YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com


Sudah menjadi hal wajib jika ke Waerebo untuk sekaligus menginap disana. Tentu bakal menjadi pengalaman tersendiri bisa merasakan bagaimana tinggal di salah satu "Mbaru Niang", rumah adat di desa etnik yang berada ketinggian sekitar 1.100 mdpl itu. Temen-temen mungkin bertanya-tanya juga mengenai bagaimana perijinannya, bayar berapa, dan lain-lainnya. Kalau lagi nggak pengen pusing, biasanya dari trip organizer seperti yang saat itu saya pakai sudah semua termasuk ke dalam biaya awal alias all in one. Tapi kalaupun mau kesana secara mandiri bisa juga kok. Rinciannya kira-kira seperti yang diceritakan oleh dua orang traveler yang menginap dihari yang sama dengan kami. Mereka berdua pergi ke Flores tanpa trip organizer. Tapi mereka ke pulau-pulaunya tetep pakai operator juga sih. Operator ke pulau-pulau banyak tersedia di Labuan Bajo dengan harga tegantung dengan fasilitas, durasi, dan banyak spot yang dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, barulah mereka menuju Waerebo. Singkat cerita, dari Labuan Bajo mereka naik elf ke Denge, desa terakhir sebelum trekking. Biasanya bakal sampai di Denge tengah malam, tidur sejenak di homestay, paginya sarapan, lantas memulai trekking menuju Waerebo. Untuk trekking, harus ditemani seorang guide. Tawar-menawar terlebih dahulu tentunya sekaligus nanti sang guide pula yang bakal menjadi jembatan untuk perijinan dan administrasi kepada ketua adat Waerebo. Biaya untuk guide kalau belum naik sebesar Rp 100.000,-an dan untuk semalam menginap di Mbaru Niang dikenakan biaya Rp 325.000,- sudah termasuk upacara penyambutan, kuliner tradisional, bisa mencicipi kopi khasnya yang enak banget, tempat tidur beralas tikar lengkap dengan selimut tebal, dan kamar mandi. Tersedia juga etalase souvenir, oleh-oleh, dan kopi bubuk untuk wisatawan yang pengen beli kenang-kenangan dari Waerebo.

Salah satu hal yang menarik saat mengunjungi Waerebo adalah trekking sejauh sekitar 8 km melewati jalan setapak yang juga digunakan untuk warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil bumi maupun membeli kebutuhan lain. Terbukti saat itu kami sering berpapasan dengan warga Waerebo yang turun, salah satunya membawa sebongkok kayu manis untuk dijual di pasar. Sempat juga kami berpapasan dengan salah satu ketua adat Waerebo yang juga dalam perjalanan turun untuk mengunjungi kerabat yang sudah menetap di desa lain. Bicara soal ketua adat, Waerebo dikepalai beberapa ketua adat yang bakal menyambut dan memberi sedikit wejangan ketika kita datang mengunjungi Waerebo. Sampai saat ini ada 3 ketua adat yaitu Bapak Alexander Ngadus yang lahir di Manggarai tahun 1947, Bapak Rafael Niwang yang lahir pada tahun 1927, dan juga Bapak Rofinus Nompor yang lahir pada tahun 1937. Salah satu dari mereka akan dengan ramah menyambut kita saat berkunjung ke Waerebo. Saat itu rombongan kami disambut oleh Bapak Rofinus Nompor, sedangkan dua ketua adat yang lain kebetulan sedang turun ke Denge untuk mengunjungi kerabat yang sudah tidak tinggal lagi di Waerebo.
Setidaknya ada 7 rumah adat yang berdiri dengan satu bangunan utama yang fungsinya untuk upacara adat dan penyambutan tamu bernama rumah gendang. Yap tepat, karena di dalam rumah adat utama yang juga ukurannya paling besar dan tinggi itu terdapat gendang dan beberapa properti upacara adat yang lainnya. Rumah Gendang juga dijadikan rumah hunian beberapa kepala keluarga dengan terbagi kamar-kamar dengan bagian tengah untuk tempat berkumpul dan juga dapur.
Berbeda dengan rumah gendang, para pengunjung yang datang dan menginap akan ditempatkan di salah satu rumah yang lataknya paling pinggir.

waduh, ini kok malah jadi kayak pengungsian yahhh hehe...

nge-cas smartphone adalah koentji begitu nyampe Waerebo
ngantre yah tapi

Bagian tengah rumah digunakan untuk berkumpul sambil makan, minum kopi khas Waerebo, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja sembari menunggu kantuk tiba di malam hari. Listrik sudah sampai kesini kok karena makin banyak wisatawan yang bermalam.

sumpa demi apa, kopinya "juara umum"

Kami saat itu juga sempat ada acara potong ayam juga loh. Bahkan kami sendiri yang diminta untuk memotong ayamnya. Begitu matang, saatnya makan deh. Kulinernya yang sederhana menjadi mewah ketika dinikmati bersama di dalam Mbaru Niang. Selain kopinya yang juara, sambal yang disajikan pun sangat enak dan terasa lain daripada yang lain. Ada gurih-gurihnya gitu, entah dari mana. Selain itu, bakal disajikan pula pisang dengan kulit berwarna kemerahan yang bisa menjadi teman ngopi setelah santap malam. Pokoknya sempurna lah perjalanan kali itu.
Pagi harinya, bisa dimanfaatkan untuk berkeliling sekitar dan melihat aktivitas sehari-hari warga. Pada musim tertentu bakal menjumpai kegiatan menjemur kopi tapi karena saat itu kami datang ketika musim hujan sehingga kegiatan warga yang bisa kami lihat adalah tenun menenun. Ketika sang ibu menenun, ayah pergi ke kebun, anak-anak pun bermain di halaman rumah yang berumput. Kami pun sempat bermain juga dengan anak-anak Waerebo yang pas awal-awal malu-malu gitu, tapi lama-kelamaan mereka bisa ketawa ketiwi juga sama kami.













Sungguh luar biasa kan yaaa, sampai-sampai PBB pun memberikan penghargaan bagi salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Sebagai generasi muda, kita semua bertugas untuk melestarikannya dan terus menjadi agen promosi agar Waerebo semakin mendunia.
16:57:00 2 komentar
Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau besar utama meliputi Pulau Komodo, Rinca, dan Padar disamping terdapat pulau-pulau kecil yang lainnya. Keindahan yang dimilikinya nggak hanya di daratannya, namun bawah lautnya pun memiliki keindahan dan biodiversitas flora maupun fauna yang telah mendunia kepopulerannya. Destinasi kece tersebut menjadi salah satu dream destination saya yang sudah sejak lama ingin disambangi. Siapa sih yang nggak ngiler melihat postingan-postingan para traveler yang hilir mudik di dinding Instagram yang memamerkan keindahan tempat keren ini. Finally kesampaian juga kesana meski dengan bantuan trip organizer. Lagi nggak pengen ribet aja sih sebenernya, pengen tinggal bawa badan doang. Pasalnya trip ke Komodo Flores ini menjadi rangkaian perjalanan setelah mendaki ke Gunung Argopuro yang saat itu menjadi pendakian terpanjang yang pernah saya lakukan. Pikir saya mumpung sudah di Jawa Timur kan tinggal dikit lagi buat ke Flores, ketimbang harus pulang dulu kan. Apalagi kalau sudah pulang tuh agak mager mau keluar-keluar lagi. Sekalinya keluar langsung dapet Gunung & Laut dalam satu rangkaian perjalanan itu kan lebih seru dan ekonomis. Hasilnya peralatan pendakian penuh lumpur pun ikut terbawa sampai ke NTT sana.



Setelah lebih dari setahun trip ini berlalu, baru ada hasrat buat nulis pengalamannya. Maklum lagi disibukkan sama urusan kuliah. Tapi insyaallah keseruannya masih teringat jelas dan siap untuk dishare kok. Foto-foto juga masih tersimpan rapi. Sayang aja kan kalau nggak dipamerin hehehe. Menuju bandara Juanda Surabaya sempat ada insiden hampir ketinggalan pesawat. Perjalanan dari basecamp Bremi di Probolinggo menuju Surabaya yang semula diperkirakan bakal tepat waktu, akhirnya buyar karena macet di beberapa ruas jalan. Sudah terbayang pula kalau ketinggalan pesawat menuju Denpasar, itu artinya penerbangan selanjutnya pun bakal ikut kacau. Untuk menuju ke Labuan Bajo, saya memilih untuk melakukan penerbangan ke Denpasar terlebih dulu. Banyak sih alternatif rutenya, bisa langsung bisa juga transit-transit segala macem demi mendapat harga yang paling nyaman di kantong.


Malam itu sampailah di Ngurah Rai International Airport. Masih harus nunggu sampai pagi sih untuk penerbangan ke Labuan Bajo-nya. Kalau kemarin ketinggalan pesawat pun sebenarnya masih ada waktu, tapi siapa sih yang mau nombok beli tiket lagi. Menunggu pagi, jadilah saya dan satu teman jaman SMA ngemper di bandara, yang penting ada colokan aja beres lah acara killing time-nya.

Pagi pun tiba, saatnya terbang menuju Labuan Bajo. Waktu itu lagi musim hujan memang. Saat pendakian Gunung Argopuro pun hujan senantiasa menemani sebagian besar perjalanan. Berharap saat di Taman Nasional Komodo nanti hujan nggak mendominasi hari-hari kami. Namun benar saja, begitu sampai di Labuan Bajo kami sudah disambut dengan hujan. Kami langsung diajak menuju salah satu cafe untuk istirahat sejenak sembari menunggu hujan reda. Mau gak mau hujan menjadi resiko yang harus diambil kalau kebetulan punya jadwal ngetrip bertepatan dengan musim hujan.


Bim salabim... akhirnya hujan reda dan matahari pun menampakkan cahayanya. Trip pun dimulai dengan diarahkannya kami menuju kapal yang nantinya bakal kami tinggali untuk beberapa hari kedepan. Duhhh, mabok laut ga ya 4 hari 3 malam jadi manusia laut. Kelar makan, kapal kemudian melaju ke spot demi spot yang kesemuanya ajiiiibbb.




1. Loh Buaya
Destinasi pertama yang dituju adalah Loh Buaya. Entah kenapa pake bawa-bawa buaya, padahal kan mau nengokin komodo kan yan. Letaknya di Pulau Rinca dan merupakan spot untuk melihat komodo dari jarak yang tergolong sangat dekat. Tentu kita nggak serta merta melihat komodo begitu saja. Begitu tiba di lokasi, kami disambut oleh guide lokal yang lebih tepat kalau disebut ranger yang kemudian akan menjelaskan rute trekking untuk melihat komodo secara lebih dekat. 



Ada beberapa rute trekking dan saat itu kami dipilihkan rute paling pendek karena kami sampai disana sudah terlampau sore, maklum lah tadi nungguin hujan reda dulu lumayan lama. Oiya, komodo akan menampakkan wujud nyatanya dengan terlebih dulu dipancing oleh sang ranger. Dengan senjata berupa tongkat kayu khusus dengan ujung bercabang menyerupai ketapel, ranger siap melindungi kita dan menghalau serangan komodo kalau-kalau “si komo” ngamuk dan berusaha menyerang. Udah tau kan kalau gigitan komodo sangat fatal akibatnya. Air liurnya itu loh yang berbahaya, banyak bakterinya. Okay, yang penting kalau udah didampingi ranger aman lah, tapi tetap waspada dan jangan sekali-kali membuat komodo ngamuk. Nggak lupa kami juga mengabadikan sedikit gambar dengan arahan dari bapak ranger. Waw...!!! hasilnya kami seolah-olah memegang komodo. 


View this post on Instagram

A post shared by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Mar 6, 2017 at 5:44pm PST


Komodo akan sering ditemukan di sekitar dimana dia menetas. Agresif, Tidak ada ti tempat lain di dunia ini meski ada yang mengatakan kalau asal mereka malah dari Australia karena sempat ditemukan fosil kerangka komodo yang berusia puluhan ribu tahun. Membunuh kerbau dengan gigitan mematikan, memakan bangkai lebih sering makan bangkai daripada berburu. Bisa mendeteksi bau dari bangkai sampai radius sekitar 10 km, perlu makan hanya sebulan sekali. Pencernaan lambat, berjemur, muntah sisa sisa makanan yg keras. Kanibal kalau nggak ada makanan yang tersedia di alam. Nggak segan untuk memangsa komodo kecil.

Beranjak dari kerumunan komodo di sekitaran Loh Buaya, kami lanjut trekking menaiki tanjakan menuju satu bukit dengan hanya terdapat satu pohon. Katanya sih dijuluki pohon jomblo karena saking udah terlalu lamanya sendiri (kayak sapa yaaa???). Nggak lama kami sampai di puncak bukit melihan indahnya Pulau Rinca dari atas, gelap pun tiba. Turunlah kami menuju kapal yang bersandar di dermaga dan hari pertama di atas kapal pun kami habiskan di tepian Pulau Rinca. Esok hari kami bakal berlayar menuju Pulau Padar, pulau dengan lekuk-lekuk pantainya yang unik.



02:06:00 No komentar
Bermula dari ajakan teman SMA yang kebetulan lagi lanjut kuliah S2 di UGM untuk keliling-keliling pinggiran Jogja, akhirnya kesampaian juga saya bisa main olah raga yang syarat akan pacuan adrenalin. Sebelumnya saya acungkan dua jempol dulu bagi para pencetusnya karena ide kreatifnya sungguh keren. Yap, sandboarding... Gak terlalu baru juga di telinga saya mendengar olag raga yang sebenarnya lebih ke permainan ketangkasan itu. Dari siaran di TV dan unggahan-unggahan di medsos lah saya sedikit tahu tentang itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
permainan asik  yang lokasinya juga kece pula

Awal Kemunculan

Olah raga yang sewajarnya dimainkan dengan papan beroda dan akrab kita sebut dengan skateboarding itu, oleh sekelompok orang-orang kreatif yang tergabung dalam kelompok pecinta alam UGM dimodifikasi sehingga bisa dimainkan di atas pasir di area gundukan-gundukan pasir alias gumuk pasir di daerah Pantai Parangkusumo, Bantul, DI Yogyakarta. Selain permainannya yang sangat unik banget, lokasi bermainnya gak kalah kece. Konon cuma satu-satunya di Asia Tenggara. Wow gak tuh. Seperti yang kita ketahui bahwa fenomena padang pasir biasanya ada di daerah Timur Tengah dan sebagian Benua Afrika, namun ternyata fenomena kayak gitu bisa juga kita temukan di Jogja. Iya, di Indonesia ada juga loh. Meskipun hasil prosesnya sama-sama berbentuk hamparan pasir, tapi untuk sand dunes a.k.a gumuk pasir yang ada di DI Yogyakarta ini sedikit beda. Dari info yang saya dapat, katanya pasir-pasir itu tercipta karena hasil proses geologi Gunung Merapi dan Merbabu yang material vulkanisnya hanyut terbawa melalui Sungai Opak hingga ke muaranya yang ada di sekitaran Pantai Parangtritis. Nah karena bantuan hempasan tangan Syahrini, eh hempasan angin pantai maksudnya yang menerbangkan butiran-butiran lembut hasil erupsi tadi dan dalam waktu yang gak singkat juga  pastinya, maka terbentuklah gumuk atau gundukan pasir yang kini bisa kita lihat di sekitaran Pantai Parangtritis itu.

Hmmm, gitu loh ceritanya. Saya awalnya mengira kalau gundukan pasir itu emang pasir pantai tapi ternyata material erupsi Gunung Merapi dan Merbabu. Btw, kandungan besi pasir disana banyak banget, so kalau main seluncurannya kayak saya waktu itu ditengah siang bolong wajar saja kaki saya kayak jalan di atas setrikaan. Panas banget coy... 
Waktu yang pas emang pagi atau sore pas matahari masih anget-angetnya. Selain itu gundukan pasir Parangkusumo juga instagramable loh, kece abis buat dijepret terus diupload deh di instagram. Jangan lupa follow juga IG gue @ardiyanta yak...!!! 
hehe sekalian promosi.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
disana ada beberapa gumuk dengan ketinggian dan kemiringan yang bervariasi

Ide “gila” permainan sandboarding itu muncul awalnya dari permainan seluncuran pasir dengan pelepah atau batang daun kelapa. Makin berjalannya waktu terpikirlah gagasan untuk membuat permainan yang makin eksis lagi dengan mengembangkan sebuah alat seluncuran mirip yang dipake buat main skateboard, bedanya gak ada roda dibagian bawahnyanya. Pergerakannya mengandalkan kemiringan gundukan pasir dan juga wax untuk melumasi bagian bawah papan agar licin dan bisa meluncur dengan kencang. Eh, jangan lupa bawa kacamata yes, pasirnya juga suka terbang-terbang kalau ketiup angin. Gak mau kan kalau kelilipan...
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
naiknya capek, turunnya enaaa

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
ga usah pakai sendal, nyeker aja biar makin menyatu dengan alam

Awal main sandboarding bakal ngrasa kesusahan dulu karena emang kaki belum beradaptasi dengan papan dan pasir yang jadi arena bermainnya. Beda halnya kalau kalian punya basic olah raga skateboard atau surfing, bakalan gampang menyesuaikan. Beberapa kali nyoba langsung bisa. Saya sih ga punya basic olah raga apa-apa, cuman seneng prosotan aja jadinya saya pun sekali nyoba langsung bisa dan langsung pindah lokasi ke gumuk yang paling tinggi untuk ngerasain adrenalin biar lebih mengalir deras.
 

Lokasi

Oiya, udah cerita panjang lebar gitu gak ngasi tau lokasi kalau kalian kepengen main sandboarding yang jujur bikin saya ketagihan. Udah meluncur sampai bawah, naik lagi ke puncak gumuk pasir, turun lagi, naik lagi gitu aja terus sampe kaki gempor naik turun pun tapi tetep aja asik. Cuma satu yang saat itu ngehentiin permainan sandboarding saya, yaitu hujan deras. Coba aja kalau gak hujan, bisa sampai maghrib mainnya.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
istirahat dulu merasakan hempasan angin segar

Kalau kalian pengen juga main sandboarding, pas lagi jalan-jalan ke Jogja terutama. Sempatin deh ke Gumuk Pasir Parangkusumo. Lokasinya searah kalau mau ke Pantai Parangtritis. Nah, beberapa meter doang setelah nglewatin pos pembayaran retribusi yang bentuknya gerbang di tengah jalan gitu, coba lihat deh ke sebelah kanan jalan ada rumah makan kalau gak salah namanya Segoro Wedi. Parkir saja disitu soalnya di rumah makan itu juga sekalian menyediakan alat buat seluncurannya. Karcis masuknya sekalian parkir motor Rp 10.000an lah, terus sewa papan seluncurnya Rp 70.000,- bisa sepuasnya. Ini harga pas Agustus 2016 yak, bisa naik bisa turun. Perkiraan saya sih kayaknya bakal naik karena makin hits aja permainan itu.

sandboarding Gumuk Pasir Parangkusumo
datang kesini dan rasakan sensasinya
18:58:00 10 komentar
Sepertinya memang sudah menjadi passion saya selalu tertarik untuk mengeksplor tempat baru yang saya datangi, termasuk Pulau Sulawesi yang semenjak tahun 2011 menjadi tanah dimana saya berpijak. Ditahun 2016 yang merupakan tahun terakhir saya berada di pulau berbentuk huruf “K” itu posisi saya berada di Kota Majene, Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat pun alhamdulillah sudah sedikit banyak saya eksplore. Oiya, saya juga suka pergi kemana-mana dengan motor. Tentunya dengan jarak yang lumayan jauh-jauh hingga berpindah provinsi. Alasannya karena fleksibilitas dimana bisa sesuka hati berhenti dan lanjut kapanpun yang saya mau dan yang penting bisa sekalian mampir-mampir di tempat menarik yang dilewati.

Nggak terhitung berapa kali saya sudah motoran dari Sulawesi Barat menuju beberapa kota di Sulawesi Selatan. Paling jauh sampai kota paling ujung selatan Sulawesi Selatan yaitu Bulukumba yang terkenal menjadi surga pantai-pantai cantik. Banyak kota kabupaten yang dilewati sejauh perjalanan antar provinsi itu. Ada satu kabupaten yang selalu luput dari perhatian saya karena memang letaknya persis di perbatasan antara Sulbar dan Sulsel, yaitu Pinrang. Padahal ternyata potensi wisatanya sangat sayang untuk dipalingkan dari pandangan. Bentang alamnya nggak berbeda jauh dengan Majene yang punya wilayah pantai sekaligus pegunungan, tapi sepertinya Pinrang punya pegunungan yang lebih tinggi menjulang jika dilihat dari jalan poros.

Destinasi yang menjadi tempat wisata terakhir sebelum saya pindah dari Sulawesi ini adalah salah satu air terjun terindah di Pinrang. Hmmm, yap salah satu. Karena banyak banget air terjun cantik di kabupaten itu. Satu yang pernah saya datangi di awal kedatangan di Sulawesi dulu adalah Air Terjun Kalijodo yang punya beberapa aliran air terjun yang tersebar di beberapa titik.

serasa milik sendiri

Nah, kali ini yang bakal dibahas adalah Air Terjun Karawa atau penduduk sekitar menamainya Air Terjun Batu Korang. Air terjun keren ini bisa menjadi salah satu alternatif yang pengen merefreshkan diri karena suasananya yang masih asri dan kalau mau menjadikan tempat ini serasa menjadi air terjun privat kalian bisa datang di weekday atau kalau pun di akhir pekan datang saja saat pagi hari. Saya pun saat itu sempat merasakan berada seorang diri di air terjun setinggi kurang lebih 30 m dan punya kolam yang bisa dipakai untuk berenang-renang cantik itu. Agak serem juga sih di tengah hutan seorang diri. Hanya terdengar suara gemuruh air terjun saja, tapi disitulah saya mendapat kedamaian yang sebenarnya. Cieeeh...

Menuju Air Terjun Karawa

Nggak susah-susah amat kok buat menuju air terjun ini. Letaknya seperti namanya, berada di Desa Karawa, Kecamatan Lembang, Kab. Pinrang. Agak sedikit jauh dari pusat Kota Pirang memang, malah lebih dekat dengan pusat Kota Polewali, Sulbar. Jadi kalau kalian berangkat dari arah Kota Makassar setelah sampai di Kota Pinrang, maka masih harus menempuh perjalanan lagi sejauh kira-kira 40 km ke arah Kota Polewali. Nah, kalau sudah terlihat gapura masuk yang bertuliskan PLTA Bakaru berarti kalian harus menyalakan lampu sein ke kanan, karena memang pintu gerbang itulah yang juga menjadi jalan masuk menuju air terjun Karawa. Eits, pintu gerbang itu sebenarnya merupakan gerbang masuk ke puluhan tempat wisata di Pinrang. Mau tau apa saja?
Beberapa diantaranya adalah air panas Lemosusu, air terjun Kalijodoh, Bakaru, Villa Puncak Karomba, dan masih ada beberapa lagi. Memang yang paling dekat jalan poros adalah air terjun Karawa ini yang jaraknya hanya sekitar 5 km saja. Begitu masuk Desa Karawa kalian harus perhatikan gapura di kanan jalan yang sebenarnya ada tulisannya sebagai penunjuk bahwa ada air terjun disitu tapi karena kurangnya perawatan hingga yang tersisa gerbang seperti jalan masuk ke suatu desa saja.

Setelah masuk di gerbang wisata permandian Batu Korang Desa Karawa, jalanan makin memaksa kita untuk lebih waspada karena hanya bermaterial bebatuan terjal saja. Di jalan itu juga ada bagian yang cukup terjal menanjak. Kesiapan kendaraan harus benar-benar dipastikan dalam performa terbaik yah. Kalau nggak, bisa-bisa kalian yang bakal kerepotan sendiri.

Begitu sampai di dusun kecil kalian bisa parkir disitu. Sebenarnya masih bisa naik lagi sih, tapi karena sudah ada warning untuk memarkir kendaraan disitu, saya pun nurut saja. Setelah tahu ternyata masih harus jalan kaki lumayan jauh dan ternyata di atas dekat loket masuk masih ada lahan untuk parkir cukup nyesel juga. Apalagi pas jalan kaki menuju loket penjualan karcis sempat diikuti anjing yang terus menggongong. Btw harga karcisnya murah kok, cukup Rp 5.000,- untuk satu orangnya. Parkir dipatok Rp 5.000,- juga, tapi kalian boleh nambahin seiklasnya uang parkirannya sebagai tambahan penghasilan penduduk dusun yang saya lihat sebagian besar hidup hanya mengandalkan hasil alam.

Dari loket penjualan tiket masih harus berjalan naik sekitar 15 menit lagi untuk sampai di spot air terjunnya. Mendekati air terjun jalanan berubah menjadi hanya jalan setapak dan pepohonan makin rimbun. Suara deburan air terjun pun makin terdengar jelas. Dan tak lama  bakal terlihat bangunan-bangunan yang difungsikan sebagai toilet dan kamar mandi. Ada juga warung-warung disitu tapi kebetulan lagi ada yang jualan. Jadinya sendirian deh saya disitu ga ada siapa-siapa. Mungkin ada sih yang lain, tapi enggak keliatan. Hiihii... justkid...!!!


Keringat yang bercucuran sedari mulai awal berjalan kaki tadi perlahan mulai terhapus oleh butiran air yang beterbangan. Lelah pun sedikit demi sedikit menghilang tersapu beningnya aliran air. Dan yang paling penting adalah pikiran kotor eh pikiran jenuh menjadi sirna terhempas terjunan air menyegarkan yang menuruni celah tebing melengkung berhias ukiran alam.

Pengen banget berenang di kolam yang berada tepat di bawah alirannya, apalagi airnya adem banget. Tapi sekali lagi karena saya sendirian dan gak ada yang ngawasin jadinya agak takut. Keinget kejadian yang menimpa temen waktu dia berwisata di air terjun Tiu Kelep Lombok yang meninggal di kolam yang konon ada pusaran air yang lumayan kenceng. Tapi main air dan foto-foto di sekitaran air terjun aja udah oke kok. Kalau mau merenung-merenung juga pas banget suasananya. Yang penting kalau kalian ke tempat baru apalagi alam bebas inget safety first  yah, jangan malah selfie­ first. Hormati pula penduduk sekitar, kan kita cuma pendatang yang bisa dibilang orang baru buat mereka dan alamnya.

tebingnya itu loh bikin jatuh hati

02:12:00 9 komentar

Tak diragukan lagi lah, semua traveler pasti menempatkan Raja Ampat pada list destinasi impiannya. Ada yang udah kesampaian untuk pergi kesana, ada pula yang masih belum tercoret dari dream destination listnya. Tenang saja, masalah waktu dan kemauan doang sih. Kalau saya alhamdulillah beberapa waktu  lalu punya kesempatan untuk menikmati indahnya serpihan surga di timur Indonesia itu.

Raja Ampat Papua
-TRUE-

Raja Ampat masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Papua Barat dengan Kota Manokwari sebagai ibukota provinsinya. Meski demikian, akses terdekat sebelum menjelajahi Raja Ampat bagi wisatawan yang berasal dari luar daerah dan menggunakan moda transportasi pesawat yaitu via Bandara Domine Eduard Osok (DEO) di Kota Sorong (SOQ). Untuk wisatawan mancanegara ada beberapa pilihan sebelum menuju bandara di Kota Sorong yaitu melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta (CGK) atau akses yang paling dekatnya melalui Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Kota Makassar (UPG), Sulawesi Selatan.

Kepulauan Raja Ampat dijuluki sebagi kawasan "Amazon Lautan Dunia" sebab letaknya yang berada dipusat segitiga karang dunia. Pulau-pulaunya tersebar dengan jumlahnya mencapai 610 pulau, namun hanya ada 35 pulau yang berpenghuni dengan empat pulau utama yaitu Batanta, Misool, Salawati, dan Waigeo. Sebutan Raja Ampat sendiri berasal dari mitos penduduk sekitar yang berarti “Empat Raja”.

Saya akui memang butuh perencanaan yang matang sebelum akhirnya impian mengunjungi Raja Ampat bisa terealisasi. Menurut saya yang pertama dilakukan selain nabung adalah ngumpulin temen. Penting banget datang kesana rombongan rame-rame karena ntar bakalan sharing cost sewa kapal yang bahan bakarnya harganya selangit bingit. Selain itu hopping islandnya juga terhitung jauh-jauh pol, bahkan untuk nyebrang antar destinasi bisa menghabiskan waktu berjam-jam terombang-ambing di atas kapal. Oiya, lama gak nya tergantung kapalnya juga sih. Kapal kami itungannya kapal cepat, tapi antara kapal-kapal yang sliweran disana kapal kami masih kalah cepat hihihi. Ada harga ada rupa kalau kata orang. Dari rincian harga dalam satu paketan wisata ke Raja Ampat emang yang paling mahal di transportnya sih.

A photo posted by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Jul 28, 2016 at 5:28pm PDT

Banyak travel agen yang menawarkan trip ke Raja Ampat dengan berbagai macam harga. Tergantung lama waktu trip, banyak destinasi yang dikunjungi, fasilitas apa yang ditawarkan, dan faktor lainnya seperti banyak keuntungan yang diambil si penyedia jasa de el el lah. Tinggal pilih aja sesuai kriteria yang teman-teman inginkan. Di sosmed-sosmed juga banyak iklan-iklan yang menawarkan paketan trip ke Raja Ampat. Hmmm, yang penting pilih yang udah terpercaya dan nggak jual php doang.

Bocoran aja nih, tapi jangan bilang siapa-siapa loh...!!! Kami dapat paketan untuk 10 orang dengan cost Rp 2.500.000,- per orangnya exclude tiket pesawat dan tiket kapal dari sorong ke pelabuhan Waisai tapi. Semua itu untuk 4 hari 3 malam di Raja Ampat. Jadi paketan itu dihitung dari pelabuhan Waisai sampai kembali lagi ke pelabuhan di ibukota Kabupaten Raja Ampat itu. Bisa dibilang setengah harga dari paketan yang lain kan. Tapi kalau ditanya pakai travel agen mana, saya nggak bisa jawab karena dia belum bernama kayak travel agen kebanyakan. Mungkin kalau disearch di mesin pencari agak susah juga. Temen sih yang urus jadi saya cukup terima beres aja. 
Thanks yah teman-teman...

Hari 1

  • Saya berangkat dari Makassar pagi buta selain karena itu adalah penerbangan yang paling agak mendingan harganya, juga biar sampai di Sorong nggak kesiangan sehingga hari itu juga bisa sampai di penginapan yang lokasinya di Pulau Arborek, Raja Ampat.  
  • Setelah anggota berkumpul semua karena memang kami datang dari berbagai kota, lalu kami makan siang di pusat Kota Sorong. Jauh-jauh ke Papua, makannya di warung Jawa juga.
  • Selepas makan siang dan sholat dhuhur kami langsung menuju Pelabuhan Rakyat Sorong untuk ikut kapal yang berangkat jam 2 siang. Pelabuhannya nggak jauh kok dari pusat kota. Nah, jangan sampai ketinggalan kapal yah, biasanya ada dua kali keberangkatan pagi jam 9 dan siang jam 2 WIT. Kapal yang biasa digunakan adalah Kapal Bahari Express dengan waktu tempuh Sorong-Waisai kurang lebih 2 jam.  Tiket bisa dibeli on the spot kalau memang masih kebagian. Untuk antisipasi beli beberapa waktu sebelumnya, jangan mepet-mepet karena pasti membludak tuh kapal ngangkutin orang. 
  • Harga tiket kapal Sorong-Waisai per Mei 2016 sebesar Rp 125.000,- . Memang saat ini baru terakomodir transportasi laut saja, tapi kedepannya  pemerintah setempat akan mengembangkan bandar udara di Waisai bernama Bandar Udara Marinda untuk lebih mempermudah akses wisatawan maupun penduduk.
19:47:00 27 komentar
Sebelumnya,  terimakasih banyak buat Mail yang sudah nyediain tempat nginep, jadi guide selama di Jeneponto sampai Bulukumba. Terimakasih juga buat ibunya Mail yang sudah masakin hidangan berbahan daging kuda khas Jeneponto yang lezatnya bukan main dan bikin stamina jadi lebih grengggg. Kalau ga salah nama masakannya "Gantala". Rasanya mirip-mirip sate tapi gak pake ditusuk-tusuk, kadang ada sensasi mirip rendang juga. Campur-campur rasanya tapi uenak bukan main. Selain itu dimasakin konro kuda juga yang gurih gurih sedap geli geli mantap.
Pengen lagi deh...

Pantai Bara, Bulukumba
tempat camping kami menikmati malam minggu

Setelah kenyang melahap sarapan, dengan semangat kami melaju ke Bulukumba start dari rumah Mail di Jenponto. Perjalanan ditempuh selama 2 jam perjalanan dengan sepeda motor. Sebelum sampai di Kabupaten Bulukumba, kami lebih dulu melewati satu kabupaten lain yaitu Bantaeng. Seperti yang sudah ditulis di postingan sebelumnya kalau kami juga sempat mampir di salah satu air terjun terkenal di Bantaeng yaitu air terjun Bisappu.

Perjalanan di setiap kabupaten yang kami lewati mulai dari Kota Makassar punya pemandangan yang begitu variatif. Kabupaten Gowa dengan pemandangan yang masih terpengaruh dengan perkotaan yang macet karena memang bersebelahan dengan Makassar yang mana gak ada berhentinya orang wara-wiri lewat situ. Kabupaten Takalar dengan pemandangan perkotaan yang mulai sepi dan jalanan pun mulai melipir ke pinggir laut. Masuk di Jeneponto dengan pemandangan yang makin lebih sepi dengan bentang alam yang terkesan sangat gersang namun geliat pertanian tetap terlihat disana. Selain itu bakal kita temukan petani garam yang kalau beruntung kita dapati mereka sedang memanen garam yang bisa jadi menjadi pemandangan yang sangat langka (bagi yang gak pernah melihat proses pembuatan garam sih). Lalu Bantaeng dengan tata kota dan kebersihan yang sempat mencuri perhatian saya saat melewati kabupaten itu. Meski capek tapi pemandangan itu bisa menjadi “cafein” yang bisa membuat terjaga selama perjalanan. 


Tiba di Bulukumba

Dan akhirnya sekitar pukul 12 siang kami sudah masuk di Bulukumba. Kami sempatkan dulu sholat dhuhur sekaligus istirahat sejenak sebelum lanjut ke spot wisata. Dari pusat kota masih sekitar satu jam perjalanan untuk sampai di spot-spot wisata Bulukumba. Wajib nih sholat di masjid hits Se-Bulukumba ini. Biar kayak orang-orang gitu, kalau ke Bulukumba pada foto-foto disini. Tapi jangan lupa masjid yang lain dibikin hits juga yak... hehe...

touringer Majene (Sulbar) - Bulukumba (Sulsel) via Makassar
±560 km

16:28:00 9 komentar

Air Terjun Bisappu ini menjadi destinasi selanjutnya setelah Air Terjun Tama’lulua di Jeneponto. Kami mampir sejenak dalam perjalanan menuju Bulukumba. Nggak ada salahnya kan kalau sekalian mampir di tempat wisata di setiap kota yang dilewati. Bantaeng berada di antara Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba. Sedangkan air terjun ini berada di Desa Bonto Salluang, Kecamatan Bissappu, Kab. Bantaeng. Gerbang masuknya berada sekitar 5 km sebelum pusat Kota Bantaeng kalau kita dari arah Kota Makassar.

Air Terjun Bisappu,
ada yang bisa menemukan saya di antara bebatuan itu ???

Jalan masuknya lumayan menanjak dan berkelok-kelok melewati desa-desa dan beberapa papan petunjuk menuju beberapa air terjun lainnya, tapi kami berniat menuju air terjun Bisappu saja karena inilah air terjun yang paling terkenal dari Bantaeng. Sempat juga kami lewati papan petunjuk menuju air terjun Bantimurung. Heran juga, bukannya air terjun Bantimurung ada di Maros yaa. Hmmm, sama namanya ga papa sih. Lagian air terjunParangloe di Gowa saja ada yang menyebutnya air terjun Bantimurung II hahaha. Biar ikutan terkenal seperti Bantimurung yang asli sepertinya.
Setelah sampai di pintu gerbang tentunya kita beli tiket masuk dulu, seiklasnya saja katanya tapi jangan kebangetan juga ya kalau ngasih. Itung-itung buat biaya pemeliharaan lah.
Begitu masuk, suara deburan air terjun sudah bisa terdengar, menandakan kalau letak air terjun tidak terlalu jauh. Selain itu juga faktor tingginya air terjun yang mencapai sekitar 80 m menjadikan suara deburan itu sudah terdengar di telinga kita begitu memasuki gerbang wisata.
Saat itu debit air terjun tidak terlalu deras namun butiran-butiran air sangar terasa mengenai kulit kita meski kita berada nggak persis di bawahnya. Kita juga bisa mendekati air terjunnya dengan melompati bebatuan yang berserakan, tapi perlu waspada dan hati-hati yah karena batunya sangat licin terlebih lagi kalau musim hujan.

sepi bgt tempatnya, bersih juga kan

Kalau teman-teman sempat pakai uang kertas berwarna merah itu untuk jajan pas SD, kemungkinan kita seumuran hahaha.

Puas main air di Bisappu Waterfall, kami lanjutkan perjalanan menuju Bulukumba. Rencananya kami bakal camping ceria semalan di Pantai Bara. 


Baca ceritanya disini nih...!!!
23:40:00 4 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)