YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com




Dua kali sudah saya mendaki Lawu. Hal itu nggak menjadikan saya menolak ajakan teman yang berencana muncak ke gunung itu lagi. Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, kalau sudah pernah mendaki di satu gunung dan ada ajakan untuk mendakinya lagi, bukan berarti itu bakal menjadi alasan untuk menolaknya. 
Bagi saya pribadi mendaki gunung yang sama di lain waktu, bakal ada cerita berbeda yang didapat. Terlebih dengan orang yang berbeda, apalagi dengan jalur pendakian yang belum pernah dijajal sebelumnya, pastilah cerita yang didapat tak sama. 
Kedua kali pendakian sebelumnya itu sama-sama lewat jalur Cemoro Sewu namun dengan kawan mendaki dan waktu pendakian yang berbeda. Pertama banget mendaki Lawu saat itu satu rombongan 3 orang tanpa nge-camp, tapi bermalam di warung dekat Sendhang Derajad. 
Kali kedua, naik berdua saja dengan teman asli Karanganyar di malam 1 Suro. Di malam pergantian tahun kalender Jawa dan Islam itu Lawu membludak seolah menjadi hari paling ramai dalam satu tahunnya. Hal ini menjadi satu hal yang unik dari Lawu. Ceritanya Pendakian Lawu 1 Suro bisa dibaca disini nih. 
Lebih lagi ada kejadian janggal di pendakian kedua itu. Kalau penasaran kejadian apa yang kami alami di pendakian 1 Suro itu bisa baca ceritanya disini.

Khusus postingan kali ini adalah sebagian kecil oleh-oleh hasil dari pendakian Gunung Lawu via Jalur Pendakian Candi Cetho. Kalau bercerita tentang jalur ini, bisa dipastikan nggak jauh-jauh dari objek wisata Candi Cetho itu sendiri. Candi tersebut masih punya kekerabatan dengan Candi Sukuh yang pernah saya datangi setelah turun dari Puncak Lawu pas mendaki di malam 1 Suro. Kedua candi itu sama-sama terkenal sebagai candi erotis karena ada beberapa reliefnya sangat terang-terangan menunjukkan bentuk dari organ reproduksi manusia, selain itu ada juga arca yang berbeda dari arca candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang lain. Arca tersebut berbentuk laki-laki tanpa kepala yang memegang alat vitalnya. 

Menuju Candi Cetho

Candi ini terletak di Kabupaten Karanganyar. Banyak cara untuk menuju kesini dari berbagai wilayah. Kami serombongan yang berangkat dari Jakarta memilih untuk naik kereta menuju Semarang. Harusnya sih turun Solo lebih dekat, tapi karena kehabisan tiket jadinya kami pilih alternatif stasiun selain Solo. Sampai di Semarang kami istirahat sejenak di stasiun sambil memikirkan bagaimana cara termudah untuk menuju ke basecamp. Kepikiran untuk naik bus, tapi karena bawaan kami yang gede-gede banget ditambah dengan akses ke basecamp yang masih masuk ke pelosok, akhirnya kami mencoret alternatif itu. Kami pun tak ambil pusing biar cepet sampe juga akhirnya kami booking taksi online lewat aplikasi. Eh, ternyata teman yang booking salah masukin lokasi tujuan dengan mengetik Candi Gedong Songo, padahal harusnya Candi Sukuh. Singkat cerita akhirnya bang driver datang dan mengkonfirmasi destinasi kami yaitu Ungaran. Kami pun kaget kok bisa jadi Ungaran sih, pantes kok murah  ongkosnya. Iya sih, Candi Gedong Songo juga merupakan salah satu jalur pendakian gunung, tapi Gunung Ungaran. Kami kan mau ke Lawu. 
Setelah diskusi-diskusi akhirnya abangnya mau nganter sampe ke Candi Cetho. Tentu dengan perubahan ongkos sedemikian rupa. Ok, jadilah kami tinggal duduk manis sekitar 2 jam lebih dikit dan sampai lah kami di parkiran Candi Cetho dengan disambut kabut dingin khas pegunungan.

selain kabut, mbak-mbak ini juga menyambut kedatangan kami

persiapan menuju loket registrasi

loket registrasi pendakian beda dengan loket masuk candi ya

yok di data dulu

ini gambaran jalur pendakian Lawu via Candi Cetho

masih seger, soalnya belum seberapa jauh

dari jalur pendakian bisa ngeliat candinya juga kok

ngelewatin tempat kayak gini juga, berasa ada di istana mana gitu

naik lagi bakal ketemu candi yang berbeda, namanya...

Candi Kethek (Candi Kera/Monyet)

ninggalin jejak dulu

zoom in for further information about Monkey Temple

WARNING

candi yang unik yah

ke atas lagi barulah melewati jalan setapak

Pos 1

Pos 2

Pos 3

Pos 4

masyaallah akhi...

setelah sekian jauh, ketemu dengan view kayak gini

dengan matahari yang lumayan terik karena lokasinya lumayan terbuka

Pos 5

ninggalin jejak

sabana yang keren banget buat foto-foto

sabananya masih luas di sebelah sana

Kami camp persis di depan Warung mbok Yem

Tampak Puncak Hargodumilah dari lokasi camp

ada petilasan

mau pesen apa? yang spesial disini sih pecel telurnya

persiapan turun lagi, iya kami gak muncak kok

ini jalur yang kami lewati hari sebelumnya ketika gelap

keren banget kan Lawu via Candi Cetho

Selain lansekapnya yang ciamik, mendaki Lawu lewat jalur manapun seolah menikmati peninggalan sejarah. Banyak banget situs-situs jaman dulu kala yang ditinggalkan dan masih bisa kita nikmati. Khusus jalur Candi Cetho ini, terdapat satu spot yang bernama Pasar Dieng yang membuat kami takjub. Disana terdapat bebatuan yang berserakan namun kalau secara seksama diperhatikan itu seperti bekas kerajaan atau istana. Salah satu fotonya ada di bagian pembuka postingan ini. 

Nahhh, setiap perjalanan memberi pelajaran dan pengalamannya untuk pelakunya. Setiap selesai melakukan perjalanan ke suatu tempat, ingin rasanya  segera merencanakan perjalanan yang baru lagi. Mungkin itu yang dinamakan passion.
21:35:00 2 komentar

Sudah menjadi hal wajib jika ke Waerebo untuk sekaligus menginap disana. Tentu bakal menjadi pengalaman tersendiri bisa merasakan bagaimana tinggal di salah satu "Mbaru Niang", rumah adat di desa etnik yang berada ketinggian sekitar 1.100 mdpl itu. Temen-temen mungkin bertanya-tanya juga mengenai bagaimana perijinannya, bayar berapa, dan lain-lainnya. Kalau lagi nggak pengen pusing, biasanya dari trip organizer seperti yang saat itu saya pakai sudah semua termasuk ke dalam biaya awal alias all in one. Tapi kalaupun mau kesana secara mandiri bisa juga kok. Rinciannya kira-kira seperti yang diceritakan oleh dua orang traveler yang menginap dihari yang sama dengan kami. Mereka berdua pergi ke Flores tanpa trip organizer. Tapi mereka ke pulau-pulaunya tetep pakai operator juga sih. Operator ke pulau-pulau banyak tersedia di Labuan Bajo dengan harga tegantung dengan fasilitas, durasi, dan banyak spot yang dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, barulah mereka menuju Waerebo. Singkat cerita, dari Labuan Bajo mereka naik elf ke Denge, desa terakhir sebelum trekking. Biasanya bakal sampai di Denge tengah malam, tidur sejenak di homestay, paginya sarapan, lantas memulai trekking menuju Waerebo. Untuk trekking, harus ditemani seorang guide. Tawar-menawar terlebih dahulu tentunya sekaligus nanti sang guide pula yang bakal menjadi jembatan untuk perijinan dan administrasi kepada ketua adat Waerebo. Biaya untuk guide kalau belum naik sebesar Rp 100.000,-an dan untuk semalam menginap di Mbaru Niang dikenakan biaya Rp 325.000,- sudah termasuk upacara penyambutan, kuliner tradisional, bisa mencicipi kopi khasnya yang enak banget, tempat tidur beralas tikar lengkap dengan selimut tebal, dan kamar mandi. Tersedia juga etalase souvenir, oleh-oleh, dan kopi bubuk untuk wisatawan yang pengen beli kenang-kenangan dari Waerebo.

Salah satu hal yang menarik saat mengunjungi Waerebo adalah trekking sejauh sekitar 8 km melewati jalan setapak yang juga digunakan untuk warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil bumi maupun membeli kebutuhan lain. Terbukti saat itu kami sering berpapasan dengan warga Waerebo yang turun, salah satunya membawa sebongkok kayu manis untuk dijual di pasar. Sempat juga kami berpapasan dengan salah satu ketua adat Waerebo yang juga dalam perjalanan turun untuk mengunjungi kerabat yang sudah menetap di desa lain. Bicara soal ketua adat, Waerebo dikepalai beberapa ketua adat yang bakal menyambut dan memberi sedikit wejangan ketika kita datang mengunjungi Waerebo. Sampai saat ini ada 3 ketua adat yaitu Bapak Alexander Ngadus yang lahir di Manggarai tahun 1947, Bapak Rafael Niwang yang lahir pada tahun 1927, dan juga Bapak Rofinus Nompor yang lahir pada tahun 1937. Salah satu dari mereka akan dengan ramah menyambut kita saat berkunjung ke Waerebo. Saat itu rombongan kami disambut oleh Bapak Rofinus Nompor, sedangkan dua ketua adat yang lain kebetulan sedang turun ke Denge untuk mengunjungi kerabat yang sudah tidak tinggal lagi di Waerebo.
Setidaknya ada 7 rumah adat yang berdiri dengan satu bangunan utama yang fungsinya untuk upacara adat dan penyambutan tamu bernama rumah gendang. Yap tepat, karena di dalam rumah adat utama yang juga ukurannya paling besar dan tinggi itu terdapat gendang dan beberapa properti upacara adat yang lainnya. Rumah Gendang juga dijadikan rumah hunian beberapa kepala keluarga dengan terbagi kamar-kamar dengan bagian tengah untuk tempat berkumpul dan juga dapur.
Berbeda dengan rumah gendang, para pengunjung yang datang dan menginap akan ditempatkan di salah satu rumah yang lataknya paling pinggir.

waduh, ini kok malah jadi kayak pengungsian yahhh hehe...

nge-cas smartphone adalah koentji begitu nyampe Waerebo
ngantre yah tapi

Bagian tengah rumah digunakan untuk berkumpul sambil makan, minum kopi khas Waerebo, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja sembari menunggu kantuk tiba di malam hari. Listrik sudah sampai kesini kok karena makin banyak wisatawan yang bermalam.

sumpa demi apa, kopinya "juara umum"

Kami saat itu juga sempat ada acara potong ayam juga loh. Bahkan kami sendiri yang diminta untuk memotong ayamnya. Begitu matang, saatnya makan deh. Kulinernya yang sederhana menjadi mewah ketika dinikmati bersama di dalam Mbaru Niang. Selain kopinya yang juara, sambal yang disajikan pun sangat enak dan terasa lain daripada yang lain. Ada gurih-gurihnya gitu, entah dari mana. Selain itu, bakal disajikan pula pisang dengan kulit berwarna kemerahan yang bisa menjadi teman ngopi setelah santap malam. Pokoknya sempurna lah perjalanan kali itu.
Pagi harinya, bisa dimanfaatkan untuk berkeliling sekitar dan melihat aktivitas sehari-hari warga. Pada musim tertentu bakal menjumpai kegiatan menjemur kopi tapi karena saat itu kami datang ketika musim hujan sehingga kegiatan warga yang bisa kami lihat adalah tenun menenun. Ketika sang ibu menenun, ayah pergi ke kebun, anak-anak pun bermain di halaman rumah yang berumput. Kami pun sempat bermain juga dengan anak-anak Waerebo yang pas awal-awal malu-malu gitu, tapi lama-kelamaan mereka bisa ketawa ketiwi juga sama kami.













Sungguh luar biasa kan yaaa, sampai-sampai PBB pun memberikan penghargaan bagi salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Sebagai generasi muda, kita semua bertugas untuk melestarikannya dan terus menjadi agen promosi agar Waerebo semakin mendunia.
16:57:00 2 komentar
Waerebo merupakan sebuah kampung adat yang letaknya di dataran tinggi Manggarai. Uniknya, kampung ini masih tetap menjaga tradisi dan budaya dari nenek moyang dan leluhurnya. Siapa sangka nenek moyang Waerebo malah berasal dari tanah Minangkabau bernama Empo Maro. Sang leluhur tersebut dan beberapa kerabatnya bisa sampai di Flores setelah mengarungi lautan dengan perahu layar selama beberapa waktu. Kemudian berlabuh lah mereka di Labuan Bajo, lantas mereka melanjutkan perjalanan ke arah utara menetap di satu daerah kemudian berpindah-pindah lagi ke daerah lain hingga memutuskan untuk menetap di daerah yang kini di kenal dengan Waerebo dan berketurunan disitu.


Ada apa sih di Waerebo???
Hmmm, alhamdulillah udah kesampean kesana dan asiknya lagi bisa menginap semalam di salah satu rumah adatnya. Bisa dibilang desa yang berada di ketinggian Pulau Flores itu memiliki banyak daya pikat hingga makin kesini semakin banyak wisatawan yang singgah kesana. Ditengah modernisasi seperti saat ini, mereka masih setia tinggal di pegunungan yang lumayan jauh dari pusat keramaian. Bangunan tempat tinggal mereka pun bentuk dan kondisinya masih mereka usahakan untuk jaga orisinalitasnya. Selain bangunan, cara hidup mereka pun masih sangat menjaga budaya yang diturunkan leluhurnya. Dengan segala keterbatasan yang ada, keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Upaya untuk mempertahankan warisan leluhur tersebut tak sia-sia, hingga pada 27 Agustus 2012 badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Waerebo sebagai peraih Award of Excellence pada event UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.

Menuju Waerebo

trekking diawali jalanan aspal selepas Desa Denge, desa tempat singgah sebelum menuju Waerebo

klik gambar, zoom in, dan baca yaaa...!!!

sesekali berpapasan dengan warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil alamnya

dapat teman trekking nih, ga tau namanya siapa. dia ngikutin dari tengah hutan sampai ke Waerebo

sempat juga nglewatin jembatan bambu yang bunyi-bunyi waktu dilewatin "krek krek krek"

cerita selanjutnya disini

21:46:00 2 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)