YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com


Tidur di empuknya "kasur alam" ditemani angin gunung yang selalu dirindukan pendaki, walau sejenak rasanya lelah selama pendakian sehari sebelumnya bisa hilang saat terbangun dari nyenyaknya tidur malam itu. 


sssttt....   *cerita pendakian hari pertama bisa dibaca disini nih.

Di dini hari yang dingin, saya dibangunkan bukan oleh alarm yang berdering, namun karena rasa kebelet pipis yang sudah tak tertahankan. Membuka tenda lalu keluar, saya mencari spot yang aman untuk "melegakan diri*. Meski dinginnya gak karuan, tapi pemandangan kerlap-kerlip bintang dan lampu-lampu di kejauhan menjadikan mata yang masih ingin terpejam menjadi terbuka lebar.

Bayu pun juga ikut bangun, dan melihat jam ternyata sudah hampir jam 3 pagi. Kami pun memutuskan langsung siap-siap saja untuk melakukan summit attack. Diawali dengan memasak mie instan dan susu coklat untuk sekedar menghangatkan badan dan mengisi tenaga sebelum muncak.

Pukul 3.20 semua telah siap di carrier masing-masing dan memastikan tidak ada barang berharga yang tertinggal dan kami pun memulai summit attack.

Oiya, penting sekali untuk memastikan tidak meninggalkan barang berharga di dalam tenda karena menurut kabar, di Gunung Sindoro banyak kasus pencurian. 
Sempat juga baca-baca di blog pendaki yang pernah mendaki Sindoro, katanya pernah ada yang kehilangan carrier besar beserta isinya sampai yang paling parah adalah kasus pencurian tenda   ckckck.....

Seringnya sih pencurian terjadi di sekitaran Pos 3. Tapi untuk antisipasi, di sepanjang jalur pendakian kita harus bisa menjaga diri dan barang-barang masing-masing yaaa....!!!
Saat itu kami memutuskan untuk membiarkan tenda tetap berdiri saja, tapi barang yang sekiranya penting kami dibawa.

Diawali dengan doa, kami mulai melangkahkan kaki mendekati puncak. Udara dingin lama-lama mulai tak terasa lagi karena badan yang dipaksa terus bekerja, sampai-sampai tak terasa keringat dingin pun bercucuran. 
Nafas tersengal mungkin sudah menjadi hal biasa dalam pendakian, tapi dengan semangat menggebu kami terus saja melangkah dengan sestabil mungkin agar tidak terlalu sering mengambil waktu untuk beristirahat.

Sepuluh menit berjalan kami sampai di Pos 4 atau yang biasa disebut “Watu Tatah”. Di tempat itu ada satu rombongan yang sedang menghangatkan badan dengan api unggun, tapi sepertinya belum berniat melakukan summit attack. 
Tak berlama-lama disitu kami lanjutkan perjalanan.

Kami sampai di trek yang menuntut kami mengerahkan seluruh tenaga kami karena kemiringannya yang cukup wow, sampai-sampai lutut bisa ketemu sama dada saking ektrimnya. Tangan dan kaki saling bekerja sama meraih bebatuan untuk menaiki trek tersebut.

Sampailah kami di Hutan Lamtoro yang di penuhi dengan Lamtoro  #yaiyalah. Tau kan Lamtoro itu apa? Menurut saya sih tanaman itu adalah hasil persilangan beberapa tanaman. Karena memang saat melihatnya saya teringat pada beberapa jenis tumbuhan. Melihat pohon dan daunnya saya jadi ingat pohon Petai Cina, melihat buahnya sekilas mirip kacang kapri, melihat bijinya seperti biji kedelai, dan mencium bau bijinya sangat persis dengan Pete bahkan lebih parah bau Lamtoro malah…. *-* weks...

Oke, lanjuttt…!!!

Kami saat itu terhitung melangkah dengan cepat dan tidak banyak beristirahat, karena memang air yang semula 3 botol besar hanya kami bawa masing-masing satu botol saja, dengan begitu akan meringankan kami dalam melangkah.


Di seberang, Gunung Sumbing masih setia menemani kami walau masih diselimuti kegelapan malam. Sempat juga terlihat cahaya senter dari Sumbing yang mengarah ke kami, mungkin juga lagi summit attack kali yaa. 
Pengen sih berteriak pada mereka, "Woooy kalian sampai mana...? puncaknya sudah kelihatan tuuuh..."
Tapi kalo bener-bener teriak sama pendaki Gunung Sumbing itu, bakalan gempor sendiri ni mulut. Mereka juga belum tentu mendengar.... 
Lebih baik saling senter menyenter saja yang lebih mengena...  *-*

Makin mendekati puncak nafas makin tersengal dan detak jantung mulai berdegup kencang hingga sampai terdengar di telinga, namun alhamdulillah kaki masih diberi kekuatan oleh-Nya untuk terus melangkah.

Puncak sudah terlihat namun mungkin itu merupakan puncak palsu. Kata Bayu, di Sindoro ini terdapat beberapa puncak palsu di bawah puncak sejatinya yang terkadang menipu para pendaki. 

Kali ini kami benar-benar tertipu, kami kira yang kami lihat saat itu adalah puncak palsu ternyata malah puncak sejatinya…. wah wah  *-*

Kami pun terheran-heran, masih sepagi ini sudah sampai di puncak. Kumandang adzan subuh pun belum terdengar, karena memang saat kami sampai di puncak, jam baru menunjukkan pukul 4.15. Kami pun bingun mau ngapain…  #wew

Sejauh itu, artinya kami sudah menghabiskan waktu selama hampir satu jam dari tempat kami ngecamp di bawah Pos 4 untuk akhirnya sampai di puncaknya.

Pemandangan sesaat kami sampai di puncak  masih gelap gulita. Hanya terlihat samar-samar kawah besar yang menganga mengepulkan asap sulfatara di sebelah utara. 
Dengan bau belerang yang lumayan menyengat, kami menggelar sajadah untuk menunaikan sholat Subuh.

Bintang dan bulan masih bersinar di langit yang mulai keabu-abuan. Bagitu pula di ufuk timur mulai terlihat gradasi cantik berhiaskan gumpalan awan tebal di bawahnya. 

Perlahan mentari pun menyingsing, namun angin yang kurang bersahabat sempat menerbangkan asap belerang  pekat ke arah kami. Alhasil pemandangan pun sempat tertutup kelamnya asap pekat dari Kawah Jolotundo. Angin yang bertiup saat itu juga termasuk angin basah yang membuat lensa kamera sampai badan kamera sedikit basah berembun.

Sumbing masih menghitam....  eksotis....

Tak bertahan lama akhirnya angin pun mulai bersahabat dengan tidak berhembus ke arah kami sehingga kami jadi lebih leluasa mengabadikan momen spesial dengan mentari yang mulai menyingsing.


Menanti Sunrise di Puncak Sindoro

subhanallah.....   *-*

sempat kabut kabut dikit.... tetep ajibs....

Subhanallah…. pemandangan yang sangat luar biasa, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata deh pokoknya….   *-*
04:31:00 12 komentar

Pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan saya sebelumnya kalau tak jauh dari tempat tinggal saya, berdiri beberapa pancang bumi alias gunung yang jaraknya tidak terlalu jauh antara satu dan lainnya. Mungkin bagi teman-teman yang tinggal di sekitaran Salatiga-Kopeng sudah pasti akrab dengan yang namanya pemandangan gunung-gunung yang menjulang.
Tentu bisa menyebutkan gunung-gunung apa saja yang dekat dari situ kan… *-*

Oke, diulas kembali sedikit saja ya. Mulai dari yang paling timur ada Gunung Lawu, Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Ungaran, Sumbing, Sindoro, dan yang paling barat yang jaraknya sudah agak lebih jauh yaitu Slamet. 


Sindoro Sumbing dari Puncak Telomoyo

Si Kembar Sumbing Sindoro dari Merbabu

Sumbing - Sindoro dari Puncak Merapi


dari kiri ke kanan
Gunung Selamet, Sumbing, Sindoro, dan Gunung Prau-Dieng Plateu

Tulisan kali ini bakal saya manfaatkan untuk berbagi pengalaman saya dalam pendakian yang masih anget-angetnya dilakukan. Bisa dikatakan saat nulis postingan ini, pegel di kaki masih belum hilang   *-*. 


Mendaki Gunung Sindoro (3.153 mdpl)


Sampai lah saya pada kesempatan untuk mendaki salah satu gunung yang start awal pendakian bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan dari rumah. Gunung yang saya maksud adalah Sindoro. Sering pula disebut-sebut sebagai kembaran Gunung Sumbing yang ada di sebelah selatannya.

Pendakian di weekend pertama bulan Juni 2013 kemarin dilakukan hanya berdua saja dengan Bayu, teman satu almamater STAN yang juga sempat nanjak bareng ke Merapi sebulan yang lalu. Bayu pernah mendaki Sindoro sebelumnya, namun tentunya setiap pendakian walau di gunung yang sama pasti view yang terhampar akan berbeda. 
Pengalaman Bayu mendaki Sindoro sebelumnya tentu akan lebih meringankan pendakian kali ini karena sedikit banyak medannya sudah nyangkut di kepalanya.
Setelah fix segala persiapannya, kami pun janjian bertemu di basecamp pendakian Gunung Sindoro via Jalur Kledung.


06:32:00 7 komentar


*Sebelumnya, baca dulu cerita perkenalan dengan Merapi dan pendakian hari pertama yaa, ada disini nih...
Hari kini telah berganti menjadi Minggu, 5 Mei 2013. Pagi buta kami dibangunkan oleh alarm yang berdering kencang. Lepas dari kehangatan selimut, hal yang pertama kami lakukan adalah masak-memasak di dalam tenda untuk sekedar menghangatkan badan sekaligus mengisi perut sebagai persiapan summit attack. Kami tak perlu membawa carier lagi untuk ke puncaknya, cukup dengan daypack saja yang diisi perbekalan.

Setelah beres kami pun mantap keluar tenda. Kami mulai melangkah pada pukul 03.15. Setelah berjalan sekitar lima menit saya tersadar kalau daypack yang terisi perbekalan tertinggal di tenda karena dua orang teman saya itu terlihat tidak menenteng tas yang disiapkan tadi. Tafid dan Bayu mengira kalau daypack yang saya bawa saat itu adalah tas yang berisi perbekalan, padahal yang saya bawa hanya berisi kamera dan beberapa snack saja. Jadi mau ga mau salah satu dari kami harus balik ke tenda.   #ya maap  *-*
Bayu pun segera berlari untuk mengambil daypack yang satunya.

Menunggu Bayu balik, di tempat saya berdiri saya melihat ke langit. Subhanallah, cerah sekali dini hari itu. Berarti kami juga harus siap-siap bakal mendapatkan kejutan dari Sang Kuasa yaitu pagi yang cerah dengan sunrise memukau    #amin.

Bayu pun sudah balik ke posisi kami menunggu. Tapi biarkan dia istirahat dulu karena tampak ngos-ngosan banget setelah berlari tunggang langgang mengambil daypack yang tertinggal. 
Oke, kami siap melanjutkan perjalanan yang terhenti. Bukit berbatu siap kami hampiri dan kami daki. Trek saat itu berupa bebatuan besar, diselingi kerakal, dan sedikit ada pasir-pasirnya. Semua elemen itu membentuk satu bukit yang lumayan curam. Sehingga terkadang kami juga harus merambat-rambat di celah-celah bebatuan untuk menaikinya. 
Setidaknya ini menjadi pengalaman yang mengesankan bagi kami bisa menemui trek yang berbeda sensasinya di setiap gunung, termasuk di Merapi ini.

Sampai juga di atas bukit kedua, di depan kami terlihat puluhan tenda yang sepertinya masih berpenghuni dan belum ada yang berencana mau naik ke puncak. 
Dalam hati saya pun bertanya-tanya, Apa kami kepagian ya??? 

Yap, camping ground yang bernama Pasar Bubrah itu sebenarnya adalah tujuan awal kami. Ternyata letaknya tak terlalu jauh-jauh banget dari tempat kami ngecamp semalam. So, kami nggak menyesal memilih tempat camp di tempat tadi, secara tenda kami terbebas dari angin ribut. Tapi memang sih di Pasar Bubrah kita bisa bersembunyi dibalik batu gede yang berserakan untuk menghindari hempasan angin, tapi sekali lagi kami tidak menyesal ngecamp di bawah bukit karena tempatnya kami anggap lebih istimewa     hehe *-*.

Ngomong-ngomong ternyata emang kami kepagian karena saat kami sampai di Pasar Bubrah, jam baru menunjuk pada pukul 03.40. Jadilah kami menunggu waktu Subuh tiba, sekalian mencari barengan untuk summit attack yang juga akan menjadi trek paling seru di Merapi.

Kami lihat di sekeliling kami saat itu banyak tenda yang berdiri. Tapi tak sedikt pula pendaki yang hanya tidur beralaskan matras (tanpa tenda), padahal anginnya #brrrr  kaya gitu lah pokoknya. Kami saja yang mau mencari tempat nyaman bebas angin buat duduk-duduk saja susah banget. Lah itu malah ada yang tidur tanpa tenda, nekat juga...

Sambil nunggu waktu Subuh tiba, kami leyeh-leyeh dulu. Tafid dan Bayu berlindung di sela babatuan besar, sedangkan saya memilih rebahan di cerukan seperti gua yang muat satu orang saja.
Pukul 04.15 kami menunaikan Sholat Subuh.
Saat menunaikan sholat pun kami tak luput oleh hempasan oleh angin yang menimpa badan kami. Meski begitu, subuh saat itu merupakan yang luar biasa. Biasanya kalau di gunung, saya seringnya subuh di akhir waktu. Malah kadang sholatnya bisa sehabis sunrise (jangan ditiru lho..!!!). Beda saat di Merapi waktu itu, kami bisa sholat subuh dengan tepat waktu   #applause.

Pukul 04.30 kami start summit attack. Sudah banyak rombongan pendaki yang juga naik ke puncak. Terlihat pula beberapa bule Jerman yang mulai naik.
Saatnya kami menyusul….

Para pendaki bisa memilih trek menuju puncak sesuai selera tapi keamanan juga harus dipertimbangkan lho. Kami memilih trek di sisi kiri (timur) yang digunakan kebanyakan pendaki. Trek tersebut sudah dibuat seperti jalur yang lumayan membantu pendaki. Tak seperti Mahameru yang full pasir dan hanya sedikit bebatuannya, di Merapi trek berpasirnya masih banyak selingan kerikil kerakalnya. 

Karena hari sebelumnya tak turun hujan, makanya pasir Merapi tampak lembut dan mudah berterbangan. Masker menjadi benda yang teramat penting saat itu. Kalau ada kaca mata malah lebih bagus, sekalian bergaya gitu lho. 
Saya yang membawa tripod lantas tidak saya sia-siakan begitu saja. Selain menjadi properti berfoto, benda tersebut ternyata bisa menjadi semacam trekking pole (tongkat) yang meringankan dalam menyusuri pasir yang labil dan mudah melorot.

Sampai di pertengahan trek berpasir, langit ufuk timur sudah mulai memerah tanda sang mentari hendak muncul. Saya pun mulai mengeluarkan properti memotret saya. Saya sih memilih stay disitu saja untuk menunggu sunrise muncul. Tak perlu mengejar sampai puncaknya, toh view yang dihasilkan bakal tidak terlalu berbeda. 

Semburat kemerahan yang berpadu dengan Merbabu yang masih dihiasi gemerlap lampu di kakinya menjadikan satu landscape yang menakjubkan. Terlebih ketika makin terang cahaya mentari yang menyinari, makin tersibak pula keindahan yang awalnya tertutup remang kegelapan. Puncak Hargo Dumilah lawu pun mulai kelihatan menjembul di sela awan ufuk timur yang beriringan dengan munculnya sang Surya.



gradasi langit menyambut kemunculan sang mentari

diambil sekitar jam 05.10

Hargo Dumilah Lawu mengiringi munculnya sang surya



Menuju puncak.
05.50 pagi

Puas dengan sunrise, saya memutuskan untuk memasukkan kembali kamera lalu mengejar dua teman saya yang sudah duluan ke atas. Matahari mulai meninggi dan panasnya mulai terasa, namun angin kencang tetap berhembus sehingga masih terasa sejuk-sejuk saja. 
Seperti Sindoro yang setia menemani dalam pendakian ke puncak Sumbing, Merbabu pun juga demikian. Gunung cantik itu juga senantiasa menemani kami dalam pendakian menuju puncak Merapi.


17:10:00 74 komentar
Newer Posts Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)