YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com



Perpisahan dengan Baluran diakhiri dengan diantarkannya kami berempat dengan ojek menuju pintu gerbang keluar taman nasional tersebut. Hari itu Jumat, 25 Januari 2013 jam sudah menunjuk pada pukul 10.45 tapi kami belum tahu lokasi masjid terdekat dengan tempat kami berada saat itu untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Kata bapak petugas yang mengantar saya, di desa sebelah timur taman nasional yang bernama Desa Sumber Anyar ada sebuah masjid, lalu kami pun menuju desa tersebut yang tak jauh dari pintu gerbang. Kami pun melangkah lurus mengikuti jalan desa dan akhirnya menemukan masjid di Desa Sumber Anyar.

Kami pun menunaikan Sholat Jumat di masjid itu. Selama khotbah dibacakan khotib, saya berusaha terjaga dan mendengarkan apa isi khotbah tersebut. Namun apa daya, karena keadaan yang melelahkan, mata ini pun terpejam dan yang saya tangkap dari khotbah itu intinya mengenai Maulid nabi Muhammad SAW yang memang karena sehari sebelumnya merupakan peringatan Maulid Rasulullah 12 Rabiul Awal 1434 H. 
Mungkin juga karena lokasi Situbondo yang hampir memasuki waktu Indonesia bagian tengah maka Sholat Jumat saat itu terasa sangat singkat karena pukul 12.15 sudah diakhiri. Biasanya saya mengalami kebanyakan Sholat Jumat yang diakhiri pada jam setengah satu. 

Setelah usai berberes terutama Uul yang melipat mukena dan memakai lotion dulu, saatnya kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yaitu Kawah Ijen yang terletak di Banyuwangi bagian barat.

Kenalan dulu yuk dengan Kawah Ijen....    *-*

Kawah Ijen

Kawasan wisata ini masuk dalam wilayah Cagar Alam Taman Wisata Ijen dengan luas 2.560 hektare dan hutan wisata seluas 92 hektare. Gunung Ijen sendiri merupakan gunung api yang masih aktif yang tegak berdiri di ketinggian sekitar 2.384 mdpl. Terletak pada deretan gunung api di Pulau Jawa bagian timur yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Kaldera Ijen merupakan kaldera terbesar di Pulau Jawa dengan diameter 6 km dan terbesar kedua di Indonesia setelah kaldera Gn. Tambora di Pulau Sumbawa NTT yang diameternya 7 km. 

Daerah pembuangan air kawah terletak sebelah barat yang merupakan hulu sungai Banyu Pahit dan Banyu Putih. Danau Kawah Ijen memiliki luas 45 hektare (3X luas Ranu Kumbolo) dengan garis tengah 950 meter dan memiliki kedalaman 176 meter. Letusan Gunung Ijen yang tercatat dalam sejarah hanya terjadi empat kali yaitu tahun 1796, 1817, 1913, dan 1936. 

Untuk melihat indahnya kawah yang diberi predikat kawah paling asam terbesar di dunia dengan tingkat keasaman atau pH mendekati 0 itu kita bisa melewati pintu gerbang sekaligus basecamp bagi wisatawan yang bernama Pos Paltuding. 

Menuju Kawah Ijen

Setelah berjalan meninggalkan masjid menuju jalan raya tak berapa lama kemudian bus jurusan Banyuwangi pun kami hentikan. Saya duduk di kursi paling depan dengan harapan bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Ternyata benar, pemandangan yang disajikan cukup mamanjakan mata. Dengan sebagian besar didominasi pemandangan bahari, saya sempat terpesona pada sebuah daratan di seberang Kota Banyuwangi yang berupa pantai pasir putih dengan garis pantai yang sangat luar biasa panjangnya. Setelah melihat peta ternyata memang Banyuwangi memiliki sebuah pulau kecil tak berpenghuni di perairan Selat Bali. Namun saya juga belum bisa memastikan kalau yang saya lihat itu apakah Pulau Tabuhan atau malah Pulau Bali bagian barat. Sepertinya sih kalau diterawang secara seksama saya lebih yakin kalau itu Pulau Tabuhan. 

Selain itu juga terlihat penunjuk objek wisata Watu Dodol. Saya pun juga belum tau ada apa di dalamnya. Dari namanya bisa ditebak kalau di objek wisata tersebut ada batu-batunya dari kata "watu" dalam Bahasa Jawa yang berarti batu dan "dodol" yang berarti berjualan. Tapi setelah saya browsing ternyata "Watu Dodol" adalah nama sebuah pantai berpasir hitam di Banyuwangi. Tempat itu memiliki tanda penunjuk dengan adanya sebuah batu besar di pinggir jalan, mungkin dari situ namanya menjadi Watu Dodol. Selain batu besar, objek wisata tersebut juga ditandai dengan sebuah patung gandrung yang bertuliskan Selamat Datang di Kabupaten Banyuwangi. 


Kami diturunkan di Terminal Ketapang pada pukul satu tepat. Setelah menginjakkan kaki di terminal itu, kami yang berencana pulang ke Jawa Tengah dengan kereta api dengan maksud agar lebih menghemat biaya, maka tujuan selanjutnya adalah Stasiun Banyuwangi.  Kami pun naik angkot menuju stasiun. 
Sesampainya di depan gerbang  Stasiun Banyuwangi kemudian kami turun dan berjalan menuju loket. Di tengah perjalanan, kami dihampiri sebuah angkot berwarna kuning dengan supir berkacamata dan berpenumpang hanya dua orang ibu-ibu berjilbab. Lalu kami ditanyai pak supir itu dengan logat Maduranya yang kental hendak kemanakah kami berempat. Kami pun menjawab mau ke Sasak Perot karena rangkaian perjalanan yang ada di itinary memang harus melewati tempat tersebut dulu. Pak sopir itu pun menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami menuju tempat yang tersebut dan sekaligus membandrolnya dengan tarif Rp 8.000,-. 
Setelah kami pikir-pikir dibandingkan dengan yang ada di catatan perjalanan yang kami bawa  ternyata tidak terlalu berbeda jauh. Lalu kami ditanya lagi oleh pak sopir itu dimana tujuan akhir kami sebenarnya, kami pun menjawab serentak bahwa kami mau ke Kawah Ijen. Pak Sopir itu menawarkan lagi kepada kami untuk mengantarkan sampai Jambu yang merupakan lanjutan rangkaian rute menuju Kawah Ijen sebelum Paltuding. Tak lupa tarif yang ditawarkan disebutkan, yaitu Rp 20.000,- sampai Jambu yang kata beliau jaraknya memang jauh sekali dan tidak ada angkutan umum lagi. Menurut catatan perjalanan yang kami pegang memang dari Sasak Perot dilanjutkan dengan ojek yang tentunya lebih mahal. Kami pun memutuskan menerima tawaran bapak itu. Kami langsung masuk ke dalam angkot dan lebih dulu diantarkan ke stasiun sekaligus ditunggu sampai kami mendapat tiket. 

Sampai di stasiun ternyata loket baru buka pukul 2 siang padahal saat itu baru menunjukkan 13.30. Alhamdulillah, setelah bernegosiasi dengan dua ibu-ibu tadi akhirnya mereka bersedia menunggu sampai loket buka karena mereka jua tidak terlalu terburu-buru. 

Saya memilih menunggu di dalam angkot menjaga barang-barang, sedangkan tiga teman yang lain masuk ke stasiun. Saya didalam angkot banyak sekali melakukan percakapan dengan salah satu ibu di dalam angkot yang ternyata asli dari Jember hendak mengunjungi kerabatnya di Banyuwangi. Pembicaraan diawali dengan saling berkenalan hingga sampai dengan wejangan ibu itu kepada saya dan teman-teman untuk selalu berhati-hati dan berdoa selama perjalanan. 


Setelah menunggu hampir 5 menit saya mendapat kabar dari teman-teman kalau tiket untuk Hari Minggu sudah habis. Kami pun menuju Indomaret terdekat untuk memastikan lagi apakah tiket untuk Hari Minggu masih tersedia atau tidak. 

Yah, memang kami sudah ditakdirkan untuk memanfaatkan moda transportasi roda empat dari awal hingga akhir perjalanan. Di Indomaret pun kami juga mendapat hasil nihil....  *_*

Kami lanjutkan perjalanan menuju tujuan dengan sepanjang perjalanan kami mengorek informasi mengenai bapak sopir itu kenapa punya inisiatif menghampiri kami tadi. Umumnya kan penumpang yang mencari angkot, lha bapak ini malah yang menghampiri penumpangnya. Bahkan dikejar sampai  mendekati hampir stasiun. Beliau pun menjelaskan panjang lebar tentang betapa susahnya mencari penumpang di Kota Banyuwangi itu. Dengan perbandingan jumlah angkot yang lebih banyak dari kesempatan mendapat penumpang melalui trayek yang sudah ditentukan. Saat itu kami naik angkot bernomor trayek 6 dengan sekaligus diberi penjelasan mengenai kondisi tempat-tempat disekitar yang kami lewati dan spot-spot penting, termasuk menunjuk pada satu gunung yang memiliki status siaga yaitu Gunung Raung yang samar-samar terlihat di kejauhan. 

Pukul 14.10 kami ditunjukkan Pak Sopir kalau kami baru saja melewati Sasak Perot yang awalnya kami mau oper disitu. Ternyata benar adanya, setelah melewati terminal kecil itu kami tidak menemui angkot satu pun yang beroprasi kecuali satu angkot kuning yang berhasi kami dahului. Ternyata angkot tersebut ditumpangi lima anak muda yang Vandi dan Imam kenal. Mereka semua adalah mahasiswa di universitas yang sama dengan Vandi dan Imam. Kami pun lumayan bernafas lega karena dengan bertambahnya jumlah personil artinya nanti bisa share ongkos angkutan ke Paltuding     *-*. 

Pukul 14.45 kami sampai di Jambu dan kami pun saling bertegur sapa dengan rombongan itu yang nantinya kami akan bersatu menjadi satu rombongan bersembilan untuk menikmati keindahan Kawah Ijen yang eksotis. 
Kami direkomendasikan oleh penduduk setempat yang sedang duduk-duduk di warung untuk menyewa pick up saja karena truk pengangkut belerang kalau hari Jumat tidak beroperasi, sebab pada hari itu para penampang juga sedang libur tidak menambang belerang. 

Selang beberapa waktu ada sebuah pick up datang menghampiri kami. Setelah bernegosiasi akhirnya disepakati tarifnya sebesar Rp 350.000,- PP.
Kami pun diantar ke Paltuding ditemani sedikit mendung sesekali rerintikan gerimis terasa. Akses jalan menuju Paltuding dari arah Jambu sudah sangat bagus. Jalanan itu sudah beraspal dan tampak belum lama dibangun. Saya dengar jalan itu baru diaspal saat ada event Banyuwangi Tour de Ijen yang diadakan pada tanggal 7 – 9 Desember 2012 lalu. 

Tour de Ijen
sumber

@ Paltuding  ± 1850 mdpl
Kurang lebih pada pukul 15.30 kami sampai di gerbang pos Paltuding dengan disambut palang besi yang menutupi pintu masuk dan juga berspanduk “Temporary Closure….. bla bla bla”. Tapi semua itu tak menyurutkan niat kami untuk masuk ke dalam untuk menikmati keindahan Kawah Ijen di esok hari. 
Tak lupa kami kumpulkan uang untuk membayar setengah dari kesepakatan tadi dan sisanya kami bayar esok saat sudah diantar sampai Jambu lagi. 

Rp 350.000,- pulang pergi Jambu-Paltuding dibagi sembilan orang termasuk terjangkau dibandingkan kepuasan nanti yang akan kami dapatkan.
Kami masuk dengan menerobos palang besi yang melintang. Lalu kami menuju sebuah mushola untuk menunaikan sholat Ashar. Wow lantai musholanya dingin banget bro....   *-*

Usai sholat, kami mampir ke Warung Ijen Bu Im untuk membeli minuman hangat untuk  sekedar mengahangtkan badan di udara dingin Paltuding. 
Saat matahari mulai terbenam, terlihat rupa langit yang sangat indah disana. Kami pun terkagum-kagum akan keindahan sunset yang di tampakkan saat itu. Kami pun tak melewatkan moment itu untuk mengabadikannya. 


Keadaan sebenarnya tentunya lebih indah dari hanya sekedar foto....



Saat memotret sunset di atas kamera saya sudah dalam keadaan sekarat minta di charge namun kebetulan charger kamera lupa saya bawa. Tapi karena Vandi dan Uul masih memegang kamera dengan baterai yang masih memadai, maka saya biarkan saja kamera saya mati secara perlahan. Saat di atas nanti biar kamera mereka berdua saja yang bekerja. 
Setelah matahari benar-benar bersembunyi kami pun segera menunaikan sholat Magrib lalu mengisi perut dengan mie rebus di Warung Bu Im. 

Saat itu kami belum tau dimana kami akan tidur pada malam harinya, Vandi pun meminta ijin Bu Im untuk sekedar bisa tidur di warungnya yang buka selama 24 jam. Namun Bu Im menawarkan kami untuk tidur di sebuah pondok sebelah selatan warungnya yang tak berdinding. Bagi kami tidak masalah karena kami datang kesana untuk bangun di tengah malamnya untuk memulai perjalanan menuju puncak gunung, jadi tidak perlu tempat tidur yang terlalu nyaman.

Malam itu kami sempat ngobrol panjang lebar dengan salah satu penambang yang terasa sangat ramah kepada kami sejak kedatangan kami tadi sore. Pria yang kerap disapa Pak Yusuf itu menceritakan banyak tentang betapa keras kehidupannya beserta keadaan Kawah Ijen dari masa ke masa. Beliau yang sudah puluhan tahun menjadi penambang belerang tentunya sudah mengerti bagaimana keadaan di sekitar tempat itu secara detail. 

Beliau yang mengaku talah berusia lebih dari setengah abad namun lupa berapa tepatnya itu terdengar sangat kuat mengarungi kehidupan dengan cerita-ceritanya yang dituturkan kepada kami. Mulai dari kehidupannya sebagai penambang yang harus naik turun Paltuding-Kawah Ijen yang berjarak 3 km. Setelah sampai puncak gunung pun beliau dan penambang lain harus menuruni turunan curam ke dasar kawah untuk menggali "kepingan emas" dalam bentuk belerang yang mengalir dari perut bumi lalu memadat karena dinginnya udara. Sampai cerita lain mengenai kehidupan beliau dengan dilema untuk memilih "menggantung" sementara pikulan belerangnya untuk menjadi seorang guide bagi wisatawan. Pilihan antara menjadi penambang dan menjadi guide terasa kurang adil karena jelas-jelas usaha yang dikeluarkan lebih berat saat menjadi penambang, namun beliau mengaku pendapatan yang dihasilkan jika menjadi penunjuk jalan jauh lebih besar. 

Jika belerang satu kg dihargai Rp 780,- dan satu kali angkut beliau mengaku bisa memikul 80-100 kg belerang, namun kalau badannya sedang kurang fit hanya bisa memikul 50 kg. Namun di lain sisi jika menjadi guide, pendapatan yang bisa dihasilkan sebesar Rp 100.000,- untuk sekali mengantar wisatawan asing maupun lokal. 
Beliau menjelaskan kalau dirinya memang ditakdirkan untuk menjadi penambang belerang sehingga aktifitasnya lebih banyak dihabiskan untuk menambang belerang dari pada menjadi seorang guide. 

Cerita miris dari beliau yang mengaku hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD itu adalah saat penimbangan belerang yang dilakukan sebanyak dua kali, di dekat pondok bunder (atas) dan di pos Paltuding (bawah) dengan peraturan yang dirasa kurang sportif. Penimbangan belerang yang menunjukkan berat lebih banyak saat ditimbang atas menyebabkan catatan selisih lebih hasil penambangan tidak dianggap. Lain halnya saat penimbangan akhir di Pos Paltuding jika menunjukkan angka yang lebih besar tapi anehnya catatan hasil penambangan tidak juga ditambah. 
Misalnya saat ditimbang di atas menunjukkan berat 85 kg dan saat ditimbang di bawah menunjukkan 80 kg, maka yang dianggap adalah seberat 80 kg. Namun, saat penimbangan di atas menunjukkan berat 70 kg sedang saat di timbang di bawah menunukkan angka 75 kg,  yang dianggap adalah yang 70 kg. Jadi penimbangan yang dicatat adalah hitungan penimbangan yang paling ringan di antara kedua tempat tersebut. 

Penambangan belerang di Kawah Ijen dikelola oleh PT. Candi Ngrimbi unit Banyuwangi dengan jumlah total penambang menurut Pak Yusuf sebanyak 500 orang yang silih berganti menambang.

Oiya, setiap penambang di Kawah Ijen harus terdaftar secara resmi lho... Dibuktikan dengan selembar kartu dengan nama, tanda tangan, dan masa berlaku yang tertera dan baliknya tercap tanggal dilakukan penambangan. Sehingga jika ada penambang yang tidak memiliki kartu tersebut belerang yang dibawanya tidak akan dihargai.







Pak Yusuf juga menawarkan kepada kami jika berminat menggunakan jasanya sebagai guide, namun beliau tidak ada sekalipun paksaan kepada kami. Kami sempat pikir-pikir sejenak, lalu kami memutuskan untuk naik tanpa guide saja karena memang ada salah satu dari rombongan yang sebelumnya pernah sampai kawahnya. 

Perbincangan malam itu pun kami akhiri karena sudah semakin larut. Beliau pun kembali untuk beristirahat dan begitu pula kami.


Next Day

Pukul satu tepat kami bangun untuk bersiap-siap trekking untuk menyaksikan secara langsung api biru atau blue fire yang berkobar di daratan dekat penambangan. Kabarnya fenomena alam itu hanya ada dua di dunia yaitu di Islandia dan di Kawah Ijen itu sendiri. 

Jam yang sudah menunjukkan pukul setengah dua menandai dimulainya langkah kami menuju Kawah Ijen yang berjarak 3 km dari tempat kami berada saat itu. Perjalanan menuju puncak kami awali dengan berdoa bersama. Pendakian dini hari tersebut kami tempuh dengan santai dan beberapa kali istirahat di tengah jalan karena rombongan kami memang lebih banyak ceweknya. 

Setelah berjalan menanjak 2 km yang didominasi jalan tanah berpasir yang licin, kami sampai di Pondok Bunder yang merupakan sebuah bangunan yang dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda. Bangunan itu berbentuk setengah lingkaran atau yang dalam Bahasa Jawa disebut bunder, sehingga dinamakanlah demikian. Fungsi utamanya untuk mengukur curah hujan per tahun. Disini kami beristirahat lagi mengumpulkan tenaga untuk menyelesaikan 1 km terakhir. 
Setelah total dua jam berjalan dimulai dari pos Paltuding, kami mulai melihat bibir kawah yang dipenuhi asap belerang yang mengepul dan menyesakkan dada. Terlebih angin saat itu mengarah ke tempat kami berdiri. Kami buru-buru memakai masker karena bau belerang makin tajam. Walau begitu, kepulan asap berbau khas belerang tersebut tak menghalangi kami untuk melanjutkan langkah mencari dimana letak api biru berada. Kami mengikuti rombongan turis di depan kami yang ditemani seorang guide menuju dasar kawah untuk melihat blue fire. Kami tidak langsung turun begitu saja, tapi harus menunggu beberapa saat hingga angin berhembus berlawanan arah dengan kami agar asap belerang tidak terlalu menusuk hidung.

Tak berapa lama angin pun berbalik arah membawa kepulan asap menjauhi kami sehingga kami bisa melihat dengan jelas api biru dari atas. Melihat dari jarak yang jauh saja tentunya belum memuaskan kami, sehingga kami memutuskan untuk turun ke bibir kawah untuk melihat secara langsung dalam jarak yang dekat. Dengan menuruni trek berbatu yang lumayan labil dan menuntut kewaspadaan ekstra, kami menuruni trek dengan jarak kurang lebih 900 m hingga bibir kawah yang juga dipakai para penambang. 

Waktu itu kami sudah mulai berpapasan dengan beberapa penambang yang hendak naik dengan pikulannya padahal hari masih gelap lho. Saat berpapasan dengan penambang sebaiknya kita mengalah dan memberi jalan kepada mereka. 

Kobaran api biru pun semakin dekat dan kami bisa melihatnya dengan jelas. Ternyata  blue fire itu secara alami keluar dari tanah lho, subhanallah sekali. Hal ini sangat luar biasa sehingga setelah kami mengabadikan kobaran api biru itu kami menunaikan sholat Subuh berjamaah di dataran agak lebih tinggi di dekat lokasi api biru tersebut. 

Di bibir kawah, kami juga ditawari souvenir yang terbuat dari belerang yang dicetak dengan berbagai bentuk yang unik dengan harga hanya Rp 2.500,- saja. Kami berempat membeli souvenir dengan bentuk yang sama yaitu kura-kura, karena saat itu memang yang sudah dicetak hanya bentuk kura-kura. Turis asal Jerman di dekat kami juga membeli souvenir dari belerang seperti yang kami beli namun berbentuk pesawat terbang, tentunya dengan harga yang berbeda dengan kami. 
Kata bapak yang menjualnya sih bisa buat mengobati penyakit kulit, di pakai buat sabunan mungkin yak..... *-*


oleh-oleh dari Kawah Ijen, Kura-kura Belerang


Setelah matahari mulai menerangi cekungan kawah, kami pun naik ke atas untuk menikmati pemandangan sekitar yang saat kami lewati tadi hanya gelap gulita saja yang terlihat. Memang sih kami melewatkan moment sunrise di puncak ijen saat itu, namun kami tak menyesal karena memang posisi matahari sedang ada di balik gunung di depan kawah. Gunung itu menghalangi keluarnya mentari pagi dari horizon, sehingga saat hari makin siang, barulah matahari mulai tampak. 

Sepanjang perjalan turun gunung kami pun menikmati pemandangan yang tak sempat kami nikmati saat naik.

Ternyata view saat matahari mulai meninggi sangat menakjubkan. Dihiasi perbukitan indah, gunung dengan bentuk lope lope, sampai Gunung Raung tegak menjulang di kejauhan dengan puncaknya yang khas gunung berapi yang aktif juga menambah sempurnanya pemandangan yang ada. 
Sepanjang perjalanan turun kami hentakkan kaki dengan berlari agar tak terlalu capek menahan beban tubuh dengan posisi tanah yang lumayan miring. 

Sampai di Paltuding kami beristirahat sejenak lalu sarapan nasi goreng di warung Bu Im  #lagi. 

Mobil pick up kemaren janjinya akan menjemput kami pada pukul 10 tepat. Namun baru sekitar jam 8 sudah terlihat sebuah mobil bak terbuka yang sama dengan yang kami naiki sehari sebelumnya diparkir di depan warung pinggir jalan. 
Karena semua rangkaian perjalanan saat itu sudah terselesaikan dengan beragam kepuasan dan kebanggaan pada Indonesia yang kami dapat, akhirnya kami semua berpamitan dengan pemilik warung yang sangat baik hati. Selanjutnya kami berjalan menuju jalan beraspal di depan pintu gerbang menghapiri pick up yang sudah siap mengantar kami. 


Sampai ketemu lagi Ijen semoga saat aku mengunjungimu lagi kelak, engkau masih seindah kini.....



Tabel Akses Transportasi, Lama Perjalanan, dan Tarif

*ongkos bisa saja berubah sewaktu-waktu


1
 T.N. Baluran – Terminal Ketapang
30 menit
Bus Jurusan Banyuwangi
Rp 5.000,-
2
 Term. Ketapang – Stasiun Banyuwangi  
5 menit
Angkot Kuning
Rp 5.000,-
3
 St. Banyuwangi  –  Jambu
1 jam
Carter Angkot kuning
Rp 20.000,-
4
 Jambu –  Paltuding
45 menit
Carter Pick Up
Rp 350.000,-
(Jambu – Paltuding – Jambu)
5
 Paltuding – Kawah Ijen
2 jam
Jalan kaki
GRATIS



Galeri Perjalanan kami di 


jalan yang masih anget-angetnya dibangun

Uul yang menikmati perjalanan di atas pick up

mak nyuossss...!!!

yang laper yang haus...  yang narsis #wew

keramahan pemilik warung....  cling cling **

galeri di dinding warung

blue flame yang WoW

sholat subuh yang luar biasa disamping subuh akhir Desember di Mahameru

semangat pak.....!!!

Terus mengepul tanpa henti

hati2 brooo...

Vandi, Uul, & saya

ukiran alamnya ajiibb

tosca tosca tosca exotic

view pegunungan dari Kawah Ijen

demi anak istrinya....

gak Bromo gak Ijen ketemunya bule Jerman

senyum semangat sebelum penimbangan, kali aja bisa menambah bobot


17:26:00 11 komentar

Salah satu anugerah yang patut disyukuri bagi seorang backpacker adalah mendapat tempat yang bisa menampung dikala sedang dalam perjalanan. Hal itu pula yang saya dan teman saya +Angga dan Uul dapatkan saat hendak ngetrip ke Pulau Sempu, Malang Selatan. Awalnya trip ini rencananya hanya bertiga saja setelah acara ajak-mengajak teman tidak menghasilkan suatu apapun. 
Saya pun mengajak teman sekelas saya di STAN BDK Manado yaitu Doni untuk ikut juga sekalian sebagai navigator perjalanan. Ternyata Doni tak hanya bersedia diajak sebagai penunjuk jalan namun juga bersedia menyisihkan ruangan di rumahnya sebagai tempat kami bermalam. Mimpi apa ternyata dia juga mengajak untuk ngetrip ke berbagai tempat di sekitaran Blitar tentunya mudah dijangkau dari rumahnya. Disamping target utama mengunjungi Pulau Sempu yang menyimpan laguna super cantik, ternyata Doni siap mengantarkan kami ke Gn. Kelud, Candi Penataran, dan Makam Bung Karno "Sang Proklamator" terlebih lagi juga menyediakan dua motornya sebagai sarana untuk mencapai tempat-tempat tersebut.
Hari pertama kami habiskan dengan mengunjungi tempat wisata di sekitaran Blitar. Yang pertama di kunjungi adalah Gunung Kelud di perbatasan 3 kabupaten yaitu Kediri, Blitar, dan Malang. Gunung ini merupakan gunung berapi yang memiliki ketinggian 1.731 mdpl. Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah (hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat aktivitas tahun 2007 yang memunculkan kubah lava, danau kawah nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan air. Puncak-puncak yang ada sekarang merupakan sisa dari letusan besar masa lalu yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di sisi barat daya runtuh terbuka sehingga kompleks kawah membuka ke arah itu. Puncak Kelud adalah yang tertinggi, berposisi agak di timur laut kawah. Puncak-puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan.Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik dalam sejarah Kelud dengan munculnya asap tebal putih dari tengah danau kawah diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus "tumbuh" hingga berukuran selebar 100 m. Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk mendorong kubah lava sisa letusan tahun 1990.
Sejak peristiwa tersebut aktivitas pelepasan energi semakin berkurang dan pada tanggal 8 November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi "siaga" (tingkat 3).
Danau kawah Gunung Kelud praktis "hilang" karena kemunculan kubah lava yang besar. Yang tersisa hanyalah kolam kecil berisi air keruh berwarna kecoklatan di sisi selatan kubah lava.
Di puncak Gajahmungkur dibangun gardu pandang dengan tangga terbuat dari semen. Pada malam akhir pekan, kubah lava diberi penerangan lampu berwarna-warni. Selain itu, telah disediakan pula jalur panjat tebing di puncak Sumbing, pemandian air panas, serta flying fox. 
Saat kami disana memang cuaca sedikit mendung namun tak mengurangi keindahan gunung itu dengan bentangan alamnya dan juga puncak tebing yang langsung menghiasi pemandangan saat sampai di parkiran.

16:31:00 3 komentar


Indonesia tak ada habisnya untuk dijelajahi karena tempat-tempat indah yang tersaji seakan tercecer diseluruh daratan maupun lautannya. Hal itulah yang membuat saya kurang tertarik dengan ajakan-ajakan ke luar negeri meski lagi promo-promonya, karena di Indonesia saja sudah cukup indah kenapa harus ke luar negri gitu lho.... *-* 

Destinasi yang saya datangi di kesempatan kali ini memang tidak disangka bakal kesampaian. Sempat saya dan salah seorang teman merencanakan suatu trip ke tempat yang kerap disamakan dengan pemandangan yang ada di Afrika itu, namun agaknya masih harus menunggu waktu yang tepat untuk bisa mengunjungi taman nasional tersebut karena waktu liburan kami yang berbeda. 

Mau kemana emang??? 

Itu lho Baluran yang juga punya predikat sebagai Afrikanya Pulau Jawa  atau orang sono bilang "Africa van Java".... *-*
Dari julukannya aja bikin penasaran....

Yap, tak disangka selang dua hari, tiba-tiba ada sms yang masuk. Ternyata itu adalah Uul, teman SMA yang juga beberapa waktu lalu juga ngetrip bareng ke Pulau Sempu dan Gn. Kelud, mengajak untuk mengunjungi TN Baluran di akhir bulan Januari 2013 ini. 

Kebetulan banget kan.... 

Tanpa berlama-lama, langsung saja saya iya kan...


Bakal sepi sepertinya kalau hanya sedikit personil saja yang berpartisipasi, jadi diajaklah beberapa teman lagi untuk join. Karena saat-saat itu merupakan waktu berhembusnya badai skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir, sehingga hanya 4 orang saja total yang berangkat. Saya, Uul, Vandi, dan Imam.

Kami pikir-pikir secara seksama, tidak afdhol rasanya pergi ke lokasi wisata yang terhitung jauh dari domisili kami yaitu di sekitaran Joglo Semar (Jogja, Solo, Semarang) kalau hanya mengunjungi satu tempat saja. Oleh karena itu kami juga memutuskan untuk sekalian ke Kawah Ijen yang letaknya tak begitu jauh dari TN Baluran.

Setelah dua minggu berdiskusi lewat dunia maya tanpa ada pertemuan untuk pembahasan satu kalipun, kami pun memantapkan hati pada tanggal 23 januari 2013 untuk memulai perjalanan dengan berkumpul di kos Vandi di sekitaran UNS. Meskipun saat itu sempat terdengar isu kalau Kawah Ijen dalam masa siaga dan ditutup bagi wisatawan tapi kami mantap saja.


Selepas Magrib saya pun tiba di kosan Vandi dan disusul Uul satu jam berikutnya. Kami merencanakan berangkat pada pukul 23.00. Untuk mengisi waktu sekalian menunggu waktu keberangkatan kami pun berdiskusi terlebih dahulu mengenai itinary yang telah dibawa Uul. Ia mendapatkannya dari kakak tingkatnya yang belum lama ini mengunjungi TN Baluran di Situbondo dan Kawah Ijen di Banyuwangi.

Dari situ pula kami juga dapatkan beberapa nomor telepon penting menenai akomodasi dan transportasi selama di Baluran.

Setelah dirasa cukup mantap kami pun berangkat dimulai dari kos Vandi menuju halte depan Kampus UNS. Setelah beberapa menit menunggu, Imam pun datang menyusul kami. Kemudian pukul 23.30 naik lah kami di salah satu bus ekonomi jurusan Jatim dengan tarif Rp 30.000,-.  Perjalanan tak banyak kami isi dengan percakapan karena sudah terlalu larut. Alangkah lebih baik jika selama perjalanan diisi dengan istirahat dan tidur karena perjalanan menuju TN Baluran masih sangat panjang.


24 Januari 2013

Tak terasa hari sudah berganti. Pukul 04.25 kami pun tiba di Terminal Purabaya kota Surabaya yang kami lanjutkan dengan sholat Subuh di masjid terminal. Tanpa diawali dengan sarapan, pada pukul lima pagi kami pun lanjut menaiki bus menuju Probolinggo karena memang untuk menuju TN Baluran harus melalui operan beberapa bus dari Surabaya.  
Dengan tarif Rp 14.000,- per orang kami tiba di Terminal Bayuangga pada pukul 07.30. Terminal ini mengingatkan saya saat beberapa waktu lalu saat hendak melakukan perjalanan menuju Gn. Bromo bersama teman STAN BDK Manado. 

Sampai di Terminal Probolinggo, kami baru tahu kalau bus yang kami tumpangi dari Surabaya itu melewati TN Baluran dan kami tidak perlu turun untuk ganti bus lagi. Hanya tinggal menambah ongkos untuk sampai Baluran sebesar Rp 25.000,-. Perut pun mulai keroncongan minta diisi, namun saat menunggu bus berangkat tak kami pakai untuk singgah di warung karena khawatir jika kami turun nanti bus akan berangkat. Untunglah Uul membawa dua kotak brownies yang lumayan untuk mengganjal perut. 


Pukul 8 tepat bus pun melaju menuju Situbondo dengan pemandangan di tengah perjalanan yang cukup memanjakan mata. Sesekali kami melewati tempat wisata, salah satunya Pantai Bentar di Kab. Probolinggo dan juga tempat yang menjadi favorit saat perjalanan wisata ke Bali saat SMA dulu yaitu PLTU Paiton, tapi  saat itu lampu-lampunya tidak terlalu menarik karena saat melewatinya masih siang bolong.


Kami mendapat kejutan setelah dua seperempat jam di dalam bus, ternyata bus yang kami tumpangi itu mengharuskan kami melanjutkan perjalanan ke TN Baluran dengan pindah bus jurusan Banyuwangi, tapi untunglah tanpa biaya tambahan karena memang ongkos Rp 25.000,- yang kami bayar di terminal Probolinggo tadi memang ongkos untuk sampai Baluran. Setelah beberapa menit menunggu dengan duduk-duduk di terminal Situbondo kami pun berangkat menuju Baluran pukul 11.45. 


Pukul satu kurang sepuluh menit siang kami melintasi papan bertuliskan “Anda Memasuki Kawasan Taman Nasional Baluran” di sisi kiri jalan. Sejak saat itu sepanjang perjalanan hanya terlihat hutan lebat di sisi kanan dan kiri jalan. Sempat terlihat di satu sudut jalan segerombolan sapi dengan asik memakan rumput di pinggir jalan yang seakan tidak takut tertabrak oleh kendaraan-kendaraan besar yang lalu lalang di jalan raya Situbondo-Banyuwangi tersebut. 

Ternyata jarak papan penunjuk yang pertama terlihat tersebut cukup jauh dengan pintu gerbang taman nasional. Sampai-sampai pada pukul 13.20 kami baru turun dari bus tepat di depan pintu gerbang Taman Nasional Baluran. 



Tabel Lama Waktu, Transportasi, dan Ongkos Bus



WAKTU
PERPINDAHAN
TRANSPORTASI
TARIF
LAMA
23.00 - 04.25
Solo –  Surabaya
Bus Jurusan Surabaya
Rp 30.000,-
± 5,5 jam
05.00 - 07.30
Surabaya – Probolinggo
Bus Jurusan Banyuwangi
Rp 14.000,-
± 2,5 jam
08.00 - 11.45 - 13.20
Probolinggo – Situbondo – T.N. Baluran
Bus yang sama tapi disuruh ganti bus saat di terminal Situbondo
Rp 25.000,-
± 5,5 jam
Solo – Taman Nasional Baluran
±13,5 jam

Sesampainya di Baluran kami lantas melapor kedatangan kami di pos jaga di dekat gerbang. Saat itu kami juga masih kebingungan untuk masalah transport masuk sampai ke Savana Bekol yang jaraknya 12 km karena bapak petugas yang kami kontak sebelumnya untuk menyediakan angkutan masih berada di dalam taman nasional dan belum bisa dihubungi lagi karena minimnya sinyal disana.


Merak di kandang dekat Visitor Center
Selanjutnya kami diarahkan untuk menuju pusat informasi untuk melakukan pendaftaran dan mengurus administrasi. Di Visitor Center itu juga kami membayar tiket masuk per orang Rp 2.500,- dan untuk menuju savana Bekol kami direkomendasikan oleh petugas pusat informasi untuk menggunakan ojek dengan tarif Rp 30.000,- sekali jalan.

Di pusat informasi kami sempat ditegur oleh petugas karena untuk masalah penginapan kami terhitung dadakan untuk melakukan pemesanan atau sekedar memferivikasi tentang rencana kami menginap. Namun syukur alhamdulilah masih ada 2 kamar kosong di Wisma Merak dengan tarif Rp 100.000,- per kamar. Awalnya kami berharap bisa menginap di Wisma Rusa yang lebih murah namun karena sudah penuh terisi oleh serombongan mahasiswa dari Jogja ya sudah berarti memang itu yang harus kami terima. Sebelumnya kami juga sempat berharap bisa mendapat penginapan di Bama dengan pemandangan pantai pasir putihnya dan saat pagi hari bisa menikmati indahnya sunrise saat membuka pintu kamar. Namun harapan itu juga harus kandas karena selain yang harganya agak tidak terjangkau, penginapan itu juga sudah penuh terisi pengunjung.

Setelah menunaikan sholat dhuhur dan ojek sudah siap, kami pun melaju dengan sigap menuju Savana Bekol dengan bapak ojek yang ramah. Ojek tersebut juga memberi tawaran jika kami pengen berhenti di tengah jalan untuk fot-foto suruh bilang saja. Oke Pak.... Cabuuutttt.... *-*

Sebelum menaiki ojek sempat kami disambut oleh segerombolan monyet-monyet yang seakan meminta makanan kepada kami. Tapi karena makanan yang kami bawa terbatas dan apalagi kami juga belum makan sedari tadi pagi, membuat kami tidak sempat bersedekah kepada para monyet itu. Maap yaa....

Mulailah kami menyusuri jalan beraspal menuju Bekol dan sempat berhenti di tengah jalan karena terlintas seekor burung merak, namun saat hendak disamperin merak hijau itu segera kabur.

akses jalan beraspal menuju Bekol
Jalanan menuju Bekol dari pos Batangan cukup membuat tepos karena jalan yang selesai diaspal pada tahun 1983 itu sampai sekarang belum direnovasi lagi. Sudah bisa terbayang kan betapa rusaknya, mengingat frekuensi pengunjung yang sangat besar.

Sepanjang jalan Batangan-Bekol kami melewati hutan yang hijau sepanjang tahun atau Evergreen Forest dan juga satu spot menarik , tapi sayangnya belum sempat kami lihat secara langsung.  Sempat melintasi papan penunjuk di pinggir jalan yang bertuliskan "Sumur Tua" dengan jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan. Menurut bapak petugas ojek yang mengantar saya, sumur itu merupakan peninggalan masyarakat jaman dulu yang tinggal di Baluran. Saat Gunung Baluran meletus, mereka secara "bedhol desa" mengungsi dari tempat tersebut sehingga tertinggalah sumur tua yang tidak ikut mereka bawa   #yaiyalaah. 
Kata beliau yang sudah sejak 1998 menelusuri TN Baluran sebagai petugas, sempat ia jumpai seperti pembatas desa berupa tumpukan batu bata di tengah hutan. Hal ini turut membuktikan bahwa memang jaman dulu Baluran merupakan kawasan yang berpenghuni. Beliau juga menceritakan bahwa kerbau-kerbau yang ada di Baluran sekarang ini merupakan peninggalan dari sesepuh desa di masa lampau yang makamnya juga terdapat di Baluran. Tapi cerita itu belum terlalu lengkap saya dapatkan karena memang itu merupakan selingan saat perjalanan. Setelah hampir 20 menit kami pun sampai di sebuah padang savana yang luas dengan rerumputan hijau. Saya pikir inilah yang dimaksud mirip savananya Afrika. Terlebih kalau kesana saat musim panas, pasti bakalan lebih dapet feel Afrikanya. Karena kami datang saat musim penghujan sehingga rerumputan savana di Bekol sedang hijau-hijuanya. Terbelesit fikiran untuk bisa mengunjunginya lagi saat musim panas nanti untuk lebih merasakan atmosfir Afrika di savana itu.

Sesampainya di Bekol kami disambut oleh tiga ekor merak yang seakan tidak canggung lagi dengan kedatangan manusia, bahkan salah satu merak terlihat sedang asik nangkring di atas papan bertuliskan Bekol dengan memamerkan bulu hijan nan eksotisnya. 
Selanjutnya kami menuju pos informasi untuk menanyakan masalah penginapan. Kami diantar menuju wisma merak yang bangunannya sebagian besar terbuat dari kayu. 
Kami  segera memasukkan barang-barang ke dalam kamar. Tak berapa lama terlintas dua mobil yang sempat kami temui saat mereka membeli tiket masuk di pusat informasi tadi, lalu Vandi pun punya ide untuk nebeng mereka sampai di Pantai Bama. Kebetulan mereka juga mau kesana. Kedua mobil tersebut semuanya berisi pria bersarung dan berkopyah khas anak pondok. Tapi saat kami tanya dari pondok mana mereka menjawab kalau mereka hanya dari perkumpulan remaja saja, bukan dari pondok manapun. Setelah Vandi ngobrol dengan ketua rombongan ternyata kami diperbolehkan untuk nebeng mereka. Kami bergegas mengunci kamar lalu masuk mobil mereka. Walau dengan berdesak-desakan tak apa lah yang penting gratisss *-*.

Terimakasih kakak sudah memberi tumpangan Bekol-Bama pulang pergi,
semoga kebaikanmu dibalas Allah SWT

Jarak penginapan kami di Bekol dengan pantai Bama memang tidak terlalu jauh hanya 3 km, tapi kalau jalan kaki memang menguras tenaga, apalagi kami baru saja sampai setelah perjalanan panjang. 

Sampai di Bama kami disambut lagi dengan segerombolan monyet yang satu spesies dengan yang menyambut kami di pos penjualan tiket. 
Pantai Bama adalah pantai berpasir putih dengan dihiasi pohon bakau disekelilingnya. Ditambah ada monyet-monyet yang hilir mudik dengan tingkah polahnya yang menambah keindahan pantai ini. Pemandangan komplit seperti ini sepertinya jarang bisa dijumpai di pantai lain. 
Saat kami disana, langit di seberang laut terlihat bergradasi antara langit mendung dan langit cerah yang menjadi perpaduan pemandangan yang sangat luar biasa. 

Setelah puas bermain dan bernarsis di tepi pantai, kami pun menyudahinya dan bersiap kembali ke penginapan agar bisa nebeng mobil yang sama seperti tadi.  *-*  yeee
Sampai di penginapan suasana begitu berbeda karena terlihat lebih gelap dan nyamuk ganas khas kebun pun mulai berdengung, sayang tak satu pun dari kami yang membawa anti nyamuk. 
"Semoga malam ini darah segarku gak jadi santapan mereka", doa saya dalam hati...  
Memang listrik di penginapan terbatas mulai jam setengah enam sore sampai jam 6 pagi, maklum lah di tengah hutan taman nasional soalnya.
Langit malam hari disana terlihat sangat cerah. Kami berharap semoga pada pagi harinya juga masih tetap cerah, agar bisa menikmati sunrise di Pantai Bama.
Perut pun sudah tidak bisa berompromi lagi dan minta diisi nasi. Kami pun menuju kantin untuk mengisi perut. Menu malam itu adalah nasi soto dengan telur rebus dan segelas the manis hangat yang dihargai Rp 10.000,-. Sekalian kami memesan makanan untuk esok hari sebagai sarapan setelah perjalanan ke Pantai Bama. Setelah perut kenyang kami kembali ke penginapan untuk segera beristirahat karena esok hari akan berburu sunrise di Pantai Bama, dengan berjalan kaki tentunya. 
Memang saat sore hari sebelumnya kami sudah mengunjungi Pantai Bama, namun kami ingin menikmati perbedaan suasana pantai saat pagi harinya. 
Sebelum tidur kami sempat menuju savana untuk hunting foto pemandangan Baluran saat malam hari. Saat itu pula dari kejauhan terdengar ada langkah hewan yang lumayan besar sempat kami tangkap pergerakan dan perawakannya di remang-remang savana. Kami pun menebak kalau hewan itu adalah kerbau liar yang sedang mencari minum di kubangan air di pinggir savana. Tapi nggak tahu juga, gelap soalnya....

25 Januari 2013

Pukul empat pagi kami bangun dan menunaikan sholat subuh secara berjamaah di teras penginapan dengan beralas jas hujan kuning. Setelah itu kami bersiap memulai perjalanan menuju Pantai Bama dengan menyusuri jalanan tanah yang masih gelap. Tak lama berjalan ternyata sinar mentari pagi mulai menggradasi gelapnya langit malam Baluran. 
Saat sampai di Pantai Bama matahari sudah lumayan meninggi. Ternyata keadaan pantai sedang surut, sehingga terlihat makluk-makluk pantai yang terjebak di perairan dangkal. Ada teripang, ada bintang laut, dan sebagainya.


Suasana Pantai Bama saat surut di pagi hari

Setelah puas kami pun kembali ke Bekol dengan berjalan kaki dengan mengamati keadaan sekitar siapa tahu ada hewan-hewan eksotis yang sedang beraktifitas. Ternyata saat hendak sampai di penginapan, serombongan rusa dengan tanduk pendek sedang mencari makan di padang rumput Bekol. Memang diantara penghuni savana bekol yaitu Banteng, Kerbau Liar, Rusa, dan kawan-kawannya, hewan Rusa lah yang paling tidak segan beraktifitas dengan lalu lalang manusia.

Hari mulai sinag, kami segera bersiap untuk meninggalkan Baluran menuju destinasi berikutnya. Tak berapa lama kemudian, hujan deras pun turun. Sembari menunggu hujan reda kami mandi dan mengambil sarapan yang sudah dipesan tadi malam.
Setelah semua beres kami memesan ojek dan menuju pos keluar. Di perjalanan Bekol-Batangan kami disuguhi atraksi yang tidak kami dapat saat perjalanan awal, yaitu atraksi sekawanan kupu-kupu berwarna-warni yang beterbangan tertabrak oleh laju sepeda motor.
sekawanan kupu-kupu mengiringi perjalanan
sumber
Sungguh Taman Nasional yang menawarkan keindahan yang tiada tara, walau feel Afrika yang kami harapkan belum bisa dirasakan sepenuhnya, tapi kami berkomitmen untuk bisa kembali ke TN Baluran di musim yang berbeda untuk menikmati suasana layaknya Afrika yang tak bisa didapatkan di sembarang tempat. 
Baluran seperti memiliki dua muka yang teramat kontras. Jika sempat menjumpai keduanya seakan bisa mendatangkan kepuasan tersendiri bagi siapa saja yang menikmatinya. Di musim hujan dimana savana terlihat menghijau dengan suburnya dan pepohonan yang begitu lebat, sebaliknya saat musim kemarau savana akan berubah menjadi kering kecoklatan dan pepohonan yang menggugurkan daunnya. 
Tak hanya fenomena itu yang bisa didapat di kedua musim, namun banyak perbedaan lain mengenai tingkah polah hewan yang ada disana. Saat musim hujan hanya sedikit hewan yang aktifitasnya bisa dilihat dengan mudah karena sumber air pada cekungan-cekungan tanah di seluruh permukaan tanah Baluran sudah terisi air sehingga saat mencari minum tak perlu ke tengah savana. Lain halnya saat musim kemarau, aktivitas hewan bisa dibilang terkonsentrasi di savana Bekol karena hanya sumber air buatan yang ada di savana lah yang menjadi incaran para satwa. Selain air minum, ketersediaan makanan bagi mereka tentunya tersedia di savana itu. Alhasil saat kemarau itulah hewan-hewan penghuni Baluran akan mudah ditemui di savana.



Berikut adalah dua muka Baluran saat musim penghujan dan kemarau,

foto yang bawah diambil dari buletin Baluran edisi 2 April - Juni 2010

Hijaunya savana Bekol di musim penghujan 
Semoga bisa merasakan sisi lain baluran ini di lain waktu
sumber : Buletin TN Baluran


Ini dia sebagian oleh-oleh saat kami berkunjung ke TN Baluran, check these out......


Rusa-rusa lucu mencari minum


pepohonan eksotis

Gunung Baluran


siluet pohon Gebang 


di depan wisma Merak

Foto yang wajib dibuat, LOMPAAAAATTTT.....!!!

Kera di Pantai Bama

jalanan Bekol - Bama

ada Merak nangkring di atas pohon tuh

luasnya savana di Baluran

tengkoran kerbau liar yang dipajang di pinggir savana

menjelang Sunrise

mentari pagi di Pantai Bama

refleksi siluet

Pantai Bama di sore hari

suasana pantai Bama di pagi hari


Berikut informasi penting mengenai TN Baluran diambil dari web resminya, berlaku mulai tahun 2008 dan sampai saat saya menunjunginya masih berlaku. Namun tentunya keputusan ini bisa saja berubah sewaktu-waktu.









Peta persebaran Satwa di TN Baluran, barangkali kalau kesana ketemu hewan-hewan eksotis ini.






















Biaya-biaya ke Baluran

Transport Solo - T.N. Baluran
Rp 69.000,-
Tiket Masuk
Rp 2.500,-
Ojek Masuk
Rp 30.000,-
Makan Malam
Rp 10.000,-
Sarapan
Rp 10.000,-
Penginapan
Rp 50.000,-
Ojek Keluar
Rp 30.000,-
TOTAL
Rp 201.500,-

Trip kali ini tidak berakhir begitu saja di Baluran, masih ada Kawah Ijen yang menanti, bagaimana cerita kami disana ???
Selengkapnya disini.

23:14:00 9 komentar
Newer Posts Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)