YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com




Dua kali sudah saya mendaki Lawu. Hal itu nggak menjadikan saya menolak ajakan teman yang berencana muncak ke gunung itu lagi. Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, kalau sudah pernah mendaki di satu gunung dan ada ajakan untuk mendakinya lagi, bukan berarti itu bakal menjadi alasan untuk menolaknya. 
Bagi saya pribadi mendaki gunung yang sama di lain waktu, bakal ada cerita berbeda yang didapat. Terlebih dengan orang yang berbeda, apalagi dengan jalur pendakian yang belum pernah dijajal sebelumnya, pastilah cerita yang didapat tak sama. 
Kedua kali pendakian sebelumnya itu sama-sama lewat jalur Cemoro Sewu namun dengan kawan mendaki dan waktu pendakian yang berbeda. Pertama banget mendaki Lawu saat itu satu rombongan 3 orang tanpa nge-camp, tapi bermalam di warung dekat Sendhang Derajad. 
Kali kedua, naik berdua saja dengan teman asli Karanganyar di malam 1 Suro. Di malam pergantian tahun kalender Jawa dan Islam itu Lawu membludak seolah menjadi hari paling ramai dalam satu tahunnya. Hal ini menjadi satu hal yang unik dari Lawu. Ceritanya Pendakian Lawu 1 Suro bisa dibaca disini nih. 
Lebih lagi ada kejadian janggal di pendakian kedua itu. Kalau penasaran kejadian apa yang kami alami di pendakian 1 Suro itu bisa baca ceritanya disini.

Khusus postingan kali ini adalah sebagian kecil oleh-oleh hasil dari pendakian Gunung Lawu via Jalur Pendakian Candi Cetho. Kalau bercerita tentang jalur ini, bisa dipastikan nggak jauh-jauh dari objek wisata Candi Cetho itu sendiri. Candi tersebut masih punya kekerabatan dengan Candi Sukuh yang pernah saya datangi setelah turun dari Puncak Lawu pas mendaki di malam 1 Suro. Kedua candi itu sama-sama terkenal sebagai candi erotis karena ada beberapa reliefnya sangat terang-terangan menunjukkan bentuk dari organ reproduksi manusia, selain itu ada juga arca yang berbeda dari arca candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang lain. Arca tersebut berbentuk laki-laki tanpa kepala yang memegang alat vitalnya. 

Menuju Candi Cetho

Candi ini terletak di Kabupaten Karanganyar. Banyak cara untuk menuju kesini dari berbagai wilayah. Kami serombongan yang berangkat dari Jakarta memilih untuk naik kereta menuju Semarang. Harusnya sih turun Solo lebih dekat, tapi karena kehabisan tiket jadinya kami pilih alternatif stasiun selain Solo. Sampai di Semarang kami istirahat sejenak di stasiun sambil memikirkan bagaimana cara termudah untuk menuju ke basecamp. Kepikiran untuk naik bus, tapi karena bawaan kami yang gede-gede banget ditambah dengan akses ke basecamp yang masih masuk ke pelosok, akhirnya kami mencoret alternatif itu. Kami pun tak ambil pusing biar cepet sampe juga akhirnya kami booking taksi online lewat aplikasi. Eh, ternyata teman yang booking salah masukin lokasi tujuan dengan mengetik Candi Gedong Songo, padahal harusnya Candi Sukuh. Singkat cerita akhirnya bang driver datang dan mengkonfirmasi destinasi kami yaitu Ungaran. Kami pun kaget kok bisa jadi Ungaran sih, pantes kok murah  ongkosnya. Iya sih, Candi Gedong Songo juga merupakan salah satu jalur pendakian gunung, tapi Gunung Ungaran. Kami kan mau ke Lawu. 
Setelah diskusi-diskusi akhirnya abangnya mau nganter sampe ke Candi Cetho. Tentu dengan perubahan ongkos sedemikian rupa. Ok, jadilah kami tinggal duduk manis sekitar 2 jam lebih dikit dan sampai lah kami di parkiran Candi Cetho dengan disambut kabut dingin khas pegunungan.

selain kabut, mbak-mbak ini juga menyambut kedatangan kami

persiapan menuju loket registrasi

loket registrasi pendakian beda dengan loket masuk candi ya

yok di data dulu

ini gambaran jalur pendakian Lawu via Candi Cetho

masih seger, soalnya belum seberapa jauh

dari jalur pendakian bisa ngeliat candinya juga kok

ngelewatin tempat kayak gini juga, berasa ada di istana mana gitu

naik lagi bakal ketemu candi yang berbeda, namanya...

Candi Kethek (Candi Kera/Monyet)

ninggalin jejak dulu

zoom in for further information about Monkey Temple

WARNING

candi yang unik yah

ke atas lagi barulah melewati jalan setapak

Pos 1

Pos 2

Pos 3

Pos 4

masyaallah akhi...

setelah sekian jauh, ketemu dengan view kayak gini

dengan matahari yang lumayan terik karena lokasinya lumayan terbuka

Pos 5

ninggalin jejak

sabana yang keren banget buat foto-foto

sabananya masih luas di sebelah sana

Kami camp persis di depan Warung mbok Yem

Tampak Puncak Hargodumilah dari lokasi camp

ada petilasan

mau pesen apa? yang spesial disini sih pecel telurnya

persiapan turun lagi, iya kami gak muncak kok

ini jalur yang kami lewati hari sebelumnya ketika gelap

keren banget kan Lawu via Candi Cetho

Selain lansekapnya yang ciamik, mendaki Lawu lewat jalur manapun seolah menikmati peninggalan sejarah. Banyak banget situs-situs jaman dulu kala yang ditinggalkan dan masih bisa kita nikmati. Khusus jalur Candi Cetho ini, terdapat satu spot yang bernama Pasar Dieng yang membuat kami takjub. Disana terdapat bebatuan yang berserakan namun kalau secara seksama diperhatikan itu seperti bekas kerajaan atau istana. Salah satu fotonya ada di bagian pembuka postingan ini. 

Nahhh, setiap perjalanan memberi pelajaran dan pengalamannya untuk pelakunya. Setiap selesai melakukan perjalanan ke suatu tempat, ingin rasanya  segera merencanakan perjalanan yang baru lagi. Mungkin itu yang dinamakan passion.
21:35:00 2 komentar
Setiap pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari di puncak gunung sana?

Kalau ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain jadikan alasan kenapa mendaki gunung. Semua orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua kaki ini disana secara langsung bukan.

Argopuro, Mount of Thousands Savanas

Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.

 

Menuju Basecamp Baderan

Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan.  Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti kami, bisa drop your email on the comment form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw, jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur, bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo. Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan mobil pick up bisa dimanfaatkan buat nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit dengan jalanan beraspal nan menanjak.

Setelah mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally kami pun sampai di basecamp Baderan. So exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.

Target jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet. 

Basecamp Baderan


Yap, kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
23:44:00 64 komentar
Bermula dari ajakan teman SMA yang kebetulan lagi lanjut kuliah S2 di UGM untuk keliling-keliling pinggiran Jogja, akhirnya kesampaian juga saya bisa main olah raga yang syarat akan pacuan adrenalin. Sebelumnya saya acungkan dua jempol dulu bagi para pencetusnya karena ide kreatifnya sungguh keren. Yap, sandboarding... Gak terlalu baru juga di telinga saya mendengar olag raga yang sebenarnya lebih ke permainan ketangkasan itu. Dari siaran di TV dan unggahan-unggahan di medsos lah saya sedikit tahu tentang itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
permainan asik  yang lokasinya juga kece pula

Awal Kemunculan

Olah raga yang sewajarnya dimainkan dengan papan beroda dan akrab kita sebut dengan skateboarding itu, oleh sekelompok orang-orang kreatif yang tergabung dalam kelompok pecinta alam UGM dimodifikasi sehingga bisa dimainkan di atas pasir di area gundukan-gundukan pasir alias gumuk pasir di daerah Pantai Parangkusumo, Bantul, DI Yogyakarta. Selain permainannya yang sangat unik banget, lokasi bermainnya gak kalah kece. Konon cuma satu-satunya di Asia Tenggara. Wow gak tuh. Seperti yang kita ketahui bahwa fenomena padang pasir biasanya ada di daerah Timur Tengah dan sebagian Benua Afrika, namun ternyata fenomena kayak gitu bisa juga kita temukan di Jogja. Iya, di Indonesia ada juga loh. Meskipun hasil prosesnya sama-sama berbentuk hamparan pasir, tapi untuk sand dunes a.k.a gumuk pasir yang ada di DI Yogyakarta ini sedikit beda. Dari info yang saya dapat, katanya pasir-pasir itu tercipta karena hasil proses geologi Gunung Merapi dan Merbabu yang material vulkanisnya hanyut terbawa melalui Sungai Opak hingga ke muaranya yang ada di sekitaran Pantai Parangtritis. Nah karena bantuan hempasan tangan Syahrini, eh hempasan angin pantai maksudnya yang menerbangkan butiran-butiran lembut hasil erupsi tadi dan dalam waktu yang gak singkat juga  pastinya, maka terbentuklah gumuk atau gundukan pasir yang kini bisa kita lihat di sekitaran Pantai Parangtritis itu.

Hmmm, gitu loh ceritanya. Saya awalnya mengira kalau gundukan pasir itu emang pasir pantai tapi ternyata material erupsi Gunung Merapi dan Merbabu. Btw, kandungan besi pasir disana banyak banget, so kalau main seluncurannya kayak saya waktu itu ditengah siang bolong wajar saja kaki saya kayak jalan di atas setrikaan. Panas banget coy... 
Waktu yang pas emang pagi atau sore pas matahari masih anget-angetnya. Selain itu gundukan pasir Parangkusumo juga instagramable loh, kece abis buat dijepret terus diupload deh di instagram. Jangan lupa follow juga IG gue @ardiyanta yak...!!! 
hehe sekalian promosi.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
disana ada beberapa gumuk dengan ketinggian dan kemiringan yang bervariasi

Ide “gila” permainan sandboarding itu muncul awalnya dari permainan seluncuran pasir dengan pelepah atau batang daun kelapa. Makin berjalannya waktu terpikirlah gagasan untuk membuat permainan yang makin eksis lagi dengan mengembangkan sebuah alat seluncuran mirip yang dipake buat main skateboard, bedanya gak ada roda dibagian bawahnyanya. Pergerakannya mengandalkan kemiringan gundukan pasir dan juga wax untuk melumasi bagian bawah papan agar licin dan bisa meluncur dengan kencang. Eh, jangan lupa bawa kacamata yes, pasirnya juga suka terbang-terbang kalau ketiup angin. Gak mau kan kalau kelilipan...
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
naiknya capek, turunnya enaaa

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
ga usah pakai sendal, nyeker aja biar makin menyatu dengan alam

Awal main sandboarding bakal ngrasa kesusahan dulu karena emang kaki belum beradaptasi dengan papan dan pasir yang jadi arena bermainnya. Beda halnya kalau kalian punya basic olah raga skateboard atau surfing, bakalan gampang menyesuaikan. Beberapa kali nyoba langsung bisa. Saya sih ga punya basic olah raga apa-apa, cuman seneng prosotan aja jadinya saya pun sekali nyoba langsung bisa dan langsung pindah lokasi ke gumuk yang paling tinggi untuk ngerasain adrenalin biar lebih mengalir deras.
 

Lokasi

Oiya, udah cerita panjang lebar gitu gak ngasi tau lokasi kalau kalian kepengen main sandboarding yang jujur bikin saya ketagihan. Udah meluncur sampai bawah, naik lagi ke puncak gumuk pasir, turun lagi, naik lagi gitu aja terus sampe kaki gempor naik turun pun tapi tetep aja asik. Cuma satu yang saat itu ngehentiin permainan sandboarding saya, yaitu hujan deras. Coba aja kalau gak hujan, bisa sampai maghrib mainnya.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
istirahat dulu merasakan hempasan angin segar

Kalau kalian pengen juga main sandboarding, pas lagi jalan-jalan ke Jogja terutama. Sempatin deh ke Gumuk Pasir Parangkusumo. Lokasinya searah kalau mau ke Pantai Parangtritis. Nah, beberapa meter doang setelah nglewatin pos pembayaran retribusi yang bentuknya gerbang di tengah jalan gitu, coba lihat deh ke sebelah kanan jalan ada rumah makan kalau gak salah namanya Segoro Wedi. Parkir saja disitu soalnya di rumah makan itu juga sekalian menyediakan alat buat seluncurannya. Karcis masuknya sekalian parkir motor Rp 10.000an lah, terus sewa papan seluncurnya Rp 70.000,- bisa sepuasnya. Ini harga pas Agustus 2016 yak, bisa naik bisa turun. Perkiraan saya sih kayaknya bakal naik karena makin hits aja permainan itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
datang kesini dan rasakan sensasinya
18:58:00 10 komentar

Indonesia punya sejarah panjang, banyak bukti mengenai itu. Mulai dari jaman kerajaan-kerajaan hindu dan budha sampai jaman kemerdekaan. Banyak sisa-sisa kejayaan masa lalu yang bisa kita lihat sampai saat ini.

Kali ini bakal dibahas tentang peninggalan masa lalu yang masuk dalam situs warisan cagar budaya. Sangat berkaitan erat dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan, meskipun ketenarannya memang masih unggul kedua candi tersebut. Namun, banyak keunikan yang tersimpan dari situs peninggalan sejarah yang bakal dibahas secara tuntas melalui postingan ini. Yang dimaksud itu tak lain adalah Kraton Candi Ratu Boko. Kebetulan juga beberapa waktu yang lalu sempat saya kunjungi.

A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Feb 9, 2016 at 2:36am PST


Letak Geografis dan Konstruksi

Situs seluas sekitar 25 ha ini bisa dibilang menjadi satu-satunya situs arkeologi yang memadukan arsitektur khas Hindu dan Budha. Terletak hanya sekitar 3 kilometer kearah selatan Candi Prambanan, tepatnya di kecamatan Bokoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kira-kira 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Solo.


Pertama yang kita lihat kalau kita ikuti papan petunjuk yang ada di pinggir jalan dari arah Candi Prambanan adalah pintu masuk pertama yang kata bapak penjaga loket kalau lewat situ jalan kakinya lebih jauh. Waktu itu saya direkomendasikan lewat pintu yang kedua, tapi tiket bisa dibeli kok di loket pintu masuk pertama.

Setelah menebus tiket, saya pun melaju menuju ke pintu masuk Kraton Ratu Boko yang kedua. Cukup mudah didatangi juga, secara penunjuk arahnya dimana-mana. Nanti bakal melewati desa-desa dengan dihiasi sawah dan perbukitan hijau. Selain itu bakal melewati pula jalan masuk menuju Candi Ijo dan Candi abang. Kalau kalian punya waktu banyak, bisa dicoba nengok semua candi itu. Saran saya, taruh Kraton Ratu Boko di urutan kunjungan yang terakhir. Karena apa, sunset dari kompleks Ratu Boko jos gandhos pokoknya.

Okey, setelah melewati jalanan desa yang menanjak akhirnya sampai juga di pintu gerbang Ratu Boko yang kedua. Saya sih langsung masuk aja karena tiket udah di tangan.

Welcome to Ratu Boko Palace...!!! Kalau kita lihat konstruksi yang masih berdiri, Ratu Boko berbeda dengan Borobudur, Prambanan, dan candi-candi yang lain karena kesan yang kita peroleh pasti menganggap kalau Ratu Boko adalah suatu kompleks kerajaan. Terlihat dari saat awal kita masuk area candi yang sudah disambut dengan gerbang masuk yang berundak, kemudian ada pendopo, permandian, dan diperkirakan ada pemukiman-pemukiman yang dulunya berkonstruksi kayu-kayu namun yang tampak saat ini hanya pondasinya saja. Hmmm, cukup membuktikan kalau tempat itu dulunya adalah istana kan???

Karena berkonstruksi batu andhesit maka Kraton Ratu Boko ada pula yang menyebut sebagai candi, namun sejatinya memang bukanlah candi. Meskipun lebih mirip kraton, banyak pula perbedaan antara situs Ratu Boko dengan kebanyakan kraton di tanah Jawa karena kedudukannya yang berada di atas bukit. Sedangkan kraton yang lain biasanya didirikan di dataran yang mudah dijangkau dengan terdapat elemen-elemen tertentu misalkan alun-alun dan yang lainnya.

Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang terdapat spot yang dinamakan Candi Pembakaran atau bisa disebut tempat kremasi yang mana candi-candi yang lain nggak ada yang seperti ini. Diperkirakan pula kegiatan kremasi adalah hal yang sudah menjadi syarat mutlak jika ada kematian. Melihat juga candi pembakaran yang menyerupai altar, menandakan upacara pembakaran mayat merupakan satu upacara yang besar pada waktu itu karena memungkinkan upacara tersebut dihadiri seluruh penduduk.


candi pembakaran

18:58:00 15 komentar


Menunggu sunrise di satu tempat yang tinggi sudah lama tak saya rasakan. Terakhir naik gunung pada 22 Desember 2013 lalu ke Merbabu setelah dinanti-nanti ternyata sang mentari enggan menampakkan dirinya. Sabar menunggu hingga bulan berganti bahkan tahun ikut berganti masih juga cuaca yang bersahabat tak kunjung datang. Cuaca di akhir hingga awal tahun memang agak sedikit kurang bersahabat. Terlebih lagi Indonesia tengah diuji dengan bencana alam yang silih berganti, mulai dari erupsi Gunung Sinabung hingga yang paling terakhir yaitu bencana letusan Gunung Kelud yang abu vulkaniknya bisa sampai Jawa Barat bagian timur. Dari rentetan peristiwa memilukan tersebut saya jadi perlu mengerem dulu keinginan untuk naik gunung untuk sementara hingga keadaan membaik.

Untuk menawarkan hasrat kerinduan akan sunrise yang hangat, rasanya pergi ke satu tempat tinggi yang tak terlalu beresiko (red: bukan gunung) bisa  sedikit mengobatinya. Punthuk Setumbu sepertinya cocok nih, apalagi ada temen sekantor yang rumahnya deket-deket situ, terlebih satu desa dengan bukit tempat memandang siluet Borobudur tersebut. 

"Punthuk Setumbu" sendiri merupakan sebuah bukit yang terletak di sebelah  barat Candi Borobudur yang masuk wilayah Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Keistimewaan bukit tersebut selain menjadi tempat yang pas untuk menikmati indahnya mentari yang keluar dari peraduannya, tapi juga bisa menikmati negeri diatas awan yang berpadu dengan siluet Candi Borobudur dari kejauhan.


Candi Borobudur dari kejauhan

Borobudur nan megah

siluet Borobudur yang tampak mistis eksotis ditengah rerimbunan pepohonan

Pertama tahu kalau ada tempat yang sebegitu indah itu tentunya dari dunia maya. Foto-foto yang dipamerkan para fotografer sungguh membuat saya ngiler. Kalau ke Candi Borobudurnya sendiri melihat dari dekat kemegahan salah satu keajaiban dunia tersebut kalau saya hitung-hitung sudah 3 kali termasuk saat Waisak 2012 lalu, tapi kalau melihatnya dari kejauhan berpadu dengan kemunculan sunrise belum pernah sama sekali. Pernah terbesit asa untuk mencari letak bukit itu seorang diri. Maklum lah, kadang saya suka penasaran sendiri sama tempat indah yang belum pernah saya datangi. Tapi ternyata saya tak perlu susah-susah mencarinya apalagi belum tentu juga bisa sampai di lokasi tersebut. Pada saat masuk kantor pertama ternyata ada teman baru juga yang rumahnya di Kecamatan Borobudur. Tanya-tanya ternyata Punthuk Setumbu deket dari rumahnya. Alhasil saya pun mengajaknya untuk kesana sekaligus menunjukkan jalan dan kalau bisa sekalian ngasih tebengan buat nginep barang semalam gitu hehe. Yap, akhirnya fix kami memilih hari dan berangkatlah saya ke Magelang.
16:34:00 14 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)