YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com



Perjalanan saat itu tak berhenti usai menikmati eloknya bangunan peninggalan masa lampau di Kotagede. Setelahnya kami berencena mengunjungi Istana Pakualaman sekaligus berwisata kuliner di warung tenda di sekitar situ. Tapi entah bagaimana ceritanya saya yang hanya mengekor di belakang menuruti panduan Uul dan Angga yang memacu motor di depan seolah berpindah haluan menuju Makam Raja Mataram, namun bedanya sekarang yang ada di Imogiri. Pikir saya apa mereka membatalkan rencana yang tadi kami bicarakan biar sekaligus tema perjalanan hari itu adalah trip ziarah ke makam Raja-raja Mataram. Akan tetapi sebenarnya hal itu berawal dari saya yang sok tahu memilih jalan saat keluar Kompleks Makam Kotagede. Awalnya sih saya keluar kompleks makam tersebut duluan dan dua teman saya di belakang. Jalannya kan sama saja, lewat pasar lalu ketemu jalan raya yang tadi kami lewati. Eh, ternyata saya salah pilih jalan. Lebih uniknya lagi dua teman saya yang ada di belakang juga diam saja seolah tak ada yang salah dari jalan yang dipilih itu. Dari situlah perjalanan malah mengarah ke Imogiri. Tak ada salahnya lah jika sekalian mengunjungi kerabat Raja-raja yang dimakamkan di Kotagede tadi. Jadilah kami meluncur menuju kompleks makam yang berada di salah satu dataran tinggi di deretan Pegunungan Seribu. Jaraknya, hmm cukup lumayan agak jauh sedikit lah.

Makam Imogiri tak lain adalah kompleks makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo, Imogiri Kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 – 1640 M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3 yang masih keturunan dari Panembahan Senopati, Raja Mataram pertama.



Setelah Mataram terpecah menjadi 2 bagian melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755, yaitu Kasunanan Pakubuwono di Surakarta dan Kasultanan Hamengkubuwono di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2. Bagian sisi timur diperuntukan bagi raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Proses pembangunan makam Pajimatan Imogiri diperkirakan berlangsung selama 13 tahun, yang dimulai pada tahun 1632. Pada tahun 1645 makam ini digunakan untuk memakamkan raja besar Mataram, Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau sendiri lah yang sebenarnya sudah memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya suatu saat nanti setelah beliau wafat.


Konon kabarnya mengenai pembangunan kompleks Makam Pajimatan Imogiri bahwa pada suatu ketika Sultan Agung bersembahyang di Mekah. Di sana ia berkata kepada seorang ulama bahwa ia ingin dimakamkan di Mekah. Permintaan itu ditolak ulama tersebut dengan halus. Beliau disarankan untuk tetap dimakamkan di Jawa (Mataram) karena ia adalah panutan atau pimpinan masyarakat Jawa (Mataram). Akan tetapi Sultan Agung tetap bersikeras untuk dapat dimakamkan di Mekah. Lantas karena sang Sultan tetap dalam pendiriannya maka ulama itu meraup tanah dan melemparkannya hingga jatuh di Tanah Jawa. Tanah dari Mekah itu jatuh di sebuah bukit di Giriloyo yang tempatnya berada di sisi timur laut dari kompleks Pajimatan Imogiri yang sekarang. Berdasarkan jatuhnya tanah dari Mekah itu, maka Sultan Agung berusaha mulai membangun kawasan Pegunungan Giriloyo untuk menjadi area pemakaman.

Raja-raja Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II s/d Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I s/d Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.

__**__

Sesampainya di gerbang masuk Kompleks Makam Pajimatan Imogiri kami langsung menuju satu rumah yang dijadikan tempat parkir yang ternaungi. Sesudahnya kami langsung saja dihadapkan pada ratusan anak tangga yang entah jumlahnya berapa. Tak begitu menanjak sih tapi entah kenapa nafas cukup tersengal. Sampai di atas ternyata kami hanya baru sampai di permulaan titian anak tangga. Kami baru sampai di pelataran dengan satu pendopo tanpa atap yang ada di depan satu masjid kuno yang konon sebagai tempat menyolatkan jenazah raja-raja yang akan dimakamkan di atas. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Kagungan Dalem Pajimatan Imogiri.
15:57:00 4 komentar


Beberapa orang tak jarang yang mendapatkan kesan mendalam di pandangan yang pertama, tak peduli entah dengan seseorang maupun pada suatu hal. Kali ini saya ingin berbagi mengenai kesan yang saya dapatkan saat pertama kali memandang eksotisme bangunan di Kotagede Jogjakarta.

Berawal dari ketidaksengajaan saya beberapa tahun silam yang berniat berangkat ke Kota Pelajar untuk mengikuti ujian masuk salah satu universitas terpopuler di kota tersebut. Saat itu saya yang masih buta akan Jogja memberanikan diri memacu sepeda motor ke kota itu tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang isi kota dan letak demi letaknya, bahkan posisi universitas yang ingin saya ikuti ujian masuknya pun tidak saya ketahui secara pasti. Hasilnya pun saat mencari kosan teman yang akan digunakan untuk bermalam sebelum ujian keesokan harinya yang katanya berada di Condong Catur tak saya temukan dengan mudah seperti yang saya perkirakan. Maklum lah, masih anak “rumahan” yang baru “keluar rumah”. Rencana awal memang seperti itu, tapi entah kenapa ketika sore menjelang waktu maghrib di hari itu, saya malah sampai di Kotagede. Tersasarlah saya di daerah pengrajin perak yang cukup tersohor tersebut. Dalam hati saya bertanya, “weh tempat apa ini???” rasanya saya berada di satu masa yang lain dimana disitu banyak bangunan-bangunan tua namun rupawan dan penuh nilai seni. Yaa, yang kala itu menarik pandangan saya adalah satu benteng yang terletak di pinggir jalan raya. Sungguh menarik, keindahan arsitektur dan nilai sejarahnya tentu sangat tak ternilai. Meski masih awam tentang hal yang begituan, namun entah kenapa dalam hati saya berniat untuk kembali ke daerah itu lagi suatu hari untuk menyusuri tiap lorongnya yang penuh bangunan tua nan eksotik itu. Untuk sementara kembali konsentrasikan untuk mencari kosan temen dulu dan ikut ujian masuk universitas.

Terwujudlah keinginan tersebut setelah kurang lebih 4 tahun berlalu sejak hari itu. Gagasannya berasal dari Angga yang juga memendam keinginan untuk menikmati eksotisme setiap sudut Kotagede, terlebih didukung dengan Uul yang saat itu tengah berada di Jogja. Sepertinya memang kami memiliki minat yang sama, mulai dari alam, wisata, sampai sejarah. Jadilah setelah beberapa hari berunding lewat dunia maya kami berdua pagi-pagi berangkat menuju Jogja. Kami menghampiri Uul dulu karena dialah yang menjadi penunjuk jalan, secara dia tuan rumahnya dan yang paling menguasai hafalan jalanan kota gudeg, Jogjakarta.

Setelah kami bertiga bertemu di satu sudut jalan kota, kami mengawali pagi itu dengan sarapan di warung soto yang lain dari pada yang lain. Warungnya tepat berada di depan kuburan yang  tak jauh dari tugu Jogja. Terlepas dari letaknya yang lumayan tak lazim itu, ternyata kursi yang dijejerkan di meja panjang sudah dipenuhi manusia-manusia yang memiliki satu misi yaitu mengisi perut yang lapar. Sempat terceletuk perkataan dalam obrolan kami di tengah santap pagi kala itu. “Gimana jadinya ya kalo tiba-tiba ada yang meninggal dan dikubur  bersamaan dengan sekumpulan orang-orang yang sedang meyantap soto???” Pasti semua terdiam dengan tatapan kosong memandang mangkuk penuh kuah itu dengan backsound suara krik krik bunyi jangkrik. Secara warung sotonya benar-benar berada di depan pintu gerbang makam persis coy. Hahaha lupakan !!!

Okelah… Beranjak dari warung soto unik itu, kami bertiga langsung menuju destinasi utama kami. Uul yang menguasai jalanan dan Angga yang sudah membuat oret-oretan urutan spot yang bakal dikunjungi, melaju di depan sedang saya tinggal mengikuti gerak-gerik mereka saja di belakangnya.

Tak semudah yang diperkirakan ternyata. Setelah menemukan daerah Kotagede, kami sempat berhenti beberapa kali untuk menanyakan kepada penduduk sekitar tentang lokasi tepatnya pusat Kotagede yang kami maksud. Akhirnya sampailah kami di kawasan ramai-ramai yang ternyata adalah pasar yang juga merupakan jalan masuk sebelum sampai di kompleks makam Raja-raja Mataram.



Kami masuk area parkir yang cukup tertata. Dari situ kami mulai melihat satu gapura unik yang ada di kejauhan yang tak lain adalah jalan masuk menuju Masjid Tua Kotagede dan kompleks makam. Tak menunggu lama, setelah motor terparkir kami pun masuk melalui gapura mirip candi itu. Begitu masuk kami langsung disambut satu bangunan yang ternyata adalah sebuah masjid tua dengan tugu menyerupai candi di depannya.

Gapura masuk ke kompleks Masjid Kotagede dan Makam Raja-raja

Karena belum waktu sholat, maka kami pun tidak masuk lebih dalam ke masjid tersebut. Lagian sedang ada satu acara yang diadakan satu kelompok mahasiswa dari satu universitas di Jogja, tepatnya jurusan sejarah kalau tidak salah nguping. Kami pun lanjut ke spot selanjutnya dengan memasuki area lain yang dibatasi dengan tembok batu-bata dan gapura sebagai jalan masuknya, disitulah kompleks makam Raja-raja Mataram. Tapi sayang seribu sayang, sepertinya kami salah memilih hari. Kami memang tak sampai kepikiran mengenai hari dan waktu dibukanya kompleks makam untuk pengunjung yang ingin berziarah. Dan hari itu, Hari Sabtu persisnya, ternyata bukan hari dibukanya kompleks makam untuk kegiatan ziarah. Tapi tak apalah, cukup tahu saja kalau kami datang diwaktu yang kurang tepat, bukan salah waktu sih.

Sejarah yang pernah terukir di Kotagede

Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah dengan Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu, menghadiahkan Hutan Mentaok yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Beliau beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke hutan tersebut yang sejatinya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu.

Desa kecil tersebut seiring berjalannya waktu mulai berkembang dan makin ramai. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat maka putranya lah yang bernama Senapati Ing Ngalaga yang menggantikannya. Di bawah kepemimpinannya, desa itu tumbuh semakin makmur dan dipadati penduduk, hingga disebut Kotagede. Selain itu Senapati juga membangun benteng-benteng dan parit yang mengelilingi wilayah tersebut.

Di lain sisi, Kesultanan Pajang sedang terjadi perebutan tahta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pageran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tak adil. Arya Pangiri berhasil ditakhlukan dan sang Pangeran menawarkan tahta kepada Senapati, namun sayang dotolaknya dengan halus.

Setahun berlalu, wafatlah Pangeran Benawa. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan agar Kerajaan Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itulah Senapati Ing Ngalaga menjadi raja pertama Mataram Islam dengan gelar Panembahan. Beliau tidak menggunakan gelar Sultan karena untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Pusat pemerintahannya tak lain berada di Kotagede yang sekarang menjadi daerah pusat pengrajin perak yang cukup termasyhur.

Panemabahan Senapati kemudian mengadakan ekspansi wilayah kerajaannya hingga Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Beliau wafat pada Hari Jumat Kliwon Asyura tahun 1601 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-raja Mataram Kotagede berdekatan dengan makam sang ayah.

Kerajaan Mataram Islam kemudian berhasil menguasai hampir seluruh Pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan saat berada di bawah kepemimpinan raja ketiganya, Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).

Tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kejayaan ke Karta yang berlokasi di dekat daerah Plered, Bantul. Mulai saat itu lah era kejayaan Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram islam berakhir.

Meski sudah tidak menjadi pusat kerajaan namun daerah tersebut tidak menyurut keramaiannya hingga saat ini. Selain itu, Kotagede menyimpan beberapa peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan unik yang berarsitektur kuno namun eksotis yang masih dipertahankan keasliannya, berupa rumah-rumah tradisional, masjid tua Kotagede yang merupakan masjid tertua di Jogja, beberapa sendhang atau mata air, benteng-benteng kokoh yang masih berdiri, Pasar Kotagede dan masih banyak lagi tentunya.


Kita bahas satu persatu yaa…

21:52:00 10 komentar
Newer Posts Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)