YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com




Dua kali sudah saya mendaki Lawu. Hal itu nggak menjadikan saya menolak ajakan teman yang berencana muncak ke gunung itu lagi. Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, kalau sudah pernah mendaki di satu gunung dan ada ajakan untuk mendakinya lagi, bukan berarti itu bakal menjadi alasan untuk menolaknya. 
Bagi saya pribadi mendaki gunung yang sama di lain waktu, bakal ada cerita berbeda yang didapat. Terlebih dengan orang yang berbeda, apalagi dengan jalur pendakian yang belum pernah dijajal sebelumnya, pastilah cerita yang didapat tak sama. 
Kedua kali pendakian sebelumnya itu sama-sama lewat jalur Cemoro Sewu namun dengan kawan mendaki dan waktu pendakian yang berbeda. Pertama banget mendaki Lawu saat itu satu rombongan 3 orang tanpa nge-camp, tapi bermalam di warung dekat Sendhang Derajad. 
Kali kedua, naik berdua saja dengan teman asli Karanganyar di malam 1 Suro. Di malam pergantian tahun kalender Jawa dan Islam itu Lawu membludak seolah menjadi hari paling ramai dalam satu tahunnya. Hal ini menjadi satu hal yang unik dari Lawu. Ceritanya Pendakian Lawu 1 Suro bisa dibaca disini nih. 
Lebih lagi ada kejadian janggal di pendakian kedua itu. Kalau penasaran kejadian apa yang kami alami di pendakian 1 Suro itu bisa baca ceritanya disini.

Khusus postingan kali ini adalah sebagian kecil oleh-oleh hasil dari pendakian Gunung Lawu via Jalur Pendakian Candi Cetho. Kalau bercerita tentang jalur ini, bisa dipastikan nggak jauh-jauh dari objek wisata Candi Cetho itu sendiri. Candi tersebut masih punya kekerabatan dengan Candi Sukuh yang pernah saya datangi setelah turun dari Puncak Lawu pas mendaki di malam 1 Suro. Kedua candi itu sama-sama terkenal sebagai candi erotis karena ada beberapa reliefnya sangat terang-terangan menunjukkan bentuk dari organ reproduksi manusia, selain itu ada juga arca yang berbeda dari arca candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang lain. Arca tersebut berbentuk laki-laki tanpa kepala yang memegang alat vitalnya. 

Menuju Candi Cetho

Candi ini terletak di Kabupaten Karanganyar. Banyak cara untuk menuju kesini dari berbagai wilayah. Kami serombongan yang berangkat dari Jakarta memilih untuk naik kereta menuju Semarang. Harusnya sih turun Solo lebih dekat, tapi karena kehabisan tiket jadinya kami pilih alternatif stasiun selain Solo. Sampai di Semarang kami istirahat sejenak di stasiun sambil memikirkan bagaimana cara termudah untuk menuju ke basecamp. Kepikiran untuk naik bus, tapi karena bawaan kami yang gede-gede banget ditambah dengan akses ke basecamp yang masih masuk ke pelosok, akhirnya kami mencoret alternatif itu. Kami pun tak ambil pusing biar cepet sampe juga akhirnya kami booking taksi online lewat aplikasi. Eh, ternyata teman yang booking salah masukin lokasi tujuan dengan mengetik Candi Gedong Songo, padahal harusnya Candi Sukuh. Singkat cerita akhirnya bang driver datang dan mengkonfirmasi destinasi kami yaitu Ungaran. Kami pun kaget kok bisa jadi Ungaran sih, pantes kok murah  ongkosnya. Iya sih, Candi Gedong Songo juga merupakan salah satu jalur pendakian gunung, tapi Gunung Ungaran. Kami kan mau ke Lawu. 
Setelah diskusi-diskusi akhirnya abangnya mau nganter sampe ke Candi Cetho. Tentu dengan perubahan ongkos sedemikian rupa. Ok, jadilah kami tinggal duduk manis sekitar 2 jam lebih dikit dan sampai lah kami di parkiran Candi Cetho dengan disambut kabut dingin khas pegunungan.

selain kabut, mbak-mbak ini juga menyambut kedatangan kami

persiapan menuju loket registrasi

loket registrasi pendakian beda dengan loket masuk candi ya

yok di data dulu

ini gambaran jalur pendakian Lawu via Candi Cetho

masih seger, soalnya belum seberapa jauh

dari jalur pendakian bisa ngeliat candinya juga kok

ngelewatin tempat kayak gini juga, berasa ada di istana mana gitu

naik lagi bakal ketemu candi yang berbeda, namanya...

Candi Kethek (Candi Kera/Monyet)

ninggalin jejak dulu

zoom in for further information about Monkey Temple

WARNING

candi yang unik yah

ke atas lagi barulah melewati jalan setapak

Pos 1

Pos 2

Pos 3

Pos 4

masyaallah akhi...

setelah sekian jauh, ketemu dengan view kayak gini

dengan matahari yang lumayan terik karena lokasinya lumayan terbuka

Pos 5

ninggalin jejak

sabana yang keren banget buat foto-foto

sabananya masih luas di sebelah sana

Kami camp persis di depan Warung mbok Yem

Tampak Puncak Hargodumilah dari lokasi camp

ada petilasan

mau pesen apa? yang spesial disini sih pecel telurnya

persiapan turun lagi, iya kami gak muncak kok

ini jalur yang kami lewati hari sebelumnya ketika gelap

keren banget kan Lawu via Candi Cetho

Selain lansekapnya yang ciamik, mendaki Lawu lewat jalur manapun seolah menikmati peninggalan sejarah. Banyak banget situs-situs jaman dulu kala yang ditinggalkan dan masih bisa kita nikmati. Khusus jalur Candi Cetho ini, terdapat satu spot yang bernama Pasar Dieng yang membuat kami takjub. Disana terdapat bebatuan yang berserakan namun kalau secara seksama diperhatikan itu seperti bekas kerajaan atau istana. Salah satu fotonya ada di bagian pembuka postingan ini. 

Nahhh, setiap perjalanan memberi pelajaran dan pengalamannya untuk pelakunya. Setiap selesai melakukan perjalanan ke suatu tempat, ingin rasanya  segera merencanakan perjalanan yang baru lagi. Mungkin itu yang dinamakan passion.
21:35:00 4 komentar
Setiap pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari di puncak gunung sana?

Kalau ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain jadikan alasan kenapa mendaki gunung. Semua orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua kaki ini disana secara langsung bukan.

Argopuro, Mount of Thousands Savanas

Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.

 

Menuju Basecamp Baderan

Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan.  Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti kami, bisa drop your email on the comment form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw, jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur, bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo. Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan mobil pick up bisa dimanfaatkan buat nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit dengan jalanan beraspal nan menanjak.

Setelah mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally kami pun sampai di basecamp Baderan. So exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.

Target jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet. 

Basecamp Baderan


Yap, kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
23:44:00 64 komentar
Bicara soal pendakian gunung sering kita mendengar beberapa gunung punya predikat tersendiri, semisal gunung tertinggi, gunung terdingin, gunung terekstrim, sampai gunung terangker. Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya dengan 7 kawan sependakian punya kesempatan dan alhamdulillah telah berhasil menuntaskan pendakian ke salah satu gunung dengan satu predikat tertentu. Yakni Gunung Argopuro, gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa. Beberapa orang tentu sudah mengetahui terlebih para pendaki gunung kalau Argopuro memang punya jalur pendakian yang panjang dan memakan waktu lumayan lama untuk mendakinya.

Menuju Puncak Argopuro

Selama dan sejauh apa sih mendaki Gunung Argopuro? 
Hmmm, Semeru saja yang notabene adalah gunung tertinggi se-Pulau Jawa hanya perlu 3 hari 2 malam untuk naik ke puncak lalu turun ke basecamp lagi, sedangkan Argopuro yang punya ketinggian maksimal 3.088 mdpl perlu 5 hari 4 malam untuk mendakinya secara lintas jalur, naik dan turun melewati jalur yang berbeda. Jaraknya pun lumayan fantastis, sekira 45 km yang harus dilewati untuk menyelesaikan pendakian Argopuro secara paripurna.

Tentang Gunung Argopuro

Argopuro merupakan nama sebuah gunung di Provinsi Jawa Timur yang masuk ke dalam wilayah administrasi 5 kabupaten yaitu Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo. Gunung ini berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Datarang Tinggi Yang/Hyang yang memiliki luas hampir 15 ribu hektar, karenanya nggak heran kalau masih banyak hewan liar yang ada di hutan Argopuro bahkan tak jarang yang tanpa malu-malu melintas di jalur pendakian. Letak Argopuro yang diapit gunung populer yakni Semeru dan Raung menjadikannya turut menjadi gunung yang tak kalah populer pula dikalangan pendaki. 


Dari segi bahasa, “argo” berarti gunung dan “puro” berarti pura. Pantas saja hal tersebut menjadi latar belakang penamaan Argopuro karena terdapat kompleks candi atau bangunan menyerupai pura bahkan ada juga yang menyebutnya kraton yang sampai saat ini masih bisa kita lihat di puncaknya, meski hanya tinggal reruntuhan saja. Hal itu nggak lepas dari sejarah, mitos, dan misteri yang menjadi penghias dalam pendakian gunung ini. 

Argopuro memiliki 3 puncak yaitu Puncak Rengganis (2.980 mdpl), Puncak Arca/Hyang yang bisa dibilang puncak semu, dan satu lagi sebagai puncak tertingginya adalah Puncak Argopuro (3.088 mdpl). Puncak-puncak tersebut masuk wilayah administrasi Kabupaten Jember. Puncak Rengganis dengan kawahnya yang berwarna putih kekuningan bernama Kawah Sijeding menjadi daya tarik tersendiri karena dari puncak inilah tercipta nama Argopuro. Di sekitaran Puncak Rengganis bisa ditemukan reruntuhan bangunan dikelilingi tembok yang diperkirakan dibangun pada abad ke-12 masehi. Reruntuhan itu menyerupai kompleks kraton lengkap dengan candi, pura, serta area pemandian. Namun sayang wujudnya sudah nggak utuh lagi. Padahal jika masih lengkap dan tertata, tempat tersebut bisa dinobatkan menjadi situs peninggalan sejarah yang lokasinya tertinggi se-Pulau Jawa bahkan se-Indonesia loh. 

Bekas pondasi Candi di dekat Puncak Rengganis

Dua puncak yang lain berada diseberang Puncak Rengganis, yakni Puncak Argopuro dan Puncak Arca/Hyang yang berada saling bedekatan. Keunikan juga ada di Puncak Arca/Hyang yang sesuai namanya disana terdapat satu arca berbentuk sapi namun kepalanya terpenggal, entah memang sejak awal bentuknya terpenggal atau kepalanya sudah berpindah tempat. Arca tersebut menjadi hal yang saya kagumi sekaligus menjadi tanda tanya besar soal bagaimana pada jaman dulu kala bisa terdapat peradaban, sedangkan lokasinya saja berada di tempat yang sangat jauh dan sulit dijangkau. Sekarang sih enak sudah ada jalurnya, malah bisa ngojek dari basecamp Baderan sampai Cikasur. Nah, kalau jaman dulu gimana ceritanya masuk ke hutan belantara yang pastinya masih sangat liar lalu bisa membangun peradaban di puncaknya yang begitu dingin dan sunyi. Itulah misteri yang menjadikan Argopuro makin patut dijadikan tempat petualangan yang pastinya seru.

arca Sapi di Puncak Hyang

Mitos dan Misteri Gunung Argopuro

Nggak bisa dipungkiri jika dalam setiap pendakian Argopuro selalu saja ada bayang-bayang mistos sekaligus misteri yang menyelimutinya. Nggak sedikit yang penasaran akan hal tersebut, namun ada pula yang hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Menurut saya pribadi, hal tersebut sangat menarik banget dan perlu diketahui sebagai tambahan pengetahuan sebelum mendaki Gunung Argopuro disamping hal-hal teknis yang memang wajib menjadi bekal bagi pendaki. Lalu apa saja sih hal-hal yang dianggap sebagai mitos maupun misteri yang berhubungan dengan gunung cantik ini. Sabar, insyaallah selengkapnya bakal dibahas tuntas pada bagian ini.

Gunung Argopuro sangat erat kaitannya dengan cerita Dewi Rengganis. Makanya nama putri Raja Brawijaya yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit itu diabadikan menjadi nama salah satu puncaknya. Masyarakat sekitar Argopuro pun sebenarnya lebih mengenal nama Rengganis dari pada Argopuro itu sendiri karena memang nama Argopuro berlatar belakang dari adanya reruntuhan pura atau kompleks kraton di puncak yang konon menjadi kerajaan dimana Dewi Rengganis menghabiskan hidupnya setelah mengasingkan diri karena keberadaanya yang nggak diakui. Hal itu tak lain dikarenakan statusnya yang hanya seorang putri dari salah satu selir Prabu Brawijaya.

Selain Dewi Rengganis, ada pula cerita masa lalu Cikasur yang menjadi serba-serbi tersediri saat kita membahas tentang Argopuro. Cikasur merupakan savana maha luas yang ada di jalur pendakian Baderan. Tempat tersebut juga menjadi spot camping yang recommended bagi pendaki Argopuro karena selain ketersediaan air yang cukup dari Sungai Qolbu, Cikasur juga menjadi habitat hewan-hewan eksotik seperti misalnya merak hijau, ayam hutan, rusa, dan beberapa hewan lainnya. Namun tunggu dulu, dibalik keindahan Cikasur, ternyata savana ini menyimpan sejarah pedih pada masa kolonialisme Belanda. 

Savana Cikasur - Argopuro

Oiya, sebelumya pernah menyangka nggak sih kalau Cikasur adalah landasan pesawat??? Hmmm, percaya nggak percaya tapi harus percaya karena banyak bukti dan peninggalan yang memperkuat kalau Cikasur dulu sempat menjadi landasan pesawat para kompeni, seperti misalnya puing-puing bangunan yang saat ini hanya tersisa petak-petaknya saja. Ada juga mesin genset yang letaknya di salah satu sudut Cikasur yang tertutup semak-semak. Btw, buat apa ya sampai dibuat landasan pesawat di gunung yang jauh dari peradaban dan siapa pula yang dipekerjakan untuk membangunnya??? Dari cerita Cak Arifin, pengelola basecamp Bremi, pertanyaan besar itu mulai ada pencerahan. Beliau menuturkan alasan dibangunnya landasan pesawat di Cikasur adalah karena keberadaan sumber daya mineral yang menjadi incaran Belanda, disamping itu pemanfaatannya sebagai sarana untuk mengangkut daging rusa hasil buruan. 

bercerita dengan Cak Arifin di Basecamp Bremi

Okey, satu pertanyaan terjawab. Beralih ke pertanyaan siapa yang dipekerjakan untuk membangunnya, jawaban dari pertanyaan tersebut begitu mencengangkan. Cerita sejarah kelam pun sedikit demi sedikit menyayat hati ini. Awalnya hanya beberapa penduduk saja yang dipekerjakan untuk membangun landasan pesawat di Cikasur, lama kelamaan beberapa penduduk tadi mengajak penduduk yang lain untuk ikut bekerja disana. Hingga tiba suatu waktu, Belanda meminta untuk dibuatkan galian tanah untuk saluran. Ternyata kompeni-kompeni itu punya niatan lain yakni menjadikan galian itu sebagai kuburan masal para penduduk yang mereka pekerjakan itu. Tujuan utamanya agar keberadaan Belanda dengan landasan pesawatnya nggak diketahui oleh para pejuang sekaligus supaya nggak perlu membayar upah kepada para pekerja itu. Tragis banget, sampai-sampai air mata ini hampir tumpah saat ndenger cerita itu. Oiya, cerita masa lalu Cikasur nggak berhenti sampai disitu. Efeknya ke jaman sekarang adalah beredarnya cerita-cerita horor yang dialami pendaki yang bermalam di Cikasur. Mulai cerita mistis ini dan itu saya temukan di blog-blog para pendaki sampai cerita dari temen. Salah satunya yang dialami Acen “Jalan Pendaki” yang saat camping di Cikasur melihat sleeping bag tak dikenal masuk ke tendanya. Serem juga sih, tapi untungnya saat itu kami nggak sampai yang dilihatin atau diperdengarkan yang aneh-aneh. Meski begitu, tetep kepikiran juga sih pas bermalam disana.

Jalur Pendakian

jalur awal pendakian

Jalur pendakian resmi terdapat di Desa Baderan yang masuk wilayah Situbondo dan juga Desa Bremi yang berada di Kabupaten Probolinggo. Biasanya sih para pendaki memilih naik melewati Baderan dan turun di Bremi untuk mendapatkan pengalaman pendakian yang lengkap. Bisa juga sih sebaliknya, tapi jalur Bremi banyak tanjakannya apalagi menjelang dan sesudah Cemara Lima, pos dibawah puncak. Kontras dengan jalur Baderan yang didominasi banyak banget savana yang otomatis jalurnya jadi lebih panjang. Pilihan mau naik dan turun lewat mana tinggal disesuaikan saja dengan sikon.

Secara garis besar jalur pendakian Argopuro ga beda jauh kok sama gunung-gunung yang lain. Hanya bedanya kaki bakal melangkah lebih jauh, beban di pundak yang akan lebih berat, mata yang akan melihat pemandangan indah lebih lama, hati yang dituntut untuk lebih bersabar menghadapi jalur pendakian yang seperti tak berujung, dan juga makin banyak rahasia alam yang terkuak mengobati rasa penasaran.

Saya pribadi punya julukan buat Gunung Argopuro, yaitu gunung dengan sejuta savana. Nggak terlalu mengada-ada kok, emang savana di Argopuro banyak banget, khususnya jalur Baderan yak. Nggak kehitung jumlahnya berapa savana yang ditemui dan dilewati, makanya biar mudah sebut saja jumlahnya sejuta.

Mengenai kejelasan jalur pendakian sebenarnya cukup banyak petunjuk yang telah terpasang, namun kadang membingunkan saat terdapat lebih dari 2 cabang dalam satu persimpangan. Kami pun sempat dua kali tersasar karena trek awal pendakian memang bentuknya masih berupa kebun-kebun warga yang banyak sekali jalan setapaknya. Kedua karena terdapat pula jalur ojek seperti yang sudah diceritakan di atas, jadinya sempat ambil jalur ojek yang muternya terlalu jauh padahal ada jalur alternatif yang lebih pendek. Semoga saja sih makin kesini petunjuknya makin diperjelas lagi terutama saat di awal-awal pendakian yang banyak sekali percabangan jalurnya. Setelah Pos mata air 1 (tempat camp pertama) terlewati sih insyaallah jalur sudah sangat jelas. Oiya, makin lebih aman kalau bawa GPS sebagai pemandu pendakian. Bisa pakai GPS konvensional atau pakai applikasi Orrux Map yang bisa diinstal di android dan pemakaiannya nggak perlu harus ada sinyal operator. Cara pakainya bisa dipelajari sendiri kok secara online.

Masalah air sepertinya nggak perlu terlalu dikhawatirkan, terlebih di jalur Baderan karena sumber air sangat melimpah. Hanya saja saat turun dari puncak kami agak sedikit kesulitan menemukan informasi letak mata air selain di Taman Hidup. Apalagi air danau tersebut masih disangsikan bisa dikonsumsi atau tidak. Soalnya beberapa waktu sebelum melakukan pendakian ini saya sempat melihat video di youtube ada beberapa pendaki yang berenang di pinggir danau lalu tampaklah air danau yang begitu keruh. Karenanya untuk berjaga-jaga, kami mengisi penuh  tempat air yang kami punya sejak sebelum ke puncak, yaitu saat berada di tempat camp ketiga (Savana Lonceng).

sumber air di salah satu pos Gunung Argopuro

Itu saja sih yang mungkin bisa menjadi gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro. Di postingan selanjutnya bakal diceritain gimana langkah demi langkah kami berjalan dari basecamp menuju puncak hingga sampai ke basecamp yang lain, serta kejadian dan cerita apa yang mewarnai pendakian panjang 5 hari 4 malam itu.  Kelanjutan cerita pendakian Argopuro bisa dibaca disini...!!!



18:59:00 30 komentar


Kami berdua memutuskan untuk turun gunung setelah berhasil mengisi perut dengan sarapan yang teramat spesial yaitu soto ayam Mbok Yem yang sudah melegenda. Sebenarnya saya dan Bandon masih penasaran dengan spot-spot sakral yang ada di Gunung Lawu, namun karena ketidak tahuan kami sekaligus tak ada narasumber yang bisa memberi informasi yang akurat yasudah kami putuskan untuk menuntaskan misi tersebut di kemudian hari sekaligus mencoba jalur pendakian Lawu via candi Cetho yang katanya lumayan ajib pemandangannya.

Oiya cerita pendakian malam hari sebelumnya ada di sini nih (klik) 

Setelah perut terisi kami keluar dari pondokan pendaki Warung Mbok Yem, kami mulai turun gunung. Sempat berhenti sejenak di hamparan sabana yang tengah mengering di bawah Hargo Dumilah. Terlihat sangat menakjubkan, ada yang bilang saat saya meng-up load fotonya di instagram dikatakan sangat mirip dengan sabananya Rinjani.

Sabana mengering eksotis

Bandon di tengah rerimbunan rumput kering sabana

Lanjut jalan lagi kami sampai di keramaian Sendhang Drajad yang belum berkurang sedari pagi tadi saat kami melintasinya. Masih ada saja yang menunggu dengan sabar tetes demi tetes air yang keluar dari sendhang yang kala itu masih enggan mengeluarkan airnya, efek kemarau kemarin mungkin.


Berjalan langkah demi langkah lagi, kami sampai di Pos 5 yang mulai ditinggalkan oleh para pendaki. Tenda-tenda pun sudah mulai sepi karena memang panas matahari sudah sangat membara. Bandon yang kepingin foto-foto di puncak bukit kecil di dekat Pos 5 pun saya tunggui dulu, lama kelamaan saya kepengen juga foto disitu. Ternyata keren juga view-nya.

Pos 5

Bukit kecil dekat Pos 5

Bandon di puncak bukit

Mulai banyak pendaki yang mulai turun. Tak jarang kejadian ngantre terulang lagi, harus sabar dan jangan terburu-buru karena jika saling senggol kalau kebablasan bisa fatal juga akibatnya, di satu sisinya jurang dalem menn.

Singkat cerita Pos 4 sudah terlewati dengan sempurna. Nah, di tengah perjalanan kami menuju Pos 3, mulai lah terjadi satu kejadian yang membuat saya kebingungan setengah mati, hal aneh dengan tanda tanya besar. Sebenarnya sedari awal hingga sampai di warung Mbok Yem kami mendaki sering berjalan berdampingan dan tak jarang juga jarak antara kami terpisah sedikit agak jauh, namun tak sampai seperti kejadian yang kami alami di perjalanan turun setelah Pos 4 terlewati tersebut.

Awalnya saya berniat rehat sejenak di bawah pohon yang lumayan rimbun dan menyuruh Bandon jalan duluan. Tak tahu berapa lama saya rebahan di bawah pohon tersebut seorang diri tapi sekiranya tak sampai tertidur lah yaa. Setelah itu saya susul bandon yang sudah berjalan duluan di depan. Saya pun agak mempercepat langkah dengan diselingi berlari kecil untuk mengejar ketertinggalan. Sedari naik sudah berjalan bareng dan setidaknya speed jalan Bandon sudah saya hafalkan. Dengan saya agak berlari tersebut saya harapkan bisa saya susul. Ternyata apa yang saya harapkan tak terwujud begitu saja. Dalam hati saya berkata, “kok tumben cepet banget tu anak jalannya…” seperti yang saya bilang tadi kalau speed Bandon sudah saya pahami dan dengan kecepatan langkah saya yang sudah saya tingkatkan beberapa kali lipat saya perkirakan bisa tersusul, tapi ternyata kok Bandon nggak keliatan juga batang hidungnya. Pos 3 saya lewati saja karena disitu tak saya temukan Bandon, pikir saya “Wah tega banget tu anak ninggalin saya begitu saja, kebelet kali ya pengen cepet-cepet sampe basecamp…”

19:53:00 24 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)