YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com


Pendakian ke Gunung Gede ini adalah rangkaian perjalanan ke Bogor dan juga merupakan lanjutan dari perjalanan yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya yaitu pendakian ke satu gunung kecil tapi punya medan yang ekstrim dan yang tak boleh dilupakan adalah view-nya yang instagramable, yang tak lain dan tak bukan ialah Gunung Batu Jonggol. Jadi ceritanya setelah mendaki Gunung Batu itu saya langsung menuju ke Cipanas sebagai meeting point dengan teman-teman se-open trip yang lain. Yap, karena saya gak mau repot-repot bawa tenda dan segala prlengkapannya apalagi semua alat gunung saya terparkir di kosan yang ada di Sulawesi Barat sana, saya memutuskan ikut open trip pendakian ke Gunung Gede punya wisatagunung.com. Konon penyedia trip ini yang paling recommended diantara yang lainnya. Saya pun penasaran gimana cara service mereka, siapa tahu bisa jadi media buat saya kalau suatu hari bikin open trip. Pernah sih bikin open trip ke Rinjani di Mei 2015 lalu, cukup berhasil dengan peserta yang join sekitar 10 orang yang kesemuanya temen kuliah sendiri hahaha. But, that's not too bad. Open trip ke Rinjani itu sukses dan semua pun senang yeahhh.

puncak Gunung Gede dengan view kawah yang menganga

yeah

Hari itu kami turun dari puncak Gunung Batu sekitar jam 3 sore dan sampai di bawah sekitar jam 4 kurang dikit.  Kami gak langsung cabut tapi mau isi perut dulu di warung di sekitar tempat parkir. Abis itu baru kami siap lanjut naik turun, nikung kanan nikung kiri di jalanan untuk kembali ke Bogor. Tapi jalan yang kami lewati nggak sama dengan yang kami lewati pas datang tadi. Pulangnya kami lewat jalan yang banyak sekali penunjuk arah ke beberapa curug. Banyak banget curug yang kami lewati, termasuk Leuwi Hejo dan sebagainya. Tembusnya pun langsung Sentul.

Menuju Basecamp Pendakian Gunung Gede via Gunung Putri

Sebelum ke Cipanas, saya leyeh-leyeh bentar di kosan Lesman sambil nunggu malem hari. Saran dia sih saya berangkat ke Cipanas sekitar jam 8 lebih saja. Bus ke Cipanas via Puncak Bogor bisa naik dari Citeureup, deket kosannya. Saya pun ngikut aja sarannya, belum cari-cari info juga soalnya.

Pendakian ke Gunung Gede di mulai esok harinya mulai jam 6 start dari basecamp rumah warga di Gunung Putri. Sedangkan saja jam 11 sudah nyampe di depan Pasar Cipanas, masih sendiri dan belum ada anggota rombongan lainnya yang datang. Yaiyalah masih kepagian sampai disitu jam segituan. Yaudah saya pun nunggu sambil tiduran ngemper di depan alfam*rt. Sampai beberapa jam kemudian dan saya lihat jam di HP ternyata sudah berganti hari, akhirnya satu per satu peserta open trip datang. Setelah kumpul semua kami pun dinaikkan ke angkot-angkot yang telah panitia sediakan untuk menuju rumah salah satu penduduk yang dijadikan basecamp di Gunung Putri.

seorang bapak pendaki yang sedang menikmati pagi

Ada beberapa jalur untuk bisa sampai ke puncak gunung dengan ketinggian 2.958 mdpl itu, diantaranya yaitu Cibodas, Gunung Putri, dan Salabintana. Tapi untuk kali ini dipilihlah jalur pendakian Gunung Putri yang masuk wilayah Kab. Cianjur.

Ketiga jalur pendakian resmi itu pun punya karakteristik sendiri-sendiri, berdasar info yang saya dapat kalau jalur Cibodas itu lebih ramai karena banyak tempat wisata yang bakal dilewati, seperti misalnya Taman Wisata Cibodas, ada air terjun Cibeureum, ada air panas juga, dan masih banyak lagi. Namun trek pendakian agak lebih jauh jaraknya dan lebih padat pendaki jika memang sedang peak season. Sedang jalur Gunung Putri biasanya dipakai sebagai alternatif jalur pendakian yang dipilih pendaki atau pun sebagai pilihan jika para pendaki sudah pernah mendaki lewat jalur Cibodas dan kepingin lewat jalur dengan sensasi berbeda. Saya pilih jalur ini karena memang dari wisatagunung.com pakai jalur ini, ngikut aja deh jadinya. Jalur Gunung Putri lebih menanjak namun jaraknya lebih dekat. Keistimewaan jika lewat jalur ini adalah kita bakal melewati satu dataran yang sangat luas yang dikenal dengan alun-alun Surya Kencana yang dipenuhi Edelweiss. Jika beruntung kita bakal menyaksikan pemandangan yang menakjubkan dimana bunga-bunga abadi itu sedang bermekaran. Pas saya kesitu bunga-bunga masih kuncup sih, pinter-pinter aja milih waktu atau kalau gak cari info sama pendaki yang baru-baru dari sana. Dijamin kalau timingnya pas bakalan keren deh.

bergaya di Surya Kencana

ada yg sudah mekar

ada yang masih kuncup

Pendakian Gunung Gede Pangrango dikenal dengan perijinan yang pailing ketat seJawa atau bahkan mungkin salah satu yang terketat seIndonesia Raya. Mulai dari batasan atau kuota pendaki tiap jalur pendakiannya, sampai pemeriksaan kelengkapan peralatan pendakian serta barang apa saja yang tidak boleh dibawa bakal diperiksa. Jadi bagi temen-temen yang mau ndaki Gede maupun Pangrango diharap nggak usah bawa barang-barang yang aneh-aneh maupun barang yang bisa mencemari lingkungan seperti sabun, sampo, dan kawan-kawannya. Dari pada disita kan mending gausah bawa aja. Tapi tapi tapi, yang harus diinget yaaa...!!! Jangan cuma karena pemeriksaan yang ketat terus hanya pas ke Gede Pangrango aja yang tertib yah. Gunung lain juga perlu dikasihani keles. Dampaknya emang keliatan banget kok, sepanjang jalur pendakian hingga sampai tempat camp bahkan sampai puncak kondisi alamnya masih terjaga. Sampah-sampah non-organik juga sangat minim. Terlebih lagi yang bikin saya kagum adalah flora faunanya yang masih terjaga. Sempat di satu jalur pendakian saya melihat sekawanan burung yang belum pernah saya lihat sama sekali, mereka terbang rendah dan menghampiri saya seolah ngajak main.

Timing Pendakian per Pos

Basecamp – Pos 1
1 jam
20 menit jalan dari basecamp, kita akan melewati pos simaksi. Disitu kita bakal dicek kelengkapan kelompok, alat pendakian, dan juga mengeluarkan barang-barang berbahaya yang tidak perlu dibawa ke gunung. Udah pada tau dong ya???
Pos 1 – Pos 2
1.25 jam
Uniknya di setiap pos di Gunung Gede jalur Gunung Putri sampai di alun-alun Surken ada yang menjajakan jualan berupa makanan dan minuman.
Gimana dgn jalur lain, seperti ini kah???
Pos 2 – Pos 3
10 menit

Pos 3 – Pos 4
40 menit
Pos 4 – Pos 5
1 jam
Perjalanan antara pos ini saya rasakan yang paling jauh diantara jarak antar pos sebelumnya. Waktu sebenarnya memang 1 jam saja, tapi saat itu rasanya kayak jalan 2 jam untuk sampai Pos 5 dari Pos 4.
Pos 5 – Alun-alun Surya Kencana
40 menit
Alun-alun ini sangatlah luas, bebas memilih tempat camp dimanapun yang kalian suka, asal memperhatikan keselamatan dan kenyamanan diri sendiri dan sesama pendaki yah. Kalau kami pilih mendirikan tenda di Alun-alun barat biar esok harinya lebih dekat untuk menuju puncaknya.
Camping Ground – Puncak
15 menit
Treknya summit didominasi jalan setapak berbatu yang menanjak terus sampai puncak kawah.
Alun-alun Surken – Pos 4
45 menit
Turun gunung perlu waktu sekitar 2 jam. Saya turun duluan dan sendirian karena harus sampai di bandara Soetta sorenya. Apalagi jalanan di puncak Bogor pas weekend ada sistem buka tutup.
Saat itu untuk ngejar waktu, pas udah sampai Cipanas langsung ngojek sampai terminal damri di Kota Bogor. Pak ojeknya ngebut banget tapi keren view selama ngojek, nglewatin kebun teh. Seger pokoknya jadi agak ngantuk-ngantik dikit pas naik ojek. Untung gak sampe ketiduran.
Pos 4 – Pos 1
35 menit
Pos 1 – Basecamp
40 menit

Kenang-kenangan dari Gunung Gede

ngabarin emak dulu ahhh...!!!

udah lama banget nggak nikmatin sunrise di puncak gunung,
ngangenin...!!!

ada pagar pembatasnya biar yang lagi asik foto-foto
nggak kebablasan
  
di puncak ada pertemuan dengan jalur Cibodas,
kapan-kapan dicoba

Pangrango juga kapan-kapan dicoba

capek-capek langsung melahap arbei hutan ini, lagsung seger

alun-alun Surya Kencana dari Puncak Gunung Gede

camping ceria, sampai jumpa di pendakian selanjutnya


21:40:00 5 komentar

Perjalanan dinas ke Bogor membawa saya pada rencana untuk sekalian mengeksplore kota yang berjuluk kota seribu angkot itu (kata temen saya yang asli Bogor loh) padahal saya kira Bogor itu masih berjuluk Kota Hujan. Mungkin itu julukan tambahan karena memang terbukti di tengah kotanya, angkutan umum begitu bejibun padat merayap.

Kebetulan karena punya temen yang bisa njemput sekaligus nganterin muter-muter kota yang berada di dataran lumayan tinggi itu saya pun memanfaatkannya. Hari pertama begitu sampai di Bogor, saya pun meminta untuk diantar ke tempat wisata paling mainstream sebogor raya yaitu Kebun Raya Bogor. Biar dianggap udah bener-bener ke Bogor gitu loh.

Ternyata kebun raya yang juga punya koleksi pepohonan tua raksasa nan eksotis itu berada di tengah-tengah kota. Dalam bayangan saya yang awalnya mengira kalau letaknya yang berada di pinggiran kota yang harus ditempuh beberapa jauh dulu baru sampai. Keren juga di tengah kota ada kebun yang hampir menyerupai hutan gitu, agak sedikit lebih seger rasanya.

Rencana saya yang paling utama berbarengan dengan perjalanan dinas ke Bogor ini adalah bisa menggapai puncak gunung antara Gede atau Pangrango. Pengennya sih dua-duanya tapi saya sadar kalau waktu yang saya punya tak terlalu cukup untuk mendaki kedua gunung yang bersebelahan itu. Mau nggak mau harus milih salah satu deh.

Puncak Gunung Batu

Postingan kali ini saya bakal nyeritain pengalaman mendaki ke Puncak Gunung Batu Jonggol. Loh, kok gak nyambung banget sama cerita di mukadimah. Hahah, santai kan masih sama-sama ada di Bogor. Ceritanya gini nih kenapa rencana awalnya ke Gunung Gede Pangrango tapi malah ke Gunung Batu Jonggol. Karena si sosmed lah yang membawa saya ke Gunung Batu Jonggol. 



A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Apr 17, 2016 at 2:24am PDT

Beberapa saat setelah ngupload foto di bawah pohon tua yang gede banget dengan tag lokasi Kebun Raya Bogor, beberapa temen IG ada yang komen. Dari situlah seorang temen yaitu @lesmanpasaribu ngajakin eksplor bareng. Kalau temen yang nganterin ke Kebun Raya Bogor karena harus balik ke Jakarta, temen kuliah pas jaman ga enak itu ga ikut ke Gunung Batu Jonggol. Padahal dia udah berhasil saya kompor-komporin buat sering-sering eksplor, saking niatnya besok malemnya langsung COD beli gopro. Ckckck... hahah...

Oiya, meskipun ke Gunung Batu Jonggol, tapi rencana ke Gunung Gede tetep jalan yaaa. Yap, akhirnya terpilihlah Gunung Gede yang bakal di daki setelah acara workshop di Sentul. Cerita pendakian ke gunung yang punya alun-alun penuh Edelweiss yang dikenal dengan “Surya Kencana” itu bisa dibaca disini.

Balik lagi ke Gunung Batu Jonggol. Jadi setelah diskusa-diskusi lewat messenger akhirnya sepakat hari itu si Lesman njemput saya di Sentul. Begitu ketemu kita langsung berangkat menuju lokasi. Ternyata dia yang pernah sekali ke Batu Jonggol, itu pun setahun yang lalu membuat dia agak lupa-lupa inget jalan menuju kesana. Beda jalan katanya kalau dari arah Sentul dengan yang dia lewati setahun yang lalu. Akhirnya kita ngandelin GPS buat sampe ke TKP. Dia dapet kabar juga kalau ada jalan di beberpapa km sebelum spot yang mau kita tuju itu longsor. Bogor memang terkenal jg tentang kondisi tanahnya yang agak labil jadinya rawan longsor deh.

Lokasi Gunung Batu

Gunung kecil nan terjal ini berada di Sukamakmur, Jonggol, Kab. Bogor. Lebih pas kalau disebut bukit atau tebing batu karena memang tersusun atas bebatuan cadas apalagi tingginya hanya 875 mdpl, atau sekira 200 m saja dari titik awal pendakian. Tapi jangan sekali-sekali meremehkan gunung batu ini hanya karena masalah ketinggiannya yang tak seberapa dibanding Mahameru. Rasakan dulu tanjakan ekstrimnya, baru deh bisa ngomong kalau memang gunung ini gak bisa disepelekan.
Secara garis besar dan perkiraan seingat saya, jalan yang kami lewati saat itu adalah via Sentul kemudian mengikuti pinggir jalan tol ke arah utara, sekitar 30 menit tepatnya di daerah Sukahati kita ambil kanan lalu lurus terus mengikuti jalan yang lumayan masih jarang dilewati.
Setelah perjalanan kira-kira hampir dua jam dari kota Bogor, kita akan menemui pertigaan yang terdapat plang petunjuk arah. Jika lurus ke Jonggol, sedangkan ke kanan ke arah gunung Batu, kita ambil ke kanan. Nah mulai dari situ sudah banyak sekali papan petunjuk ke arah gunung batu yang terpasang, kalau masih belum yain bisa pakai GPS versi baru (Gunakan Penduduk Sekitar) hahahah.

Dua jam lebih dikit perjalanan naik turun, nikung kanan dan kiri, mulai jalanan alus sampe yang bebatuan udah kami lewatin. Akhirnya sampai juga di titik awal pendakian Gunung Batu Jonggol. Seperti biasa karena sudah dikelola secara swadaya oleh masyarakat sekitar, kami pun harus  bayar karcis masuk kawasan wisata dulu berupa tiket parkir motor seharga Rp 15.000,- dan Rp 5000,- untuk tiket pendakian. Jadi dari tempat parkir kita jalan dulu lumayan agak jauh buat sampai di lokasi bayar tiket pendakian. Bisa sih pakai motor juga tapi bagi yang sayang motor mending jalan kaki. Katanya sih parkiran tersebut buka 24 jam, jadi kalau ada yang mau nanjaknya pagi buta dan sampai di puncak pas sunrise bisa saja. Tapi ingat yaaa, trek pendakian sangat ekstrim jadi siapkan apa saja yang kalian perlukan kalau mendaki dalam kegelapan.

Sebelum nanjak gunung yang lebih pantes disebut bukit batu itu, karena lelah letih dan lesu selama dua jam lebih perjalanan naik motor, kami sempet tiduran dulu sekitar sejaman di warung-warung kosong yang ditinggal penjualnya. Biasanya sih ada yang jualan, tapi karena saat itu nggak weekend jadinya gak ada yang jualan deh. Orang yang nanjak juga gak seberapa rame, cuman beberapa doang.

Setelah tenaga terkumpul lagi dan selepas matahari tergelincir dari atas kepala, kami pun siap mendaki gunung yang kabarnya beberapa saat lalu sempat memakan korban jiwa yang jatuh tergelincir. Memang sih kalau diliat-liat kondisi gunung tersebut terlihat curam dan licin, apalagi kalau musim hujan. Tapi sekarang sudah dipasang tali webbing di jalur pendakian yang berguna untuk mempermudah pendaki naik ke puncak.

kami turut berduka kawan,
semoga arwahmu tenang disana

titik awal pendakian berupa warung-warung yang keliatan dari atas

jalur pendakian yang cukup memacu adrenalin

bebatuan yang menghiasi trek pendakian yang mungkin saja mudah goyang dan jatuh meluncur,
jadi kalau ada orang di belakang yang mau nanjak juga, kita perlu hati-hati memilih pijakan,
jangan sampai batu yang kita injak labil dan menggelinding ke bawah kena orang di belakang kita

Saat itu matahari begitu terik sekali, makin keatas jalur makin ekstrim dan nggak ada pepohonan untuk neduh. Untuk mendaki sih nggak terlalu lama, saat itu kami butuh kurang dari satu jam untuk bisa sampai ke puncaknya itu pun sudah sekalian sama foto-foto. Jalurnya memang luar biasa, beda pokoknya dengan gunung-gunung kebanyakan. Meskipun nggak tinggi-tinggi banget, tapi dari bentuknya yang meruncing ke atas membuat jalur pendakiannya sangat terjal. Apalagi gunung tersebut adalah gunung batu yang memang bener-bener yang kita pijak adalah batu, hanya sebagian saja yang berupa tanah.

hampir sampai puncak

dataran sebelum puncak,
lumayan instagramable

puncak ditandai dengan bendera merah putih yang sudah agak lusuh

Lepas dari trek pendakian yang sangat ekstrim, pemandangan yang disuguhkan dari atas sungguh bikin siapapun yang melihatnya bakal menghela nafas dalam-dalam saking kerennya. Pepohonan rimbun dibawah sana bak karpet hijau yang membentang luas dihiasi beberapa aliran sungai yang makin menambah kerennya gunung mungil yang tak bisa dipandang sebelah mata itu. 

Keindahan Gunung Batu yang Berhasil Diabadikan Lewat Kamera Saya dan Lesman

banyak spot keren

Result won't betray process... Seperti untuk mencapai puncak Gunung Batu Jonggol ini, meski gak setinggi Mahameru tapi trek menuju puncaknya lumayan ekstrim. Kanan kiri jurang dan harus memanjati tebing-tebing batu. Untung makin kesini tingkat pengamanannya makin meningkat. Sudah dipasangi tali untuk memudahkan menuju ke puncaknya. Lumayan ngos-ngosan jg untuk ngedapetin view kayak gini...
A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on May 3, 2016 at 8:07am PDT

semacam ingin terbang

sungai mengalir indah ke samudra
   
desa dengan rumah-rumah yang tampak mungil

breathtaking view

ekstrim kan???

Lesman Pasaribu in endorsement

Gunung Batu inframe



01:59:00 24 komentar

Air Terjun Bisappu ini menjadi destinasi selanjutnya setelah Air Terjun Tama’lulua di Jeneponto. Kami mampir sejenak dalam perjalanan menuju Bulukumba. Nggak ada salahnya kan kalau sekalian mampir di tempat wisata di setiap kota yang dilewati. Bantaeng berada di antara Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba. Sedangkan air terjun ini berada di Desa Bonto Salluang, Kecamatan Bissappu, Kab. Bantaeng. Gerbang masuknya berada sekitar 5 km sebelum pusat Kota Bantaeng kalau kita dari arah Kota Makassar.

Air Terjun Bisappu,
ada yang bisa menemukan saya di antara bebatuan itu ???

Jalan masuknya lumayan menanjak dan berkelok-kelok melewati desa-desa dan beberapa papan petunjuk menuju beberapa air terjun lainnya, tapi kami berniat menuju air terjun Bisappu saja karena inilah air terjun yang paling terkenal dari Bantaeng. Sempat juga kami lewati papan petunjuk menuju air terjun Bantimurung. Heran juga, bukannya air terjun Bantimurung ada di Maros yaa. Hmmm, sama namanya ga papa sih. Lagian air terjunParangloe di Gowa saja ada yang menyebutnya air terjun Bantimurung II hahaha. Biar ikutan terkenal seperti Bantimurung yang asli sepertinya.
Setelah sampai di pintu gerbang tentunya kita beli tiket masuk dulu, seiklasnya saja katanya tapi jangan kebangetan juga ya kalau ngasih. Itung-itung buat biaya pemeliharaan lah.
Begitu masuk, suara deburan air terjun sudah bisa terdengar, menandakan kalau letak air terjun tidak terlalu jauh. Selain itu juga faktor tingginya air terjun yang mencapai sekitar 80 m menjadikan suara deburan itu sudah terdengar di telinga kita begitu memasuki gerbang wisata.
Saat itu debit air terjun tidak terlalu deras namun butiran-butiran air sangar terasa mengenai kulit kita meski kita berada nggak persis di bawahnya. Kita juga bisa mendekati air terjunnya dengan melompati bebatuan yang berserakan, tapi perlu waspada dan hati-hati yah karena batunya sangat licin terlebih lagi kalau musim hujan.

sepi bgt tempatnya, bersih juga kan

Kalau teman-teman sempat pakai uang kertas berwarna merah itu untuk jajan pas SD, kemungkinan kita seumuran hahaha.

Puas main air di Bisappu Waterfall, kami lanjutkan perjalanan menuju Bulukumba. Rencananya kami bakal camping ceria semalan di Pantai Bara. 


Baca ceritanya disini nih...!!!
23:40:00 4 komentar

Memang nggak dipungkiri kalau punya gadget ditambah koneksi internet itu seakan bisa menggenggam dunia. Dengan sekali klik saja bisa dibawanya “kemanapun yang kita mau”. Selain itu perkembangan dunia fana ehhh dunia maya lewat media sosial juga membawa pengaruh besar pada pertukaran informasi sekaligus “pamer” eksistensi. Pamer foto lewat instagram lah, pamer status di facebook lah, pamer kalau lagi ada di suatu tempat lewat path lah, dan masih banyak lah lah lah yang lainnya. 
Termasuk sampainya saya di air terjun yang lagi hitz di instagram, yang punya nama Tama’lulua di Jeneponto ini, tak lain dari foto yang direpost lewat satu akun IG petualangan. 

A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Mar 25, 2016 at 6:29pm PDT


Mumpung masih jadi warga Sulawesi untuk sementara waktu, nggak ada salahnya kalau tempat-tempat keren di sekitar sini didatengin semua. Hmmmm, nggak mungkin bisa semua kali yaaa...??? yah paling nggak tempat-tempat hitz di sekitar Sulawesi Selatan sampai Barat pernah saya datengin.

Entah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, beberapa waktu yang lalu pernah saya buat postingan mengenai perjalanan menuju Pulau Kodingareng Keke di seberang Kota Makassar bersama teman-teman yang baru saja dikenal di pelabuhan penyebrangan. Nah, salah satu dari mereka ada yang orang asli Jeneponto. Jadilah setelah membuat wacana berkunjung ke rumahnya akhirnya saya bisa diantar ke air terjun yang juga bisa dinikmati dari kejauhan dengan menaiki puncak Bukit Bossolo itu.


instagramable view bgt,
diambil dari Bukit Bossolo

Oiya, rencana saat itu terasa kurang greget kalau cuman sampai Jeneponto saja, secara kalau terus-terus sedikit udah sampai ke Bulukumba yang punya sederetan surga pesisirnya. Jadinya sekalian saja buat rencana perjalanan ke spot cantik di ujung selatan Sulawesi Selatan itu.

By The Way dengan perjalanan ini saya juga berhasil memecahkan rekor perjalanan dengan sepeda motor alias touring dengan jarak dan waktu terpanjang. Rekor dalam hidup saya sendiri loh, bukan world record  hahaha. 
Berawal dari Kota Majene (Sulbar) mampir bermalam di Makassar sambil ngajakin seorang kawan buat jadi temen ngobrol sepanjang perjalanan menuju Bulukumba ntar. Paginya baru menuju Jeneponto, nginep semalem di Jeneponto termasuk ke air terjun Tama’lulua. Kemudian baru ke Bulukumba.
Di Bulukumba kami berencana cuma camping semalam di Pantai Bara. Nah, pulangnya dari Bulukumba ke Majene yang non stop nggak pake acara bermalam-bermalam lagi. Total dari Bulukumba ke Majene bisa 15 jam saya ada di jalan, udah termasuk istirahat sejenak di tempat pengisian bahan bakar. Capek sih tapi seru. Apalagi pas pulang udah bawa oleh-oleh pengalaman perjalanan yang luar biasa. Saat-saat kayak gitu bikin nagih deh.

Singkat cerita saat itu kami berdua memulai perjalanan menuju rumah Mail di Jeneponto dari Makassar. Dia cuma membekali kami dengan alamat rumah yang kurang begitu jelas. Tapi soal itu bisa dipikir setelah sampai pusat kota Jeneponto saja. Enaknya, jarak rumahnya dengan spot air terjun sangat dekat. 

Menuju Air Terjun Tama’lulua dan Bukit Bossolo
Kalau teman-teman penasaran dengan air terjun ini bisa ikuti jalan yang kami lewati nih. Lumayan gampang kok, asal pake kendaraan pribadi yah. Untuk angkutan umum mungkin ada, tapi saya nggak tahu pake angkot yang mana kesananya.

Dari Kota Makassar, kita bakal melewati beberapa kabupaten mulai Gowa, Takalar, setelah itu baru Jeneponto. Setelah sampai di pusat keramaian Jeneponto yang ditandai dengan adanya patung kuda, kita bisa berbelok ke kiri ke arah Kecamatan Kelara. Rumah Mail dan air terjun yang ingin kami tuju kebetulan adalah dua kecamatan yang bersebelahan. Rumah Mail di Kec. Kelara dan air terjun berada di Kec. Rumbia. Perjalanan dari patung kuda sampai spot air terjun kira-kira 30 km mengikuti jalan ke arah basecamp Gunung Lompobatang yang juga sempat saya daki juga beberapa waktu silam.

Begitu sampai di Rumbia kita harus menemukan terlebih dahulu sebuah lapangan yang berada disamping masjid. Jalan masuk menuju gerbang wisata ada diantara lapangan dan masjid itu tadi. Terus tinggal ikuti jalan itu aja deh sampai di tempat parkiran. Kendaraan roda empat bisa dibawa masuk sampai lokasi parkir kok.

Karena saya kesitu dengan warga lokal, alhasil masuk kawasan wisata nggak pake bayar-bayar. Meskipun bayar pun murah kok, Rp 2.000,- saja per orangnya. Kalau bawa kendaraan ada uang parkirnya juga, Rp 2.000,- untuk satu motor dan Rp 5.000,- untuk mobil. Itu adalah harga saat saya berkunjung kesana loh, kalau naik ya jangan salahkan saya yah. Toh harga tersebut ga sebanding dengan apa yang bakal kita dapat. Bisa dibilang terlalu murah untuk pemandangan yang semenakjubkan itu. Ga percaya? Sok buktikan sendiri saja...

20:11:00 14 komentar

Indonesia punya sejarah panjang, banyak bukti mengenai itu. Mulai dari jaman kerajaan-kerajaan hindu dan budha sampai jaman kemerdekaan. Banyak sisa-sisa kejayaan masa lalu yang bisa kita lihat sampai saat ini.

Kali ini bakal dibahas tentang peninggalan masa lalu yang masuk dalam situs warisan cagar budaya. Sangat berkaitan erat dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan, meskipun ketenarannya memang masih unggul kedua candi tersebut. Namun, banyak keunikan yang tersimpan dari situs peninggalan sejarah yang bakal dibahas secara tuntas melalui postingan ini. Yang dimaksud itu tak lain adalah Kraton Candi Ratu Boko. Kebetulan juga beberapa waktu yang lalu sempat saya kunjungi.

A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Feb 9, 2016 at 2:36am PST


Letak Geografis dan Konstruksi

Situs seluas sekitar 25 ha ini bisa dibilang menjadi satu-satunya situs arkeologi yang memadukan arsitektur khas Hindu dan Budha. Terletak hanya sekitar 3 kilometer kearah selatan Candi Prambanan, tepatnya di kecamatan Bokoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kira-kira 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Solo.


Pertama yang kita lihat kalau kita ikuti papan petunjuk yang ada di pinggir jalan dari arah Candi Prambanan adalah pintu masuk pertama yang kata bapak penjaga loket kalau lewat situ jalan kakinya lebih jauh. Waktu itu saya direkomendasikan lewat pintu yang kedua, tapi tiket bisa dibeli kok di loket pintu masuk pertama.

Setelah menebus tiket, saya pun melaju menuju ke pintu masuk Kraton Ratu Boko yang kedua. Cukup mudah didatangi juga, secara penunjuk arahnya dimana-mana. Nanti bakal melewati desa-desa dengan dihiasi sawah dan perbukitan hijau. Selain itu bakal melewati pula jalan masuk menuju Candi Ijo dan Candi abang. Kalau kalian punya waktu banyak, bisa dicoba nengok semua candi itu. Saran saya, taruh Kraton Ratu Boko di urutan kunjungan yang terakhir. Karena apa, sunset dari kompleks Ratu Boko jos gandhos pokoknya.

Okey, setelah melewati jalanan desa yang menanjak akhirnya sampai juga di pintu gerbang Ratu Boko yang kedua. Saya sih langsung masuk aja karena tiket udah di tangan.

Welcome to Ratu Boko Palace...!!! Kalau kita lihat konstruksi yang masih berdiri, Ratu Boko berbeda dengan Borobudur, Prambanan, dan candi-candi yang lain karena kesan yang kita peroleh pasti menganggap kalau Ratu Boko adalah suatu kompleks kerajaan. Terlihat dari saat awal kita masuk area candi yang sudah disambut dengan gerbang masuk yang berundak, kemudian ada pendopo, permandian, dan diperkirakan ada pemukiman-pemukiman yang dulunya berkonstruksi kayu-kayu namun yang tampak saat ini hanya pondasinya saja. Hmmm, cukup membuktikan kalau tempat itu dulunya adalah istana kan???

Karena berkonstruksi batu andhesit maka Kraton Ratu Boko ada pula yang menyebut sebagai candi, namun sejatinya memang bukanlah candi. Meskipun lebih mirip kraton, banyak pula perbedaan antara situs Ratu Boko dengan kebanyakan kraton di tanah Jawa karena kedudukannya yang berada di atas bukit. Sedangkan kraton yang lain biasanya didirikan di dataran yang mudah dijangkau dengan terdapat elemen-elemen tertentu misalkan alun-alun dan yang lainnya.

Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang terdapat spot yang dinamakan Candi Pembakaran atau bisa disebut tempat kremasi yang mana candi-candi yang lain nggak ada yang seperti ini. Diperkirakan pula kegiatan kremasi adalah hal yang sudah menjadi syarat mutlak jika ada kematian. Melihat juga candi pembakaran yang menyerupai altar, menandakan upacara pembakaran mayat merupakan satu upacara yang besar pada waktu itu karena memungkinkan upacara tersebut dihadiri seluruh penduduk.


candi pembakaran

18:58:00 15 komentar
Newer Posts Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)