YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com




Dua kali sudah saya mendaki Lawu. Hal itu nggak menjadikan saya menolak ajakan teman yang berencana muncak ke gunung itu lagi. Seperti yang pernah saya utarakan sebelumnya, kalau sudah pernah mendaki di satu gunung dan ada ajakan untuk mendakinya lagi, bukan berarti itu bakal menjadi alasan untuk menolaknya. 
Bagi saya pribadi mendaki gunung yang sama di lain waktu, bakal ada cerita berbeda yang didapat. Terlebih dengan orang yang berbeda, apalagi dengan jalur pendakian yang belum pernah dijajal sebelumnya, pastilah cerita yang didapat tak sama. 
Kedua kali pendakian sebelumnya itu sama-sama lewat jalur Cemoro Sewu namun dengan kawan mendaki dan waktu pendakian yang berbeda. Pertama banget mendaki Lawu saat itu satu rombongan 3 orang tanpa nge-camp, tapi bermalam di warung dekat Sendhang Derajad. 
Kali kedua, naik berdua saja dengan teman asli Karanganyar di malam 1 Suro. Di malam pergantian tahun kalender Jawa dan Islam itu Lawu membludak seolah menjadi hari paling ramai dalam satu tahunnya. Hal ini menjadi satu hal yang unik dari Lawu. Ceritanya Pendakian Lawu 1 Suro bisa dibaca disini nih. 
Lebih lagi ada kejadian janggal di pendakian kedua itu. Kalau penasaran kejadian apa yang kami alami di pendakian 1 Suro itu bisa baca ceritanya disini.

Khusus postingan kali ini adalah sebagian kecil oleh-oleh hasil dari pendakian Gunung Lawu via Jalur Pendakian Candi Cetho. Kalau bercerita tentang jalur ini, bisa dipastikan nggak jauh-jauh dari objek wisata Candi Cetho itu sendiri. Candi tersebut masih punya kekerabatan dengan Candi Sukuh yang pernah saya datangi setelah turun dari Puncak Lawu pas mendaki di malam 1 Suro. Kedua candi itu sama-sama terkenal sebagai candi erotis karena ada beberapa reliefnya sangat terang-terangan menunjukkan bentuk dari organ reproduksi manusia, selain itu ada juga arca yang berbeda dari arca candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang lain. Arca tersebut berbentuk laki-laki tanpa kepala yang memegang alat vitalnya. 

Menuju Candi Cetho

Candi ini terletak di Kabupaten Karanganyar. Banyak cara untuk menuju kesini dari berbagai wilayah. Kami serombongan yang berangkat dari Jakarta memilih untuk naik kereta menuju Semarang. Harusnya sih turun Solo lebih dekat, tapi karena kehabisan tiket jadinya kami pilih alternatif stasiun selain Solo. Sampai di Semarang kami istirahat sejenak di stasiun sambil memikirkan bagaimana cara termudah untuk menuju ke basecamp. Kepikiran untuk naik bus, tapi karena bawaan kami yang gede-gede banget ditambah dengan akses ke basecamp yang masih masuk ke pelosok, akhirnya kami mencoret alternatif itu. Kami pun tak ambil pusing biar cepet sampe juga akhirnya kami booking taksi online lewat aplikasi. Eh, ternyata teman yang booking salah masukin lokasi tujuan dengan mengetik Candi Gedong Songo, padahal harusnya Candi Sukuh. Singkat cerita akhirnya bang driver datang dan mengkonfirmasi destinasi kami yaitu Ungaran. Kami pun kaget kok bisa jadi Ungaran sih, pantes kok murah  ongkosnya. Iya sih, Candi Gedong Songo juga merupakan salah satu jalur pendakian gunung, tapi Gunung Ungaran. Kami kan mau ke Lawu. 
Setelah diskusi-diskusi akhirnya abangnya mau nganter sampe ke Candi Cetho. Tentu dengan perubahan ongkos sedemikian rupa. Ok, jadilah kami tinggal duduk manis sekitar 2 jam lebih dikit dan sampai lah kami di parkiran Candi Cetho dengan disambut kabut dingin khas pegunungan.

selain kabut, mbak-mbak ini juga menyambut kedatangan kami

persiapan menuju loket registrasi

loket registrasi pendakian beda dengan loket masuk candi ya

yok di data dulu

ini gambaran jalur pendakian Lawu via Candi Cetho

masih seger, soalnya belum seberapa jauh

dari jalur pendakian bisa ngeliat candinya juga kok

ngelewatin tempat kayak gini juga, berasa ada di istana mana gitu

naik lagi bakal ketemu candi yang berbeda, namanya...

Candi Kethek (Candi Kera/Monyet)

ninggalin jejak dulu

zoom in for further information about Monkey Temple

WARNING

candi yang unik yah

ke atas lagi barulah melewati jalan setapak

Pos 1

Pos 2

Pos 3

Pos 4

masyaallah akhi...

setelah sekian jauh, ketemu dengan view kayak gini

dengan matahari yang lumayan terik karena lokasinya lumayan terbuka

Pos 5

ninggalin jejak

sabana yang keren banget buat foto-foto

sabananya masih luas di sebelah sana

Kami camp persis di depan Warung mbok Yem

Tampak Puncak Hargodumilah dari lokasi camp

ada petilasan

mau pesen apa? yang spesial disini sih pecel telurnya

persiapan turun lagi, iya kami gak muncak kok

ini jalur yang kami lewati hari sebelumnya ketika gelap

keren banget kan Lawu via Candi Cetho

Selain lansekapnya yang ciamik, mendaki Lawu lewat jalur manapun seolah menikmati peninggalan sejarah. Banyak banget situs-situs jaman dulu kala yang ditinggalkan dan masih bisa kita nikmati. Khusus jalur Candi Cetho ini, terdapat satu spot yang bernama Pasar Dieng yang membuat kami takjub. Disana terdapat bebatuan yang berserakan namun kalau secara seksama diperhatikan itu seperti bekas kerajaan atau istana. Salah satu fotonya ada di bagian pembuka postingan ini. 

Nahhh, setiap perjalanan memberi pelajaran dan pengalamannya untuk pelakunya. Setiap selesai melakukan perjalanan ke suatu tempat, ingin rasanya  segera merencanakan perjalanan yang baru lagi. Mungkin itu yang dinamakan passion.
21:35:00 2 komentar

Nama Ciremai baru akrab terdengar di telinga saya sebenarnya setelah hobi mendaki gunung berjalan sekian waktu, salah satu sebabnya karena letaknya berada di provinsi yang berlainan dengan tempat tinggal. Mengakrabi sekaligus mendaki gunung-gunung yang berada di sekitaran Jawa Tengah saja butuh waktu hampir setahun. Untuk memilih gunung-gunung di provinsi tetangga, waktu itu saya lebih memprioritaskan untuk mendaki gunung yang ada di Jawa Timur dulu. Barulah setahun belakangan ini, tahun 2016, saya yang “makan bangku”  kuliah lagi di PKN STAN Bintaro mulai berkenalan dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat.

Beberapa waktu berjalan, Ciremai akhirnya bisa saya sambangi puncaknya di akhir 2016 lalu via jalur pendakian Apuy barengan saudara-saudara di Kelompok Pecinta Alam STAPALA PKN STAN. Ceritanya bisa dibaca disini nih, khusus postingan kali ini bakal dibahas mengenai pendakian menuju puncak tertinggi Gunung Ciremai via jalur pendakian Linggarjati.





Mendengar nama Linggarjati apa yang kalian ingat? Hmmm, kayak pernah denger gitu yak. Pastinya pernah lah, terlebih bagi mantan anak sekolahan yang dulu pernah belajar IPS Sejarah. Yap, jalur pendakian Gunung Ciremai yang satu ini melewati lokasi dimana Perundingan Linggarjati antara yang dilaksanakan antara Indonesia dan Belanda pada 11-13 November 1946. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan dimana Belanda mengakui secara de facto wilayah RI yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura serta membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni. Itung-itung mengingat sejarah bangsa lah ya hehe. Btw kalau kalian pengen lebih greget lagi mengingat sejarah tersebut, bisa banget loh mampir sekalian dan melihat-lihat isi gedungnya. Lebih santai sih enaknya kalau pas udah turun gunung saja mampir ke gedung Perundingan Linggarjatinya.
00:22:00 9 komentar

Dalam Bahasa Jawa, “ardi” merupakan salah satu Dasa Nama atau nama lain dari gunung selain arga, giri, meru, dll. Mungkin karena itu pula ikatan batin saya dengan gunung bisa dibilang erat. Pendapat saya pribadi sih hehe. Pasalnya setiap ada waktu luang atau tanggal merah sehari saja langsung kepikiran mau mendaki gunung mana lagi yah. Naluri pendaki kali yaaa.

Pernah pula satu ketika setelah lulus kuliah, saya punya waktu yang super lowong selama satu tahun untuk menunggu penempatan kerja. Nah, saat itu adalah saat dimana saya gencar-gencarnya menjadi pendaki gunung. Bisa hampir tiap bulan mendaki bahkan sempat dua minggu sekali mendaki gunung. Terlebih lagi karena sangat mudah menemukan gunung-gunung tinggi di sekitar tempat tinggal. Secara saya hidup sedari kecil berada di sekeliling pegunungan. Mulai saat itu pula, hobi mendaki gunung saya geluti benar-benar.

Makin kesini hobi kadang berbenturan dengan kerjaan. Tapi jangan sampai pekerjaan menghalangi hobi lah yaaa. Hehe… Bercanda… Kalau bisa sih seimbang, toh bisa naik gunung duitnya dari kerja. Kesempatan naik gunung seperti saat baru-baru lulus kuliah itu rasanya saya dapatkan kembali. Sekiranya antara bulan Desember 2016 sampai Februari 2017 alhamdulillah punya kesempatan mendaki beberapa gunung yang tergolong luar biasa. Awal Desember 2016 saya berkesempatan mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu Ciremai, lalu akhir Desember berhasil menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah yaitu Slamet, kemudian peralihan Januari ke Februari 2017 finally bisa menuntaskan pendakian gunung dengan jalur terpanjang se-Jawa tak lain Gunung Argopuro, dan akhir Februari 2017 bisa menginjakkan kaki di puncak tertinggi keempat di Jawa Barat meski harus menerima bantaian tanjakan kejamnya sedari awal mendaki yaitu Gunung Cikuray.

Khusus postingan kali ini bakal dibahas semua tentang Cikuray termasuk pendakiannya yang Alhamdulillah dengan lancar terlaksana beberapa waktu yang lalu. Sebagai awalan, kita kenalan dulu yuk dengan gunung dengan bentuk mirip kerucut raksasa ini.

GUNUNG CIKURAY

Gunung yang terletak di Kabupaten Garut ini memiliki tinggi puncaknya mencapai 2.821 mdpl. Jalur pendakian bisa memilih diantara 3 pilihan yaitu jalur Pemancar di Dayeuhmanggung Kecamatan Cilawu, jalur Kiara Janggot di Kecamatan Bayongbong, dan jalur di Kecamatan Cikajang. Jalur Kiara Janggot adalah jalur yang baru dibuka dan punya pertemuan jalur dengan jalur pemancar di bawah Pos 7. Dari jalur-jalur tersebut, Jalur Pemancar lah yang menjadi paling favorit meski terkenal tanjakannya yang nggak habis-habis.

Jalur Pemancar juga kami pilih untuk pendakian ke puncak Cikuray saat itu. Akses menuju titik awal pendakian cukup mudah karena gunung ini termasuk gunung yang cukup sering didaki oleh pendaki yang kebanyakan berdomisili di Jakarta. Gunung ini juga berdekatan dengan Gunung Papandayan dan Guntur yang sama-sama populer. Bisa dipilih berangkat dari Terminal Lebak Bulus ataupun Terminal Kampung Rambutan. Tapi mengenai fleksibilitas waktu, bus yang berangkat dari Terminal Kampung Rambutan lebih banyak pilihannya. Tengah malam pun masih ada bus yang berangkat menuju Garut.

Pendakian Gunung Cikuray via Pemancar

Begitu sampai di Terminal Kampung Rambutan, kami langsung diserbu tawaran-tawaran para pemburu penumpang. Jangan takut, insyaallah kalau kita menyebutkan kemana tujuan kita pasti diarahkan ke bus yang bisa mengantar kita. Betul saja, ternyata sudah semalam itu kehidupan terminal masih riuh. Bus tujuan Garut pun masih banyak banget. Yap, untuk memulai perjalanan menuju Gunung Cikuray kita harus menuju Terminal Guntur di Garut. Banyak pilihan bus yang bisa mengantar kita ke kota yang punya sebutan Swiss van Java itu. Tarifnya pun hanya berkisar 60 ribuan saja. Enaknya, bus yang kami tumpangi tanpa harus menunggu penuh sudah langsung jalan. Mungkin karena sudah ada pewaktuannya kali ya, jadi patokannya bukan penuh tidaknya penumpang.

Sekitar lima jam perjalanan yang sepenuhnya kami isi dengan tidur, akhirnya kami sampai di Terminal Guntur Kota Garut tepat sebelum adzan subuh berkumandang. Sekali lagi kami beruntung karena begitu turun bus langsung mendapat tawaran mobil pick up menuju Pos Pemancar yang tak lain adalah start pendakian Gunung Cikuray. Tentunya bergabung dengan rombongan lain, soalnya kami hanya berempat saja. Ada tiga rombongan dalam satu mobil itu yang tanpa sengaja atau hanya kebetulan saja semuanya dari Bintaro. Haha kok bisa yaaa, padahal nggak janjian.
Satu jam perjalanan di atas mobil tanpa atap dari terminal menuju titik awal pendakian di pagi hari yang dingin itu, kami sempat berhenti sejenak di salah satu warung makan yang juga menjadi tempat istirahat para pendaki sebelum atau sesudah mendaki Cikuray. Kami mengisi perut dan tak lupa membawa bekal beberapa bungkus nasi dengan lauk khas Sunda untuk dimakan saat istirahat nanti.

Usai sarapan kami lanjut lagi menuju Pos Pemancar yang sebenarnya merupakan tower relay stasiun televisi. Keluar dari desa kami mulai menjumpai tanjakan-tanjakan yang luar biasa curam. Tak lama kemudian kami sampai di satu pos perijinan dimana kami harus menulis nama anggota dan mengisi kotak seikhlasnya. Kira-kira 10 menit kemudian sebelum memasuki kawasan perkebunan teh ada pos perijinan lagi yang mewajibkan kami membayar Rp 10.000,- per orang. Kami lanjutkan lagi naik mobil untuk menuju Pos Pemancar yang sudah nggak jauh lagi.
Beberapa meter dari Pos Pemancar, kami semua turun karena dirasa mobil mengalami kesulitan melewati tanjakan terakhir yang lumayan curam meski jalannya sudah beraspal. Belum-belum udah harus jalan nanjak. Anggap saja pemanasan lah sebelum dihajar tanjakan Cikuray yang sebenarnya.

Sampai di Pos Pemancar kami repacking dan istirahat sejenak disamping warung. Kami kira bakal ada basecamp atau sekedar bangunan tertutup yang bisa digunakan beristirahat maupun bermalam kalau-kalau turun gunung kemalaman. Tapi ternyata yang ada hanya warung dan pos beratap kayu semi permanen tanpa dinding. Semoga sebentar lagi segera dibangun bangunan permanen yang bisa dimanfaatkan pendaki untuk beristirahat.
  • Pos Pemancar – Pos 1

Cuaca saat itu sangat mendukung banget. Langit membiru dan Cikuray pun nggak tertutup kabut sama sekali. Kami pun memulai pendakian dengan berdoa terlebih dulu dan toss ala-ala pencinta alam untuk menjadi penyemangat. Awal perjalanan kami langsung disambut tanjakan tajam diantara kebun teh yang ada di samping tower-tower. Cerahnya langit saat itu makin lama membuat matahari menyengat dengan sangat teriknya. Apalagi baru awal-awal pendakian gitu, belum masuk hutan jadi nggak ada peneduh sama sekali kecuali shelter di Pos 1. 

ceraaah, Cikuray menyambut kami

repacking di bawah tower


diturunin dari mobil disini

trek awal pendakian

diantara kebun teh

Hanya sekitar 5 menit berjalan dari pemancar kita sampai di Pos 1. Disitu banyak warung-warung berjajar, tapi buka hanya saat weekend saja. Dari sekian banyak warung, yang paling hits adalah Warung Cihuy. Disitu pun ternyata kita masih harus membayar biaya administrasi lagi. Kali ini Rp 15.000,- per orang. Bisa beberapa kali bayar gitu mungkin karena peruntukannya berbeda. Yang pertama mungkin administrasi untuk masuk wilayah perkebunan teh, yang kedua untuk pendakian. Gak tahu juga sih alasan tepatnya kenapa bisa dua kali bayar, di gunung-gunung lain biasanya sih sekali doang kan.

  • Pos 1 – Pos 2

Selepas Pos 1 kita masih harus mengahdapi tanjankan tapi kali ini berupa tanah keras yang dibuat menyerupai anak tangga. Suasana masih terbuka, jadi makin siang makin terik saja matahari menerpa tubuh. Nggak heran bakal sering-sering minum. Perlu diingat ya, di Cikuray jalur Pemancar ini nggak ada sumber air sama sekali jadi harus pintar-pintar memanage air agar nggak kekurangan saat naik hingga turun lagi. Paling nggak satu orang bawa dua botol besar dan satu botol kecil untuk selama perjalanan.






Warung Cihuy

Sekitar 20 menit berjalan kita akan mulai memasuki kawasan hutan. Alhamdulillah jadi teduh namun jalur seketika berubah menjadi akar-akar yang menjulur tak beraturan tapi nanjak masih tetep. Dari catper yang saya baca sebelumnya, memang jalur yang kami lewati ini minus bonusan alias konsisten nanjak. Hanya ada nanjak dan nanjak abisss.

Pos 2 letaknya agak cukup jauh dari Pos 1 hingga kami berjalan serasa nggak nyampe-nyampe. Tanjakan demi tanjakan kami lewati. Trek didominasi dengan akar-akar pohon yang memenuhi jalur pendakian. Sampailah kami di Pos 2. Terhitung dari Pos 1 kami sudah berjalan selama 1 jam.

  • Pos 2 – Pos 3

penuh akar-akar

Lanjut menuju Pos 3 tanjakan masih konsisten. Kami sampai di jalur yang cukup unik yaitu jalur menanjak yang untuk melewatinya kami harus berpegangan pada akar-akar yang memenuhi jalur tersebut. Selain itu kami juga menemui jalur dengan nama Tanjakan "Wakwaw" yang ngeri-ngeri sedap nanjaknya. Tapi karena namanya lucu jadinya kami ngelewatinya sambil ketawa-ketawa sampai-sampai capeknya pun terlupakan. 

Tanjakan Wak-waw

Lolos dari tanjakan itu kami kira sudah selesai, ternyata tanjakan lain masih mengintai untuk dilewati. Memang kami akui Cikuray sangat menghajar dengkul. Baru sampai Pos 3 kami sudah dibuat kewalahan. Saat itu kami sudah memperkirakan kalau tanjakan bakal gini-gini terus sampai puncak. Karenanya kami pun beristirahat dulu agak lama di Pos 3 sambil makan nasi yang telah dibungkus di warung tadi. Perut juga sudah keroncongan minta diisi. Hampir sama waktu untuk pos sebelumnya, menuju Pos 3 ini juga perlu satu jam perjalanan dari Pos 2.

  • Pos 3 – Pos 4

Panas terik kini telah berganti langit teduh dengan sesekali angin yang lumayan menusuk tulang berhembus. Seperti perkiraan kami sebelumnya bahwa tanjakan Cikuray jalur Pemancar ini memang sangat konsisten. Sekitar satu jam berjalan dari Pos 3 akhirnya kami sampai di Pos 4. Waktu menunjukkan pukul 12.25 WIB, disitu kami menunaikan sholat sekaligus beristirahat sejenak. Jarak antar pos hingga sampai Pos 4 lumayan sama yaitu sama-sama hampir satu jam perjalanan.

  • Pos 4 – Pos 7

Setelah Pos 4 jarak antar pos sudah nggak saling berjauhan seperti pos-pos sebelumnya yang rata satu jam perjalanan normal. Menuju Pos 5 nggak sampai setengah jam dan begitu pula ke Pos 6 atau yang biasa disebut Puncak Bayangan. Pos 6 ini berupa tanah datar yang lumayan luas untuk beberapa tenda. Kalau pun sedang ramai-ramainya masih memungkinkan untuk membangun tenda di sekitaran tanah lapang itu. Pas kami sampai disitu kami hanya melihat sebuah warung tanpa penghuni. Mungkin kalau weekend saja baru buka. Bakal rame juga pasti pendaki-pendaki dari sekitar Garut maupun dari Jakarta yang mendaki Cikuray. Secara do'i termasuk gunung favorit yang lumayan mudah juga buat dijangkau dari segala penjuru. Kami sempat ngebayangin kalau warung itu buka pasti bakal beli teh anget dulu disitu, pasalnya udara juga mulai dingin banget.

warung di Pos 6 a.k.a Puncak Bayangan

Cukup istirahat di Pos 6 atau Puncak Bayangan kami lanjut menuju Pos 7 yang merupakan pos terakhir sebelum puncak. Trek menuju Pos 7 menjadi yang terberat dari sebelum-sebelumnya. Kita juga bakal ketemu dengan percabangan dengan jalur Kiara Janggot yang baru dibuka. Tanjakan yang menghajar dengkul bakal sangat kita rasakan disini selain karena tenaga sudah terkuras dengan tanjakan pemanasan di pos sebelumnya, kemiringan  trek sebelum Pos 7 juga jempolan.

Pos 7

Pukul 15.00 WIB kami sampai di Pos 7. Kalau dihitung sejak kami mulai berjalan dari Pemancar berarti kira-kira perlu waktu 6,5 jam menuju Pos 7. Pos ini ternyata hanya muat satu tenda saja. Kebetulan pula belum ada yang nempatin. Kami segera mendirikan tenda, setelah itu kami menunggu saat sunset tiba karena kami juga berencana menikmati syahdunya matahari tenggelam di Puncak Cikuray. Jarak dari Pos 7 ke puncak hanya tinggal paling 15 menitan saja kok. Jarang banget naik gunung bisa summit dua kali dan dapat sunset sekaligus sunset. 

Pas menuju puncak ternyata di atas Pos 7 masih ada tanah lapang yang bisa muat banyak tenda. Jadi nggak perlu khawatir kehabisan tempat. Di puncak juga bisa buat camp tapi khawatirnya ada badai atau petir yang membahayakan jadi kalau camp di puncaknya mungkin bisa menjadi opsi paling terakhir dari yang terakhir. Di Puncak Cikuray yang setinggi 2.821 mdpl tersebut terdapat satu bangunan yang entah fungsinya buat apa kenapa bisa di puncaknya banget gitu. Menurut saya pribadi sih kalau sekedar sebagai shelter seharusnya dibuat di bawah puncak. Kalau pun untuk sebagai penanda puncak tertinggi lebih baik hanya berbentuk tugu saja sih. Soalnya kalau ada bangunan di puncak serasa gimana gitu. Agak sedikit ngurangin kealamian gunung itu sendiri. Menurut kalian gimana?

Bangunan di Puncak

jendela

sunset

lautan awan

Papandayan view

on the top
 
salam dari Puncak Cikuray
19:59:00 6 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)