karena badan sudah lelah mendaki dan ingin segera merebahkan diri di dalam tenda.
Sampailah kami di Pos 5 yang ternyata ramai banget dengan tenda yang sudah berdiri. Oh iya, masih ada warung juga di Pos 5 loh. Kami keliling di sekitaran pos tersebut untuk melihat apakah masih ada lokasi untuk kami mendirikan tenda. Lalu kami putuskan menaruh carrier terlebih dahulu dan sebagian anggota mencari lokasi agak ke atas. Alhamdulillah masih ada satu lokasi untuk 2 tenda tersisa. Benar-benar tinggal itu saja yang tersisa. Entah kebetulan atau apa kami nggak tahu yang jelas kami sangat beruntung. Coba kalau tempat itu sudah ada yang menempati, artinya kami harus lanjut ke Pos 6 untuk dijadikan tempat bermalam kami.
Pos 5 – Pos 6 (±10 menit)
Malam saat itu kami lewati dengan begitu cepat. Rasanya baru saja merebahkan badan di dalam hangatnya sleeping bag tau-tau alarm berdering tanda kami harus bangun dan memulai summit attack dengan jarak yang masih lumayan jauh. Kami tak terlalu banyak berharap mendapat sunrise di puncak mengingat masih ada Pos 6 sampai Pos 9 yang harus kami lewati meski jarak antar posnya sudah gak begitu jauh seperti pos-pos sebelumnya. Kami memulai perjalanan meninggalkan Pos 6 sekitar pukul 04.30 WIB setelah sebelumnya mengisi perut dengan yang anget-anget dan sekalian sholat subuh.
Pos 6 – Pos 7 (±20 menit)
Seperti jarak Pos 5 menuju Pos 6 yang nggak terlalu jauh, begitu pula Pos 6 menuju Pos 7. Hingga kami mendapati pemandangan sunrise keren di Pos 7 itu. Kondisinya banyak pepohonan rimbun namun untungnya bagian yang menghadap timur lumayan terbuka sehingga pendaki yang kesiangan termasuk kami bisa menikmati hangatnya matahari terbit di Pos 7. Di pos ini juga ada warung loh. Inilah warung yang paling tinggi di jalur pendakian Slamet via Bambangan. Bisa lah kalau mau menyeruput kopi atau teh manis panas sambil menikmati munculnya mentari di ufuk timur.
Pos 7 – Pos 8 (±10 menit)
Tak perlu berlama-lama di Pos 7 karena masih ada 2 pos lagi sebelum puncak, Dari pada ntar kesiangan dan bau belerang dari kawah Segoro Wedhi makin menusuk hidung, kami pun memutuskan untuk melanjutkan pendakian menuju Pos 8 dengan melewati tenda-tenda pendaki di Pos 7 yang tersebar dimana-mana karena memang pos ini tidak berbentuk tanah lapang namun pendaki-pendaki biasa mendirikan tenda diantara pepohonan dengan tanah yang berundak.
Pos 8 – Pos 9 Plawangan (±15 menit)
Tak lama berjalan kami sampai juga di Pos 8 yang juga bisa digunakan untuk tempat ngecamp tapi perlu diingat kalau tempat ini sudah mulai terbuka dan jarang pepohonan, jadi perlu dipertimbangkan mengenai kondisi angin maupun saat hujan. Oh iya, selang dua hari setelah kami mendaki, dunia pendakian kembali berduka dengan meninggalnya dua pendaki di Pos 8. Sebabnya adalah sambaran petir ketika mereka berdua sedang berada di dalam tenda. Alam memang tidak dapat diprediksi namun segala mara bahaya bisa diantisipasi dengan salah satunya mempertimbangkan lokasi mendirikan tenda saat di gunung agar kejadian malang seperti itu tidak terulang lagi.
Pos 9 – Puncak (±30 menit)
Sampai di Pos 9 yang juga sering disebut sebagai Plawangan kami dibuat kagum dengan jalur menuju puncak yang sungguh luar biasa keren. Ukiran-ukiran alam membentuk trek sebelum puncak begitu indah, meski untuk melewatinya butuh tenaga ekstra karena kemiringannya yang tidak main-main dan juga kondisi bebatuan yang sangat labil dan mudah sekali menggelinding ke bawah. Dengan kondisi jalur pendakian yang demikian, sangat perlu kehati-hatian untuk melewatinya agar tidak terperosok dan juga agar batuan tidak mengenai pendaki yang berjalan di bawah kita.
Jalur pendakian hanya sedikit pasir, nggak seperti Mahameru maupun Merapi yang banyak pasirnya. Jalur menuju puncak Slamet didominasi tanah keras dengan bebatuan cadas yang tidak benar-benar tertancap di tanah.
Setelah terengah-engah dihajar trek menuju puncak slamet yang luar biasa itu akhirnya kami bisa sampai di dataran sebelum puncak. Kami istirahat sejenak untuk menunggu semua anggota ngumpul. Di puncak sudah rame banget pendaki yang mulai foto-foto pake kertas bertuliskan “Sayang kapan nanjak bareng…” sampai ada juga yang selimutan sarung karena memang angin disana semribit banget yang kadang agak sedikit kenceng membawa hawa dingin yang lumayan menusuk tulang.
Kami segera menghampiri tanah tertinggi Jateng dan berfoto dengan plang bertuliskan Puncak Slamet, biar afdhol gitu loh. Oiya, saya kira dari puncak sudah terlihat kawah Segoro Wedhi, tapi untuk melihatnya kita harus berjalan turun berkebalikan arah dengan saat tadi menuju pucak.
Menuju Kawah Segoro Wedhi
view kawah yang super keren
Cukup lama kami berfoto-foto di puncak kawah karena memang viewnya sungguh ciamik. Berlatar kawah Segoro Wedhi yang sangat lebar berwarna kuning dan juga mengepulkan asap, berpadu dengan gagahnya Gunung Ciremai yang beberapa waktu yang lalu sempat saya daki turut menampakkan diri di kejauhan. Sungguh perpaduan yang luar biasa. Menjelang siang kami memutuskan untuk turun ke tempat kemahuntuk segera packing dan lanjut turun ke basecamp.
Perjalanan turun cukup lancar meski sempat diguyur hujan.Sekitar jam 7 malam kami baru sampai di basecamp Bambangan. Rencananya kami dijemput mobil yang mengantar kami kemaren esok hari, sehingga malam itu kami menginap di basecamp. Btw, kalau sedang ramai pendakian, basecamp bisa sangat penuh pendaki-pendaki yang juga bermalam. Sama seperti saat itu yang rame banget, jadinya kami menginap di warung depan basecamp. Banyak juga rumah-rumah warga yang bisa dijadikan tempat bermalam kok. Sang pemilik juga tidak mematok harga untuk pendaki yang ingin menginap. Yang penting kalau bisa beli makan atau minum di warung tempat kita menginap itu sudah cukup.
Pagi hari pun datang. Kami disuguhi sunrise yang sepertinya malah lebih keren dari yang kami lihat saat di Pos 7 kemarin. Setelah bersih-bersih dan packing ulang kami pun memasukkan barang-barang ke dalam angkot yang sudah menunggu di depan warung. Kami diantar menuju terminal Purwokerto dengan melewati jalan berbeda dengan yang kami lewati kemarin. Kami dilewatkan di objek wisata Taman Baturraden yang juga menjadi salah satu jalur pendakian menuju puncak Gunung Slamet.
FYI guys, berikut ini adalah perkiraan perubahan elevasi dan waktu tempuh antar pos yang bersumber dari IG +Info Slamet. Nggak beda jauh lah dengan waktu tempuh pendakian kami yang ada di atas.
Okay, cukup segitu cerita dan info yang bisa saya bagi tentang pendakian Gunung Slamet. Gunung menyimpan banyak rahasia yang hanya bisa kita ketahui setelah mendakinya. Gunung bisa baik dan bisa juga seketika menjadi kejam saat kita bertindak melampaui batas. Semua bahaya bisa kita antisipasi, jadi persiapkan pendakian sebaik mungkin dan pertimbangkan segala yang akan kita lakukan dengan matang-matang.