YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com


Sudah menjadi hal wajib jika ke Waerebo untuk sekaligus menginap disana. Tentu bakal menjadi pengalaman tersendiri bisa merasakan bagaimana tinggal di salah satu "Mbaru Niang", rumah adat di desa etnik yang berada ketinggian sekitar 1.100 mdpl itu. Temen-temen mungkin bertanya-tanya juga mengenai bagaimana perijinannya, bayar berapa, dan lain-lainnya. Kalau lagi nggak pengen pusing, biasanya dari trip organizer seperti yang saat itu saya pakai sudah semua termasuk ke dalam biaya awal alias all in one. Tapi kalaupun mau kesana secara mandiri bisa juga kok. Rinciannya kira-kira seperti yang diceritakan oleh dua orang traveler yang menginap dihari yang sama dengan kami. Mereka berdua pergi ke Flores tanpa trip organizer. Tapi mereka ke pulau-pulaunya tetep pakai operator juga sih. Operator ke pulau-pulau banyak tersedia di Labuan Bajo dengan harga tegantung dengan fasilitas, durasi, dan banyak spot yang dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, barulah mereka menuju Waerebo. Singkat cerita, dari Labuan Bajo mereka naik elf ke Denge, desa terakhir sebelum trekking. Biasanya bakal sampai di Denge tengah malam, tidur sejenak di homestay, paginya sarapan, lantas memulai trekking menuju Waerebo. Untuk trekking, harus ditemani seorang guide. Tawar-menawar terlebih dahulu tentunya sekaligus nanti sang guide pula yang bakal menjadi jembatan untuk perijinan dan administrasi kepada ketua adat Waerebo. Biaya untuk guide kalau belum naik sebesar Rp 100.000,-an dan untuk semalam menginap di Mbaru Niang dikenakan biaya Rp 325.000,- sudah termasuk upacara penyambutan, kuliner tradisional, bisa mencicipi kopi khasnya yang enak banget, tempat tidur beralas tikar lengkap dengan selimut tebal, dan kamar mandi. Tersedia juga etalase souvenir, oleh-oleh, dan kopi bubuk untuk wisatawan yang pengen beli kenang-kenangan dari Waerebo.

Salah satu hal yang menarik saat mengunjungi Waerebo adalah trekking sejauh sekitar 8 km melewati jalan setapak yang juga digunakan untuk warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil bumi maupun membeli kebutuhan lain. Terbukti saat itu kami sering berpapasan dengan warga Waerebo yang turun, salah satunya membawa sebongkok kayu manis untuk dijual di pasar. Sempat juga kami berpapasan dengan salah satu ketua adat Waerebo yang juga dalam perjalanan turun untuk mengunjungi kerabat yang sudah menetap di desa lain. Bicara soal ketua adat, Waerebo dikepalai beberapa ketua adat yang bakal menyambut dan memberi sedikit wejangan ketika kita datang mengunjungi Waerebo. Sampai saat ini ada 3 ketua adat yaitu Bapak Alexander Ngadus yang lahir di Manggarai tahun 1947, Bapak Rafael Niwang yang lahir pada tahun 1927, dan juga Bapak Rofinus Nompor yang lahir pada tahun 1937. Salah satu dari mereka akan dengan ramah menyambut kita saat berkunjung ke Waerebo. Saat itu rombongan kami disambut oleh Bapak Rofinus Nompor, sedangkan dua ketua adat yang lain kebetulan sedang turun ke Denge untuk mengunjungi kerabat yang sudah tidak tinggal lagi di Waerebo.
Setidaknya ada 7 rumah adat yang berdiri dengan satu bangunan utama yang fungsinya untuk upacara adat dan penyambutan tamu bernama rumah gendang. Yap tepat, karena di dalam rumah adat utama yang juga ukurannya paling besar dan tinggi itu terdapat gendang dan beberapa properti upacara adat yang lainnya. Rumah Gendang juga dijadikan rumah hunian beberapa kepala keluarga dengan terbagi kamar-kamar dengan bagian tengah untuk tempat berkumpul dan juga dapur.
Berbeda dengan rumah gendang, para pengunjung yang datang dan menginap akan ditempatkan di salah satu rumah yang lataknya paling pinggir.

waduh, ini kok malah jadi kayak pengungsian yahhh hehe...

nge-cas smartphone adalah koentji begitu nyampe Waerebo
ngantre yah tapi

Bagian tengah rumah digunakan untuk berkumpul sambil makan, minum kopi khas Waerebo, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja sembari menunggu kantuk tiba di malam hari. Listrik sudah sampai kesini kok karena makin banyak wisatawan yang bermalam.

sumpa demi apa, kopinya "juara umum"

Kami saat itu juga sempat ada acara potong ayam juga loh. Bahkan kami sendiri yang diminta untuk memotong ayamnya. Begitu matang, saatnya makan deh. Kulinernya yang sederhana menjadi mewah ketika dinikmati bersama di dalam Mbaru Niang. Selain kopinya yang juara, sambal yang disajikan pun sangat enak dan terasa lain daripada yang lain. Ada gurih-gurihnya gitu, entah dari mana. Selain itu, bakal disajikan pula pisang dengan kulit berwarna kemerahan yang bisa menjadi teman ngopi setelah santap malam. Pokoknya sempurna lah perjalanan kali itu.
Pagi harinya, bisa dimanfaatkan untuk berkeliling sekitar dan melihat aktivitas sehari-hari warga. Pada musim tertentu bakal menjumpai kegiatan menjemur kopi tapi karena saat itu kami datang ketika musim hujan sehingga kegiatan warga yang bisa kami lihat adalah tenun menenun. Ketika sang ibu menenun, ayah pergi ke kebun, anak-anak pun bermain di halaman rumah yang berumput. Kami pun sempat bermain juga dengan anak-anak Waerebo yang pas awal-awal malu-malu gitu, tapi lama-kelamaan mereka bisa ketawa ketiwi juga sama kami.













Sungguh luar biasa kan yaaa, sampai-sampai PBB pun memberikan penghargaan bagi salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Sebagai generasi muda, kita semua bertugas untuk melestarikannya dan terus menjadi agen promosi agar Waerebo semakin mendunia.
16:57:00 2 komentar
Waerebo merupakan sebuah kampung adat yang letaknya di dataran tinggi Manggarai. Uniknya, kampung ini masih tetap menjaga tradisi dan budaya dari nenek moyang dan leluhurnya. Siapa sangka nenek moyang Waerebo malah berasal dari tanah Minangkabau bernama Empo Maro. Sang leluhur tersebut dan beberapa kerabatnya bisa sampai di Flores setelah mengarungi lautan dengan perahu layar selama beberapa waktu. Kemudian berlabuh lah mereka di Labuan Bajo, lantas mereka melanjutkan perjalanan ke arah utara menetap di satu daerah kemudian berpindah-pindah lagi ke daerah lain hingga memutuskan untuk menetap di daerah yang kini di kenal dengan Waerebo dan berketurunan disitu.


Ada apa sih di Waerebo???
Hmmm, alhamdulillah udah kesampean kesana dan asiknya lagi bisa menginap semalam di salah satu rumah adatnya. Bisa dibilang desa yang berada di ketinggian Pulau Flores itu memiliki banyak daya pikat hingga makin kesini semakin banyak wisatawan yang singgah kesana. Ditengah modernisasi seperti saat ini, mereka masih setia tinggal di pegunungan yang lumayan jauh dari pusat keramaian. Bangunan tempat tinggal mereka pun bentuk dan kondisinya masih mereka usahakan untuk jaga orisinalitasnya. Selain bangunan, cara hidup mereka pun masih sangat menjaga budaya yang diturunkan leluhurnya. Dengan segala keterbatasan yang ada, keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Upaya untuk mempertahankan warisan leluhur tersebut tak sia-sia, hingga pada 27 Agustus 2012 badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Waerebo sebagai peraih Award of Excellence pada event UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.

Menuju Waerebo

trekking diawali jalanan aspal selepas Desa Denge, desa tempat singgah sebelum menuju Waerebo

klik gambar, zoom in, dan baca yaaa...!!!

sesekali berpapasan dengan warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil alamnya

dapat teman trekking nih, ga tau namanya siapa. dia ngikutin dari tengah hutan sampai ke Waerebo

sempat juga nglewatin jembatan bambu yang bunyi-bunyi waktu dilewatin "krek krek krek"

cerita selanjutnya disini

21:46:00 2 komentar


Setelah menyapa dan sempat berfoto dengan "penghuni" Pulau Rinca yang lumayan seram di hari pertama, sail trip kali itu berlanjut ke destinasi yang makin memukau di hari berikutnya.



2. Pulau Padar

Pulau Padar merupakan salah satu dari pulau-pulau yang  masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Dari segi luas, pulau ini merupakan pulau terbesar ketiga setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Menjadi destinasi kedua yang kami datangi karena letaknya yang bersebelahan dengan Pulau Rinca dan jaraknya lebih dekat. Keunggulan pulau yang satu ini ada pada lekuk-lekuk pantainya yang jika dilihat dari puncak salah satu bukitnya terlihat sangat unik. Ditambah lagi warna pasir pantainya juga bermacam-macam dari yang gelap sampai terang.

menuju "titik pandang"
dulunya sebelum ada anak tangga ini
mungkin agak lebih sulit ya untuk naik ke bukitnya

sampai di ujung anak tangga,
trek berubah menjadi jalan setapak

view dari atas.
belum terlalu atas banget sih ini,
makanya cuma satu lekuk saja yang terlihat

pemandangan hijau kayak gini bisa didapati kalau
berkunjung saat musim hujan,
tapi konsekuensinya ombak di lautan juga lagi sangat "aduhai"

tetap fokus yaaa...!!!
sapa tau ada komodo dibalik batu


3. Pink Beach

sebenernya pas perjalanan ke pantai pink ini sempat ngeliat pantai lain yang lebih pink pasirnya tapi yang paling sering didatangi dan disebut "Pink Beach" ya pantai yang ini kapal nggak boleh terlalu dekat dengan bibir pantai karena terumbu karangnya padat banget mennn...!!!


4. Taka Makassar

Taka Makasar adalah pulau pasir timbul yang dikelilingi terumbu karang cantik kami kesini dua kali sore dan pagi. foto ini pas sore, makanya sedikit keruh karena ombaknya kenceng banget sampai-sampai floaties angsa yang ada di foto ini hanyut terbawa ombak dan tak bisa kembali hihihi

masih pemandangan di sore hari kabut tebal mulai menyapa

ini keesokan harinya setelah dari manta point yang lokasinya nggak jauh dari Taka Makasar. Bwening banget nget...!!!


5. Manta Point

Yang gue inget pas di manta point gue sempet hampir hanyut keseret ombak karena renang cuma pakai snorkle doang tanpa fin dan pelampung. Pas ngeliat bawah yang keliatan malah sting ray bukannya manta. Tapi akhirnya kesampaian juga sih ketemu manta yang gede banget dan bergerombol setelah dikasi tau guide lokal dimana si manta berada karena sesekali gerombolan manta bakal renang-renang di permukaan seperti kayak lagi ambil napas gitu. Sayang ga ada foto bareng manta nih. Sedih...

6. Gili Lawa Darat

ke Gili Lawa darat juga dua kali pas sore hari dan paginya karena kapal bersandar di pinggir pantainya dan kami bermalam disitu

pagi hari sebelum matahari terbit kami sudah mulai trekking ke puncak dan menanti sang fajar muncul

kenapa disebut Gili Lawa darat karena pulau ini menghadap ke arah daratan yang lebih luas di depan sana.
Nah, pulau seberang adalah Gili Lawa Laut karena dia menghadap ke lautan samudra

view pagi hari di puncak Gili Lawa Darat, nyegerin mata dan pikiran banget kan warna warninya

puas di puncak bukit, trekking turun lewat jalur yang beda dari yang dilewati pas naik tadi sekalian eksplore pulau

bener-bener kerennn di segala penjuru

Sebenarnya masih ada Pulau Sembilan yang punya danau laguna di tengahnya yang dipenuhi ubur-ubur yang nggak nyengat a.k.a stingless jellyfish dan juga Pulau Kenawa yang punya dermaga yang instagramable yang bakal dikunjungi. Tapi tapi tapi, karena musim yang emang lagi kenceng-kencengnya angin, jadilah perjalanan hoping islands kali itu dibumbui dengan kapal yang terombang-ambing terkena terpaan ombak yang mayan bikin mual. Jadilah kedua pulau itu di skip dari daftar kunjungan kami. Seriussss deh, sampai miring banget kapalnya. Untung masih aman kita-kitanya. Orang perabotan kapal yang ada di atas sudah porak-poranda kok. Untung kursi yang biasa buat leyeh-leyeh nggak terlempar ke laut. 

7. Pulau Kelor

lanjut ke Pulau Kelor dengan tetap harus trekking-trekking ceria

naik satu bukit doang kok

tapi lumayan bikin ngos-ngosan juga sih... curam euy

pemandangan di puncak Pulau Kelor yang sangat instagramable

Abis dari Pulau Kelor, kapal menuju Labuan Bajo untuk istirahat sejenak menunggu waktu malam. The next destination bakal lebih seru lagi deh... Stay tuned terus yhaa...!!!


to be continued
01:44:00 No komentar
Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau besar utama meliputi Pulau Komodo, Rinca, dan Padar disamping terdapat pulau-pulau kecil yang lainnya. Keindahan yang dimilikinya nggak hanya di daratannya, namun bawah lautnya pun memiliki keindahan dan biodiversitas flora maupun fauna yang telah mendunia kepopulerannya. Destinasi kece tersebut menjadi salah satu dream destination saya yang sudah sejak lama ingin disambangi. Siapa sih yang nggak ngiler melihat postingan-postingan para traveler yang hilir mudik di dinding Instagram yang memamerkan keindahan tempat keren ini. Finally kesampaian juga kesana meski dengan bantuan trip organizer. Lagi nggak pengen ribet aja sih sebenernya, pengen tinggal bawa badan doang. Pasalnya trip ke Komodo Flores ini menjadi rangkaian perjalanan setelah mendaki ke Gunung Argopuro yang saat itu menjadi pendakian terpanjang yang pernah saya lakukan. Pikir saya mumpung sudah di Jawa Timur kan tinggal dikit lagi buat ke Flores, ketimbang harus pulang dulu kan. Apalagi kalau sudah pulang tuh agak mager mau keluar-keluar lagi. Sekalinya keluar langsung dapet Gunung & Laut dalam satu rangkaian perjalanan itu kan lebih seru dan ekonomis. Hasilnya peralatan pendakian penuh lumpur pun ikut terbawa sampai ke NTT sana.



Setelah lebih dari setahun trip ini berlalu, baru ada hasrat buat nulis pengalamannya. Maklum lagi disibukkan sama urusan kuliah. Tapi insyaallah keseruannya masih teringat jelas dan siap untuk dishare kok. Foto-foto juga masih tersimpan rapi. Sayang aja kan kalau nggak dipamerin hehehe. Menuju bandara Juanda Surabaya sempat ada insiden hampir ketinggalan pesawat. Perjalanan dari basecamp Bremi di Probolinggo menuju Surabaya yang semula diperkirakan bakal tepat waktu, akhirnya buyar karena macet di beberapa ruas jalan. Sudah terbayang pula kalau ketinggalan pesawat menuju Denpasar, itu artinya penerbangan selanjutnya pun bakal ikut kacau. Untuk menuju ke Labuan Bajo, saya memilih untuk melakukan penerbangan ke Denpasar terlebih dulu. Banyak sih alternatif rutenya, bisa langsung bisa juga transit-transit segala macem demi mendapat harga yang paling nyaman di kantong.


Malam itu sampailah di Ngurah Rai International Airport. Masih harus nunggu sampai pagi sih untuk penerbangan ke Labuan Bajo-nya. Kalau kemarin ketinggalan pesawat pun sebenarnya masih ada waktu, tapi siapa sih yang mau nombok beli tiket lagi. Menunggu pagi, jadilah saya dan satu teman jaman SMA ngemper di bandara, yang penting ada colokan aja beres lah acara killing time-nya.

Pagi pun tiba, saatnya terbang menuju Labuan Bajo. Waktu itu lagi musim hujan memang. Saat pendakian Gunung Argopuro pun hujan senantiasa menemani sebagian besar perjalanan. Berharap saat di Taman Nasional Komodo nanti hujan nggak mendominasi hari-hari kami. Namun benar saja, begitu sampai di Labuan Bajo kami sudah disambut dengan hujan. Kami langsung diajak menuju salah satu cafe untuk istirahat sejenak sembari menunggu hujan reda. Mau gak mau hujan menjadi resiko yang harus diambil kalau kebetulan punya jadwal ngetrip bertepatan dengan musim hujan.


Bim salabim... akhirnya hujan reda dan matahari pun menampakkan cahayanya. Trip pun dimulai dengan diarahkannya kami menuju kapal yang nantinya bakal kami tinggali untuk beberapa hari kedepan. Duhhh, mabok laut ga ya 4 hari 3 malam jadi manusia laut. Kelar makan, kapal kemudian melaju ke spot demi spot yang kesemuanya ajiiiibbb.




1. Loh Buaya
Destinasi pertama yang dituju adalah Loh Buaya. Entah kenapa pake bawa-bawa buaya, padahal kan mau nengokin komodo kan yan. Letaknya di Pulau Rinca dan merupakan spot untuk melihat komodo dari jarak yang tergolong sangat dekat. Tentu kita nggak serta merta melihat komodo begitu saja. Begitu tiba di lokasi, kami disambut oleh guide lokal yang lebih tepat kalau disebut ranger yang kemudian akan menjelaskan rute trekking untuk melihat komodo secara lebih dekat. 



Ada beberapa rute trekking dan saat itu kami dipilihkan rute paling pendek karena kami sampai disana sudah terlampau sore, maklum lah tadi nungguin hujan reda dulu lumayan lama. Oiya, komodo akan menampakkan wujud nyatanya dengan terlebih dulu dipancing oleh sang ranger. Dengan senjata berupa tongkat kayu khusus dengan ujung bercabang menyerupai ketapel, ranger siap melindungi kita dan menghalau serangan komodo kalau-kalau “si komo” ngamuk dan berusaha menyerang. Udah tau kan kalau gigitan komodo sangat fatal akibatnya. Air liurnya itu loh yang berbahaya, banyak bakterinya. Okay, yang penting kalau udah didampingi ranger aman lah, tapi tetap waspada dan jangan sekali-kali membuat komodo ngamuk. Nggak lupa kami juga mengabadikan sedikit gambar dengan arahan dari bapak ranger. Waw...!!! hasilnya kami seolah-olah memegang komodo. 


View this post on Instagram

A post shared by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Mar 6, 2017 at 5:44pm PST


Komodo akan sering ditemukan di sekitar dimana dia menetas. Agresif, Tidak ada ti tempat lain di dunia ini meski ada yang mengatakan kalau asal mereka malah dari Australia karena sempat ditemukan fosil kerangka komodo yang berusia puluhan ribu tahun. Membunuh kerbau dengan gigitan mematikan, memakan bangkai lebih sering makan bangkai daripada berburu. Bisa mendeteksi bau dari bangkai sampai radius sekitar 10 km, perlu makan hanya sebulan sekali. Pencernaan lambat, berjemur, muntah sisa sisa makanan yg keras. Kanibal kalau nggak ada makanan yang tersedia di alam. Nggak segan untuk memangsa komodo kecil.

Beranjak dari kerumunan komodo di sekitaran Loh Buaya, kami lanjut trekking menaiki tanjakan menuju satu bukit dengan hanya terdapat satu pohon. Katanya sih dijuluki pohon jomblo karena saking udah terlalu lamanya sendiri (kayak sapa yaaa???). Nggak lama kami sampai di puncak bukit melihan indahnya Pulau Rinca dari atas, gelap pun tiba. Turunlah kami menuju kapal yang bersandar di dermaga dan hari pertama di atas kapal pun kami habiskan di tepian Pulau Rinca. Esok hari kami bakal berlayar menuju Pulau Padar, pulau dengan lekuk-lekuk pantainya yang unik.



02:06:00 No komentar
Setiap pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari di puncak gunung sana?

Kalau ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain jadikan alasan kenapa mendaki gunung. Semua orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua kaki ini disana secara langsung bukan.

Argopuro, Mount of Thousands Savanas

Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.

 

Menuju Basecamp Baderan

Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan.  Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti kami, bisa drop your email on the comment form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw, jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur, bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo. Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan mobil pick up bisa dimanfaatkan buat nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit dengan jalanan beraspal nan menanjak.

Setelah mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally kami pun sampai di basecamp Baderan. So exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.

Target jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet. 

Basecamp Baderan


Yap, kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
23:44:00 64 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)