YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com




Dua kali sudah saya mendaki Lawu. Hal itu nggak menjadikan saya menolak ajakan teman yang berencana muncak ke gunung itu lagi. Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, kalau sudah pernah mendaki di satu gunung dan ada ajakan untuk mendakinya lagi, bukan berarti itu bakal menjadi alasan untuk menolaknya. 
Bagi saya pribadi mendaki gunung yang sama di lain waktu, bakal ada cerita berbeda yang didapat. Terlebih dengan orang yang berbeda, apalagi dengan jalur pendakian yang belum pernah dijajal sebelumnya, pastilah cerita yang didapat tak sama. 
Kedua kali pendakian sebelumnya itu sama-sama lewat jalur Cemoro Sewu namun dengan kawan mendaki dan waktu pendakian yang berbeda. Pertama banget mendaki Lawu saat itu satu rombongan 3 orang tanpa nge-camp, tapi bermalam di warung dekat Sendhang Derajad. 
Kali kedua, naik berdua saja dengan teman asli Karanganyar di malam 1 Suro. Di malam pergantian tahun kalender Jawa dan Islam itu Lawu membludak seolah menjadi hari paling ramai dalam satu tahunnya. Hal ini menjadi satu hal yang unik dari Lawu. Ceritanya Pendakian Lawu 1 Suro bisa dibaca disini nih. 
Lebih lagi ada kejadian janggal di pendakian kedua itu. Kalau penasaran kejadian apa yang kami alami di pendakian 1 Suro itu bisa baca ceritanya disini.

Khusus postingan kali ini adalah sebagian kecil oleh-oleh hasil dari pendakian Gunung Lawu via Jalur Pendakian Candi Cetho. Kalau bercerita tentang jalur ini, bisa dipastikan nggak jauh-jauh dari objek wisata Candi Cetho itu sendiri. Candi tersebut masih punya kekerabatan dengan Candi Sukuh yang pernah saya datangi setelah turun dari Puncak Lawu pas mendaki di malam 1 Suro. Kedua candi itu sama-sama terkenal sebagai candi erotis karena ada beberapa reliefnya sangat terang-terangan menunjukkan bentuk dari organ reproduksi manusia, selain itu ada juga arca yang berbeda dari arca candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang lain. Arca tersebut berbentuk laki-laki tanpa kepala yang memegang alat vitalnya. 

Menuju Candi Cetho

Candi ini terletak di Kabupaten Karanganyar. Banyak cara untuk menuju kesini dari berbagai wilayah. Kami serombongan yang berangkat dari Jakarta memilih untuk naik kereta menuju Semarang. Harusnya sih turun Solo lebih dekat, tapi karena kehabisan tiket jadinya kami pilih alternatif stasiun selain Solo. Sampai di Semarang kami istirahat sejenak di stasiun sambil memikirkan bagaimana cara termudah untuk menuju ke basecamp. Kepikiran untuk naik bus, tapi karena bawaan kami yang gede-gede banget ditambah dengan akses ke basecamp yang masih masuk ke pelosok, akhirnya kami mencoret alternatif itu. Kami pun tak ambil pusing biar cepet sampe juga akhirnya kami booking taksi online lewat aplikasi. Eh, ternyata teman yang booking salah masukin lokasi tujuan dengan mengetik Candi Gedong Songo, padahal harusnya Candi Sukuh. Singkat cerita akhirnya bang driver datang dan mengkonfirmasi destinasi kami yaitu Ungaran. Kami pun kaget kok bisa jadi Ungaran sih, pantes kok murah  ongkosnya. Iya sih, Candi Gedong Songo juga merupakan salah satu jalur pendakian gunung, tapi Gunung Ungaran. Kami kan mau ke Lawu. 
Setelah diskusi-diskusi akhirnya abangnya mau nganter sampe ke Candi Cetho. Tentu dengan perubahan ongkos sedemikian rupa. Ok, jadilah kami tinggal duduk manis sekitar 2 jam lebih dikit dan sampai lah kami di parkiran Candi Cetho dengan disambut kabut dingin khas pegunungan.

selain kabut, mbak-mbak ini juga menyambut kedatangan kami

persiapan menuju loket registrasi

loket registrasi pendakian beda dengan loket masuk candi ya

yok di data dulu

ini gambaran jalur pendakian Lawu via Candi Cetho

masih seger, soalnya belum seberapa jauh

dari jalur pendakian bisa ngeliat candinya juga kok

ngelewatin tempat kayak gini juga, berasa ada di istana mana gitu

naik lagi bakal ketemu candi yang berbeda, namanya...

Candi Kethek (Candi Kera/Monyet)

ninggalin jejak dulu

zoom in for further information about Monkey Temple

WARNING

candi yang unik yah

ke atas lagi barulah melewati jalan setapak

Pos 1

Pos 2

Pos 3

Pos 4

masyaallah akhi...

setelah sekian jauh, ketemu dengan view kayak gini

dengan matahari yang lumayan terik karena lokasinya lumayan terbuka

Pos 5

ninggalin jejak

sabana yang keren banget buat foto-foto

sabananya masih luas di sebelah sana

Kami camp persis di depan Warung mbok Yem

Tampak Puncak Hargodumilah dari lokasi camp

ada petilasan

mau pesen apa? yang spesial disini sih pecel telurnya

persiapan turun lagi, iya kami gak muncak kok

ini jalur yang kami lewati hari sebelumnya ketika gelap

keren banget kan Lawu via Candi Cetho

Selain lansekapnya yang ciamik, mendaki Lawu lewat jalur manapun seolah menikmati peninggalan sejarah. Banyak banget situs-situs jaman dulu kala yang ditinggalkan dan masih bisa kita nikmati. Khusus jalur Candi Cetho ini, terdapat satu spot yang bernama Pasar Dieng yang membuat kami takjub. Disana terdapat bebatuan yang berserakan namun kalau secara seksama diperhatikan itu seperti bekas kerajaan atau istana. Salah satu fotonya ada di bagian pembuka postingan ini. 

Nahhh, setiap perjalanan memberi pelajaran dan pengalamannya untuk pelakunya. Setiap selesai melakukan perjalanan ke suatu tempat, ingin rasanya  segera merencanakan perjalanan yang baru lagi. Mungkin itu yang dinamakan passion.
21:35:00 2 komentar
Pulau Jawa banyak sekali memiliki pancang bumi alias gunung tersebar di permukaannya. Nggak heran kalau gunung-gunung di Jawa selalu menjadi tujuan pendakian. Banyak alasan kok untuk menjadikan gunung-gunung tersebut sebagai destinasi pendakian meskipun untuk menuju kesana harus rela menempuh jarak ratusan kilometer dan waktu yang gak sebentar dari daerah asal. Mulai dari view yang disajikan, jalur pendakian yang menguji kemampuan pendakian, hingga bisa melakukan pendakian beberapa gunung sekaligus dalam satu rangkaian waktu, karena memang banyak gunung di Jawa yang bersebelahan; misal Gunung Gede Pangrango, Sindoro Sumbing, Merbabu Merapi, sampai yang di bagian timur Jawa ada Arjuno Welirang. Pengalaman sih, beberapa kali ketemu pendaki di jalur pendakian dan ternyata dia barusan juga mendaki gunung di sebelahnya, alasannya tak lain karena mumpung udah jauh-jauh kesitu jadinya sekalian saja mendaki gunung lain yang basecampnya nggak saling berjauhan.

Saya sendiri khusus untuk gunung-gunung di Jawa Tengah sampai akhir 2016 kemarin sudah hampir semua gunung yang ketinggiannya sekitaran 3000an mdpl pernah saya pijakkan kaki di puncaknya. Kurang satu yang belum yaitu Gunung Slamet yang letaknya berada di bagian barat Jawa Tengah, lumayan jauh juga dari rumah soalnya. Pernah sih sampai di bawah gunungnya namun sayang belum berkesempatan mendaki Slamet. Hingga pada akhir Desember 2016 lalu saat ada tanggal merah, maka rencana pendakian ke atap tertinggi Jawa Tengah itu bisa direalisasikan. Biar ntar kalau ditanyain sudah ndaki kemana aja, jawabnya gampang; gunung di Jateng yang 3000an mdpl sudah semua. Hahaha, enggak gitu juga sih. Pokoknya jangan ada kesombongan sedikit pun sebagai pendaki gunung, ntar bisa “kena batunya” pas mendaki. Gak sedikit kok yang karena kesombongannya saat mendaki berakhir dengan celaka. Jadi anggap saja nambah pengalaman kalau memang sudah mendaki banyak gunung. Yang berhak sombong hanya Tuhan semata, karena Dia-lah yang maha mencipta alam yang manusia tempati dan gunung-gunung yang kita daki ini sodara-sodara. Lanjutttt…

Gunung Slamet

Kenalan dulu yuk dengan gunung yang punya ketinggian maksimal 3.428 mdpl ini. Tinggi banget yak, gak heran sih gunung ini jadi atap tertingginya Provinsi Jawa Tengah. Gunung ini masuk wilayah administrasi beberapa kabupaten diantaranya adalah Purbalingga, Purwokerto, Brebes, dan Tegal yang familiar kita kenal dengan wilayah Jawa Ngapak. Puncaknya bernama Puncak Surono yang konon bermula dari seorang pendaki di jaman dahulu bernama Surono yang terpeleset di puncak dan akhirnya meninggal. Entah kenapa alasannya, nama Surono diabadikan sebagai nama puncak Gunung Slamet. Selain itu untuk mengenang almarhum juga dibangun sebuah tugu di puncak. Di dekat puncak terdapat kawah menganga bernama Segoro Wedhi (Lautan Pasir) yang masih aktif mengeluarkan asap belerang yang baunya sangat pekat menusuk hidung terutama kalau kita lagi di puncaknya.

Jalur Pendakian


Ada beberapa jalur pendakian resmi Gunung Slamet yang bisa kita pilih untuk menuju ke puncaknya. Ada jalur Bambangan di Purbalingga, jalur Baturaden di Purwokerto, ada jalur Guci yang ada di Tegal, jalur Kaliwadas di Brebes, dan juga jalur Dipajaya yang masuk Kabupaten Pemalang. Setiap jalur punya karakteristiknya masing-masing. FYI aja nih, kalau ada beberapa spot di jalur pendakian Slamet yang konon katanya angker dan udah jadi rahasia umum sih. Ada air terjun Guci yang konon katanya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, ada mitos manusia kerdil yang dulunya adalah pendaki yang tersesat yang lama-kelamaan memakan tanaman untuk bertahan hidup sampai-sampai kehilangan jati dirinya sebagai manusia, dan yang paling menyeramkan adalah dua pohon besar di jalur pendakian Bambangan yang konon merupakan pintu gerbang menuju alam gaib serta terdapat pos yang bernama Samarantu yang katanya bermakna samar-samar ada hantu. Hmmm, mayan bikin bulu kuduk merinding sih. Tapi bisa dijadikan referensi aja siapa tahu emang ntar ketemu. Eh, bercanda… Jadikan semua itu kearifan lokal yang patut dihormati dan yang penting jaga sopan santun saat mendaki.

Kala itu kami menuju puncak Gunung Slamet lewat jalur paling mainstream namun menjadi yang difavoritkan pendaki kalau mendakinya yaitu jalur Bambangan yang ada di Kabupaten Purbalingga.

Pendakian Gunung Slamet Jalur Bambangan

Kalau ditanya kenapa pilih jalur Bambangan sebagai awal pendakian menuju puncak Gunung Slamet tak lain karena memang jalur tersebut yang paling populer di kalangan pendaki. Untuk yang pertama kali emang enaknya kalau pakai jalur yang paling rame dulu gapapa lah, baru yang selanjutnya bisa mencoba jalur lain yang lebih menantang.

Menuju basecamp Bambangan makin kesini makin gampang aja. Di Stasiun Purwokerto sudah ada angkutan yang khusus untuk pendaki yang ingin menuju basecamp. Saran saya sih mending kalau yang dari luar kota dan ada jalur kereta ke Purwokerto lebih enak kalau pakai kereta dan dilanjut dengan angkutan umum yang khusus untuk pendaki tersebut. Bahkan sampai ada paguyuban dan tanda pengenalnya juga lho. Mereka akan mengantar ke basecamp sekaligus menjemput untuk diantarkan lagi ke stasiun atau terminal.

Waktu tempuh antara Stasiun Purwokerto dan Basecamp Bambangan hanya satu jam perjalanan saja. Sembari menuju basecamp juga bisa sekalian membeli logistik yang belum lengkap. Banyak warung-warung kok sepanjang jalan menuju Bambangan.



Sampai di basecamp kita wajib melakukan registrasi dan mengurus administrasi. Kalau datang secara rombongan kita harus menulis nama seluruh anggota rombongan dan meninggalkan KTP salah satu wakilnya. Buku tamu dipisahkan perwilayah antara Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur & Luar Jawa. Jadi buku tamu untuk pendaki dari Jawa Timur dan Luar Jawa dijadikan satu, mungkin karena masih belum terlalu banyak pendaki yang naik Slamet yang berdomisili dari daerah tersebut. 
Tak lupa membayar karcis masuk yang masih lumayan terjangkau lah untuk kalangan mahasiswa. Saat akan mendaki kita juga bakal dibekali dengan peta jalur pendakian yang terdapat pula estimasi waktu dan jarak tempuh antar pos. Selain itu juga bakal diminta membawa dua bibit pohon yang harus dibawa naik dan ditanam di gunung.

Basecamp – Pos 1 (2,5 jam)

Pendakian dimulai dengan melewati gerbang hits di dekat basecamp. Belum terlalu menanjak karena masih melewati area perkebunan warga, namun susahnya banyak cabang jalan yang ada di kebun-kebun itu yang sedikit membingungkan. Belum apa-apa kami sudah bertanya sama warga dimana jalur pendakian yang benar. 


Saat di ladang yang banyak cabangnya, ikuti jalur pendakian yang ke arah kiri. Setelah beberapa tanjakan terlewati kita bakal menemukan deretan warung sederhana berjajar dengan senyum ramah ibu-ibu menawarkan dagangannya. Awal sampai disitu pasti mengira kalau sudah sampai di Pos 1, ternyata itu hanya pos bayangan saja. Pos 1 masih jauh banget coy. Tapi segarnya semangka yang menggoda apalagi pendakian di siang bolong yang terik, sepertinya tak ada salahnya untuk mampir sejenak sekalian mencicipi tempe kemul yang hangat untuk menambah tenaga.
Tak berapa lama bakal dijumpai trek Slamet yang sebenarnya dengan tanjakan yang menghajar dengkul. Vegetasi juga mulai memasuki hutan pinus yang rimbun.

Sampai juga kami di Pos 1 yang bernama “Pondok Gembirung”. Terdapat beberapa warung di Pos 1 tersebut yang sebagian besa menjajakan makanan ringan, nasi, dan yang menjadi ciri khas adalah setiap warung pasti ada yaitu semangka dan tempe mendoan. Waktu tempuh kami dari basecamp menuju Pos 1 memang agak molor yaitu 2,5 jam karena banyak penggoda iman yang memaksa kami untuk singgah agak lama untuk menikmati santapan khas Gunung Slamet.

Pos 1 – Pos 2 (±1 jam)

Menuju Pos 2 trek pendakian makin dipersulit dengan keadaaan semalam yang sepertinya turun hujan. Tanjakan yang sebetulnya mudah dilalui, tapi karena becek dan licin sehingga perlu tenaga ekstra untuk melewatinya. 
Hingga sampai di ujung suatu tanjakan terlihat beberapa warung dengan aroma tempe mendoan yang menyeruak. Itulah pos 2 yang bernama "Pondok Walang".

Pos 2 – Pos 3 (±1 jam)

Makin ke atas, hutan makin lebat dan akan banyak melewati jalur pendakian yang menyerupai cerukan sempit sebagai jalan air mengalir.
Kami sampai di Pos 3 menjelang magrib, karenanya kami singgah sejenak untuk menyeruput teh hangat yang tentunya kami nggak masak air sendiri tapi beli di warung yang ada di pos tersebut. Hingga Pos 3 kami masih bisa menjumpai warung. Enak juga ya, Gunung Slamet sekarang bisa bikin tas carrier jadi lebih enteng.

Pos 3 – Pos 4 (±1 jam 20 menit)

Karena kami mulai pendakian sekitar jam 1 siang, sehingga selepas Pos 3 pun hari sudah gelap. Kami keluarkan head lamp untuk menerangi jalan kami menuju Pos 4 yang bernama Samarantu. Yap, pos yang cukup tenar namanya karena cerita-cerita mistis yang beredar. Kami sih yakin saja karena kami mendaki dengan niat baik dan gak berulah macem-macem.

Pos 4 ternyata berbentuk tanah yang tidak begitu lapang dan banyak pohon besar yang sudah tumbang. Kami lihat saat itu ada dua tenda yang ngecamp disitu. Kami kira karena banyak cerita horror tentang Pos 4 sehingga bikin pendaki menghindari mendirikan tenda di Pos Samarantu, ternyata nggak semua berfikir kayak gitu juga kan. 
Kami pun beristirahat sejenak sembari melihat sekeliling yang keadaannya memang cukup mencekam. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara wanita tertawa. Kami yang awalnya sedang mengobrol pun seketika terdiam. Setelah kami telusuri arah suara berasal dari tenda. Hmmm, berarti emang ada pendaki wanita disitu. Positive thingking saja lah.
Kami berencana ngecamp di Pos 5. Itu pun kami harap-harap cemas dapet lapak buat mendirikan tenda atau tidak.

Pos 4 – Pos 5 Camp (±30 menit)

Jarak antara Pos 4 ke Pos 5 memang tidak terlalu jauh, tapi rasanya jadi agak jauh. Mungkin karena badan sudah lelah mendaki dan ingin segera merebahkan diri di dalam tenda.
Sampailah kami di Pos 5 yang ternyata ramai banget dengan tenda yang sudah berdiri. Oh iya, masih ada warung juga di Pos 5 loh. Kami keliling di sekitaran pos tersebut untuk melihat apakah masih ada lokasi untuk kami mendirikan tenda. Lalu kami putuskan menaruh carrier terlebih dahulu dan sebagian anggota mencari lokasi agak ke atas.  Alhamdulillah masih ada satu lokasi untuk 2 tenda tersisa. Benar-benar tinggal itu saja yang tersisa. Entah kebetulan atau apa kami nggak tahu yang jelas kami sangat beruntung. Coba kalau tempat itu sudah ada yang menempati, artinya kami harus lanjut ke Pos 6 untuk dijadikan tempat bermalam kami.


Pos 5 – Pos 6 (±10 menit)

Malam saat itu kami lewati dengan begitu cepat. Rasanya baru saja merebahkan badan di dalam hangatnya sleeping bag tau-tau alarm berdering tanda kami harus bangun dan memulai summit attack dengan jarak yang masih lumayan jauh. Kami tak terlalu banyak berharap mendapat sunrise di puncak mengingat masih ada Pos 6 sampai Pos 9 yang harus kami lewati meski jarak antar posnya sudah gak begitu jauh seperti pos-pos sebelumnya. Kami memulai perjalanan meninggalkan Pos 6 sekitar pukul 04.30 WIB setelah sebelumnya mengisi perut dengan yang anget-anget dan sekalian sholat subuh.


Pos 6 – Pos 7 (±20 menit)

Seperti jarak Pos 5 menuju Pos 6 yang nggak terlalu jauh, begitu pula Pos 6 menuju Pos 7. Hingga kami mendapati pemandangan sunrise keren di Pos 7 itu. Kondisinya banyak pepohonan rimbun namun untungnya bagian yang menghadap timur lumayan terbuka sehingga pendaki yang kesiangan termasuk kami bisa menikmati hangatnya matahari terbit di Pos 7. Di pos ini juga ada warung loh. Inilah warung yang paling tinggi di jalur pendakian Slamet via Bambangan. Bisa lah kalau mau menyeruput kopi atau teh manis panas sambil menikmati munculnya mentari di ufuk timur.



Pos 7 – Pos 8 (±10 menit)

Tak perlu berlama-lama di Pos 7 karena masih ada 2 pos lagi sebelum puncak, Dari pada ntar kesiangan dan bau belerang dari kawah Segoro Wedhi makin menusuk hidung, kami pun memutuskan untuk melanjutkan pendakian menuju Pos 8 dengan melewati tenda-tenda pendaki di Pos 7 yang tersebar dimana-mana karena memang pos ini tidak berbentuk tanah lapang namun pendaki-pendaki biasa mendirikan tenda diantara pepohonan dengan tanah yang berundak.

Pos 8 – Pos 9 Plawangan (±15 menit)

Tak lama berjalan kami sampai juga di Pos 8 yang juga bisa digunakan untuk tempat ngecamp tapi perlu diingat kalau tempat ini sudah mulai terbuka dan jarang pepohonan, jadi perlu dipertimbangkan mengenai kondisi angin maupun saat hujan. Oh iya, selang dua hari setelah kami mendaki, dunia pendakian kembali berduka dengan meninggalnya dua pendaki di Pos 8. Sebabnya adalah sambaran petir ketika mereka berdua sedang berada di dalam tenda. Alam memang tidak dapat diprediksi namun segala mara bahaya bisa diantisipasi dengan salah satunya mempertimbangkan lokasi mendirikan tenda saat di gunung agar kejadian malang seperti itu tidak terulang lagi.


Pos 9 – Puncak (±30 menit)


Sampai di Pos 9 yang juga sering disebut sebagai Plawangan kami dibuat kagum dengan jalur menuju puncak yang sungguh luar biasa keren. Ukiran-ukiran alam membentuk trek sebelum puncak begitu indah, meski untuk melewatinya butuh tenaga ekstra karena kemiringannya yang tidak main-main dan juga kondisi bebatuan yang sangat labil dan mudah sekali menggelinding ke bawah. Dengan kondisi jalur pendakian yang demikian, sangat perlu kehati-hatian untuk melewatinya agar tidak terperosok dan juga agar batuan tidak mengenai pendaki yang berjalan di bawah kita.




Jalur pendakian hanya sedikit pasir, nggak seperti Mahameru maupun Merapi yang banyak pasirnya. Jalur menuju puncak Slamet didominasi tanah keras dengan bebatuan cadas yang tidak benar-benar tertancap di tanah.

Setelah terengah-engah dihajar trek menuju puncak slamet yang luar biasa itu akhirnya kami bisa sampai di dataran sebelum puncak. Kami istirahat sejenak untuk menunggu semua anggota ngumpul. Di puncak sudah rame banget pendaki yang mulai foto-foto pake kertas bertuliskan “Sayang kapan nanjak bareng…” sampai ada juga yang selimutan sarung karena memang angin disana semribit banget yang kadang agak sedikit kenceng membawa hawa dingin yang lumayan menusuk tulang.







Kami segera menghampiri tanah tertinggi Jateng dan berfoto dengan plang bertuliskan Puncak Slamet, biar afdhol gitu loh. Oiya, saya kira dari puncak sudah terlihat kawah Segoro Wedhi, tapi untuk melihatnya kita harus berjalan turun berkebalikan arah dengan saat tadi menuju pucak.



Menuju Kawah Segoro Wedhi

view kawah yang super keren

Cukup lama kami berfoto-foto di puncak kawah karena memang viewnya sungguh ciamik. Berlatar kawah Segoro Wedhi yang sangat lebar berwarna kuning dan juga mengepulkan asap, berpadu dengan gagahnya Gunung Ciremai yang beberapa waktu yang lalu sempat saya daki turut menampakkan diri di kejauhan. Sungguh perpaduan yang luar biasa. 
Menjelang siang kami memutuskan untuk turun ke tempat kemah untuk segera packing dan lanjut turun ke basecamp.

Perjalanan turun cukup lancar meski sempat diguyur hujan. Sekitar jam 7 malam kami baru sampai di basecamp Bambangan. Rencananya kami dijemput mobil yang mengantar kami kemaren esok hari, sehingga malam itu kami menginap di basecamp. Btw, kalau sedang ramai pendakian, basecamp bisa sangat penuh pendaki-pendaki yang juga bermalam. Sama seperti saat itu yang rame banget, jadinya kami menginap di warung depan basecamp. Banyak juga rumah-rumah warga yang bisa dijadikan tempat bermalam kok. Sang pemilik juga tidak mematok harga untuk pendaki yang ingin menginap. Yang penting kalau bisa beli makan atau minum di warung tempat kita menginap itu sudah cukup.



Pagi hari pun datang. Kami disuguhi sunrise yang sepertinya malah lebih keren dari yang kami lihat saat di Pos 7 kemarin. Setelah bersih-bersih dan packing ulang kami pun memasukkan barang-barang ke dalam angkot yang sudah menunggu di depan warung. Kami diantar menuju terminal Purwokerto dengan melewati jalan berbeda dengan yang kami lewati kemarin. Kami dilewatkan di objek wisata Taman Baturraden yang juga menjadi salah satu jalur pendakian menuju puncak Gunung Slamet.




FYI guys, berikut ini adalah perkiraan perubahan elevasi dan waktu tempuh antar pos yang bersumber dari IG +Info Slamet. Nggak beda jauh lah dengan waktu tempuh pendakian kami yang ada di atas.

Penampang samping jalur pendakian Gunung Slamet via Bambangan Jarak tiap pos nga berubah, yang berbeda adalah kemampuan setiap tim, jadi cepat lambatnya menempuh jarak antar pos tergantung kemampuan tim. Please, walking together with your team from start until finish🙏 #java3000 #3428masl #volcanomountain #slametmountain
A post shared by Info Slamet (@infoslamet) on Dec 27, 2016 at 6:45pm PST


Berikut perkiraan waktu tempuh Dengan catatan, perkiraan pendaki dalam kondisi bugar
A post shared by Info Slamet (@infoslamet) on Dec 27, 2016 at 7:40pm PST

Okay, cukup segitu cerita dan info yang bisa saya bagi tentang pendakian Gunung Slamet. Gunung menyimpan banyak rahasia yang hanya bisa kita ketahui setelah mendakinya. Gunung bisa baik dan bisa juga seketika menjadi kejam saat kita bertindak melampaui batas. Semua bahaya bisa kita antisipasi, jadi persiapkan pendakian sebaik mungkin dan pertimbangkan segala yang akan kita lakukan dengan matang-matang.

07:30:00 41 komentar
Bermula dari ajakan teman SMA yang kebetulan lagi lanjut kuliah S2 di UGM untuk keliling-keliling pinggiran Jogja, akhirnya kesampaian juga saya bisa main olah raga yang syarat akan pacuan adrenalin. Sebelumnya saya acungkan dua jempol dulu bagi para pencetusnya karena ide kreatifnya sungguh keren. Yap, sandboarding... Gak terlalu baru juga di telinga saya mendengar olag raga yang sebenarnya lebih ke permainan ketangkasan itu. Dari siaran di TV dan unggahan-unggahan di medsos lah saya sedikit tahu tentang itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
permainan asik  yang lokasinya juga kece pula

Awal Kemunculan

Olah raga yang sewajarnya dimainkan dengan papan beroda dan akrab kita sebut dengan skateboarding itu, oleh sekelompok orang-orang kreatif yang tergabung dalam kelompok pecinta alam UGM dimodifikasi sehingga bisa dimainkan di atas pasir di area gundukan-gundukan pasir alias gumuk pasir di daerah Pantai Parangkusumo, Bantul, DI Yogyakarta. Selain permainannya yang sangat unik banget, lokasi bermainnya gak kalah kece. Konon cuma satu-satunya di Asia Tenggara. Wow gak tuh. Seperti yang kita ketahui bahwa fenomena padang pasir biasanya ada di daerah Timur Tengah dan sebagian Benua Afrika, namun ternyata fenomena kayak gitu bisa juga kita temukan di Jogja. Iya, di Indonesia ada juga loh. Meskipun hasil prosesnya sama-sama berbentuk hamparan pasir, tapi untuk sand dunes a.k.a gumuk pasir yang ada di DI Yogyakarta ini sedikit beda. Dari info yang saya dapat, katanya pasir-pasir itu tercipta karena hasil proses geologi Gunung Merapi dan Merbabu yang material vulkanisnya hanyut terbawa melalui Sungai Opak hingga ke muaranya yang ada di sekitaran Pantai Parangtritis. Nah karena bantuan hempasan tangan Syahrini, eh hempasan angin pantai maksudnya yang menerbangkan butiran-butiran lembut hasil erupsi tadi dan dalam waktu yang gak singkat juga  pastinya, maka terbentuklah gumuk atau gundukan pasir yang kini bisa kita lihat di sekitaran Pantai Parangtritis itu.

Hmmm, gitu loh ceritanya. Saya awalnya mengira kalau gundukan pasir itu emang pasir pantai tapi ternyata material erupsi Gunung Merapi dan Merbabu. Btw, kandungan besi pasir disana banyak banget, so kalau main seluncurannya kayak saya waktu itu ditengah siang bolong wajar saja kaki saya kayak jalan di atas setrikaan. Panas banget coy... 
Waktu yang pas emang pagi atau sore pas matahari masih anget-angetnya. Selain itu gundukan pasir Parangkusumo juga instagramable loh, kece abis buat dijepret terus diupload deh di instagram. Jangan lupa follow juga IG gue @ardiyanta yak...!!! 
hehe sekalian promosi.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
disana ada beberapa gumuk dengan ketinggian dan kemiringan yang bervariasi

Ide “gila” permainan sandboarding itu muncul awalnya dari permainan seluncuran pasir dengan pelepah atau batang daun kelapa. Makin berjalannya waktu terpikirlah gagasan untuk membuat permainan yang makin eksis lagi dengan mengembangkan sebuah alat seluncuran mirip yang dipake buat main skateboard, bedanya gak ada roda dibagian bawahnyanya. Pergerakannya mengandalkan kemiringan gundukan pasir dan juga wax untuk melumasi bagian bawah papan agar licin dan bisa meluncur dengan kencang. Eh, jangan lupa bawa kacamata yes, pasirnya juga suka terbang-terbang kalau ketiup angin. Gak mau kan kalau kelilipan...
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
naiknya capek, turunnya enaaa

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
ga usah pakai sendal, nyeker aja biar makin menyatu dengan alam

Awal main sandboarding bakal ngrasa kesusahan dulu karena emang kaki belum beradaptasi dengan papan dan pasir yang jadi arena bermainnya. Beda halnya kalau kalian punya basic olah raga skateboard atau surfing, bakalan gampang menyesuaikan. Beberapa kali nyoba langsung bisa. Saya sih ga punya basic olah raga apa-apa, cuman seneng prosotan aja jadinya saya pun sekali nyoba langsung bisa dan langsung pindah lokasi ke gumuk yang paling tinggi untuk ngerasain adrenalin biar lebih mengalir deras.
 

Lokasi

Oiya, udah cerita panjang lebar gitu gak ngasi tau lokasi kalau kalian kepengen main sandboarding yang jujur bikin saya ketagihan. Udah meluncur sampai bawah, naik lagi ke puncak gumuk pasir, turun lagi, naik lagi gitu aja terus sampe kaki gempor naik turun pun tapi tetep aja asik. Cuma satu yang saat itu ngehentiin permainan sandboarding saya, yaitu hujan deras. Coba aja kalau gak hujan, bisa sampai maghrib mainnya.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
istirahat dulu merasakan hempasan angin segar

Kalau kalian pengen juga main sandboarding, pas lagi jalan-jalan ke Jogja terutama. Sempatin deh ke Gumuk Pasir Parangkusumo. Lokasinya searah kalau mau ke Pantai Parangtritis. Nah, beberapa meter doang setelah nglewatin pos pembayaran retribusi yang bentuknya gerbang di tengah jalan gitu, coba lihat deh ke sebelah kanan jalan ada rumah makan kalau gak salah namanya Segoro Wedi. Parkir saja disitu soalnya di rumah makan itu juga sekalian menyediakan alat buat seluncurannya. Karcis masuknya sekalian parkir motor Rp 10.000an lah, terus sewa papan seluncurnya Rp 70.000,- bisa sepuasnya. Ini harga pas Agustus 2016 yak, bisa naik bisa turun. Perkiraan saya sih kayaknya bakal naik karena makin hits aja permainan itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
datang kesini dan rasakan sensasinya
18:58:00 10 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)