ARDIYANTA


Bertemunya kembali saya dengan Bandon setelah terpisah sedari pos 4 merupakan akhir dari kebingunan kami berdua yang mencari satu sama lain. Perjalanan turun Gunung Lawu kala itu kami akhiri dengan sholat Dhuhur di masjid depan basecamp. Kemudian sesuai rencana awal kami selanjutnya langsung menuju Candi Sukuh di Kecamatan Ngargoyoso, Kab. Karanganyar. Kali ini saya yang meminta Bandon untuk menemani saya ke candi yang katanya cukup erotis itu. Sebenarnya bukan karena itu juga yang menjadi pendorong utama saya kepengen kesana tapi karena memang saya juga pengagum benda cagar budaya yang punya nilai sejarah dan keunikan. Pengennya sih bisa sekalian ke Candi Cetho dan Candi Kethek sekalian biar komplit, tapi karena waktu sudah mulai sore ya diputuskan hanya mengunjungi salah satunya saja dan dipilihlah Candi Sukuh.

Aksesnya cukup mudah dan di beberapa sudut jalan sudah terdapat petunjuk yang mengarahkan kita. Dari basecamp Gunung Lawu kami ke arah Karanganyar dan di satu gang yang juga mengarah ke objek wisata Air Terjun Jumog di kanan jalan kami berbelok disitu. Sebenarnya bisa juga masuk melalui gapura yang bertuliskan Wisata Cetho Sukuh namun kami memilih melalui jalan tersebut saat pulang saja mengingat kami berjalan dari arah timur jadi lebih dekat kalau masuknya lewat jalan sisi timur.

Denger-denger memang jalan menuju candi-candi unik di Karanganyar tersebut membutuhkan stamina motor yang mumpuni karena tanjakannya yang sangat ekstrim, termasuk menuju Candi Sukuh tersebut. Benar saja sesaat sebelum sampai di kompleks candi, tanjakan yang kemiringannya lumayan curam segera menyapa.

Candi Sukuh tepatnya berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar yang berada di ketinggian hampir 1.000-an mdpl. Letaknya yang berada di ketinggian membuat pemandangan yang terhampar dan bisa dinikmati dari komplek Candi Sukuh sungguh luar biasa.
Mengenai keunikan nggak perlu ditanya lagi deh. Dari letaknya saja yang berada di lereng barat Gunung Lawu sudah menunjukkan salah satu keunikannya. Belum dari segi sejarahnya yang konon candi tersebut merupakan deretan terakhir candi peninggalan Majapahit karena setelahnya tidak ada lagi candi yang dibangun. Bisa dikatakan pula Candi Sukuh ini termasuk candi yang termuda bahkan katanya pembangunannya belum rampung sebab sang Prabu Brawijaya V yang menjadi pencetus didirikannya candi tersebut telah keburu menuju puncak Gunung Lawu karena dalam masa pengejaran Raden Patah yang merupakan putranya sendiri yang mengajaknya untuk memeluk Agama Islam. Dari sejarahnya bisa disimpulkan pula jika Candi Sukuh bercorak Hindu. Hal itu diperkuat dengan adanya simbol lingga dan yoni khas corak agama tersebut. Nah ada keunikan lagi, jika di candi Hindu yang lain lingga dan yoni bentuknya seperti yang telah kita ketahui berupa alu dan lumpang, namun di Candi Sukuh ini simbol yang melambangkan kesuburan tersebut digambarkan menyerupai bentuk aslinya yaitu bentuk penis dan vagina. Sesaat setelah sampai di area candi, kami mendapati keramaian di satu bangunan di samping loket. Dari pakaian yang dikenakan bisa ketahuan kalau yang sedang mengadakan perkumpulan tersebut adalah penganut agama Hindu. Entah sedang ada acara apa tapi sepertinya merupakan jemaat dari luar kota karena ada beberapa bus yang terparkir. Mungkin karena even satu Suro yang juga disakralkan penganut agama Hindu jadi saat itu ada keramaian tersebut. Tapi di area dalam candinya sendiri terlihat lengang.


umat agama Hindu sedang berkumpul di depan area candi

Candi Sukuh ini dibangun berteras atau bertrap-trap menghadap ke barat yang makin ke belakang makin meninggi mirip bangunan prasejarah punden berundak khas arsitektur megalith. Gapura pertama mirip pylon di Mesir dan bangunan candi induk mirip dengan bentuk piramida terpancung khas bangunan kuno Suku Maya di Yucatan, Meksiko. Mengenai simbol yang menunjukkan erotisme saya juga agak bingung kenapa sangat ditonjolkan ya. Sangat bertentangan sekali dengan nilai-nilai ketimuran kita dan jauh dari sifat-sifat kedewaan yang dijunjung seperti yang tertuang di candi-candi yang lebih tua. Benar kan, memang tak ada bangunan candi sebelumnya yang memiliki arca atau pun ornamen yang memiliki nilai-nilai yang mengandung unsur erotisme selain situs Khajuharo di India yang juga terdapat aksen porno di dalamnya. Mungkin bebrapa hal yang mendasarinya adalah perubahan cara berpikir, ciri spiritual, dan dimensi waktu. Ada perubahan nilai budaya di dalam pembangunan candi sebagai hasil budaya yang berhubungan dengan pola pikirnya.

Begitu masuk di pintu pagar yang tak terlalu lebar, kita akan berada di teras yang pertama. Teras ini diawali dengan bangunan gapura berupa paduraksa yang mirip dengan pylon, sejenis gapura masuk ke piramida di Mesir. Di bagian atas pintu gapura sisi depan dan belakang terdapat ornamen berbentuk kala dengan janggut panjang yang nggak bakal ditemui di candi-candi Hindu kebanyakan.

bangunan candi yang paling depan

Pada sisi kanan dan kiri gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang tengah berlari dengan menggigit ekor ular naga yang sedang melingkar. Sementara di atasnya terdapat relief yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang melayang dan relief seekor binatang melata yang tak lain merupakan sengakalan atau simbol angka tahun yang berbunyi gapura buto aban wong yang diperkirakan sebagai angka Tahun Saka 1359 saka atau 1437 Masehi. Yang unik di teras pertama adalah relief yang terukir di lantai pada pintu gapura. 


view dari atas gapura terdepan

terlihat nyata

Wow, terlihat terpampang nyata seperti aslinya. Ada penis dan vagina menyatu mennn. Pintu di gapura pertama tersebut selalu tertutup pintu kayu yang tergembok rapat. Konon katanya bisa untuk mengetes keperawanan seorang wanita, jika melompati relief tersebut maka akan ketahuan mana yang perawan mana yang tidak. Apabila masih perawan jika melompati relief tersebut maka selaput daranya akan robek dan berdarah, namun jika sudah tidak perawan maka kain yang dipakainya yang akan robek. Karena itulah mungkin area tersebut ditutup rapat agar tidak menjadi ajang pengetesan keperawanan. Hehe… Untuk menuju ke teras selanjutnya kita melewati jalan setapak di samping gapura.

Teras Kedua

Tidak ada candi ataupun arca apapun di pelataran kedua tersebut. Hanya ada gapura penghubung teras ketiga yang sudah tidak utuh lagi. Diduga gapura tersebut berbentuk bentar seperti pintu gerbang masuk mayoritas candi-candi di Jawa Timur. Di depan gapura terdapat sebuah arca Dwarapala. Arca ini berbeda dengan dwarapala pada arca candi-candi pada umumnya karena nyaris tanpa aksesori, tubuhnya polos dan gada yang dibawanya tanpa ukiran. Pada gapura ada sebuah sengkalan yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang diperkirakan sebagai angka tahun 1378 saka atau 1456 Masehi.



Kami berdua memutuskan untuk turun gunung setelah berhasil mengisi perut dengan sarapan yang teramat spesial yaitu soto ayam Mbok Yem yang sudah melegenda. Sebenarnya saya dan Bandon masih penasaran dengan spot-spot sakral yang ada di Gunung Lawu, namun karena ketidak tahuan kami sekaligus tak ada narasumber yang bisa memberi informasi yang akurat yasudah kami putuskan untuk menuntaskan misi tersebut di kemudian hari sekaligus mencoba jalur pendakian Lawu via candi Cetho yang katanya lumayan ajib pemandangannya.

Oiya cerita pendakian malam hari sebelumnya ada di sini nih (klik) 

Setelah perut terisi kami keluar dari pondokan pendaki Warung Mbok Yem, kami mulai turun gunung. Sempat berhenti sejenak di hamparan sabana yang tengah mengering di bawah Hargo Dumilah. Terlihat sangat menakjubkan, ada yang bilang saat saya meng-up load fotonya di instagram dikatakan sangat mirip dengan sabananya Rinjani.

Sabana mengering eksotis

Bandon di tengah rerimbunan rumput kering sabana

Lanjut jalan lagi kami sampai di keramaian Sendhang Drajad yang belum berkurang sedari pagi tadi saat kami melintasinya. Masih ada saja yang menunggu dengan sabar tetes demi tetes air yang keluar dari sendhang yang kala itu masih enggan mengeluarkan airnya, efek kemarau kemarin mungkin.


Berjalan langkah demi langkah lagi, kami sampai di Pos 5 yang mulai ditinggalkan oleh para pendaki. Tenda-tenda pun sudah mulai sepi karena memang panas matahari sudah sangat membara. Bandon yang kepingin foto-foto di puncak bukit kecil di dekat Pos 5 pun saya tunggui dulu, lama kelamaan saya kepengen juga foto disitu. Ternyata keren juga view-nya.

Pos 5

Bukit kecil dekat Pos 5

Bandon di puncak bukit

Mulai banyak pendaki yang mulai turun. Tak jarang kejadian ngantre terulang lagi, harus sabar dan jangan terburu-buru karena jika saling senggol kalau kebablasan bisa fatal juga akibatnya, di satu sisinya jurang dalem menn.

Singkat cerita Pos 4 sudah terlewati dengan sempurna. Nah, di tengah perjalanan kami menuju Pos 3, mulai lah terjadi satu kejadian yang membuat saya kebingungan setengah mati, hal aneh dengan tanda tanya besar. Sebenarnya sedari awal hingga sampai di warung Mbok Yem kami mendaki sering berjalan berdampingan dan tak jarang juga jarak antara kami terpisah sedikit agak jauh, namun tak sampai seperti kejadian yang kami alami di perjalanan turun setelah Pos 4 terlewati tersebut.

Awalnya saya berniat rehat sejenak di bawah pohon yang lumayan rimbun dan menyuruh Bandon jalan duluan. Tak tahu berapa lama saya rebahan di bawah pohon tersebut seorang diri tapi sekiranya tak sampai tertidur lah yaa. Setelah itu saya susul bandon yang sudah berjalan duluan di depan. Saya pun agak mempercepat langkah dengan diselingi berlari kecil untuk mengejar ketertinggalan. Sedari naik sudah berjalan bareng dan setidaknya speed jalan Bandon sudah saya hafalkan. Dengan saya agak berlari tersebut saya harapkan bisa saya susul. Ternyata apa yang saya harapkan tak terwujud begitu saja. Dalam hati saya berkata, “kok tumben cepet banget tu anak jalannya…” seperti yang saya bilang tadi kalau speed Bandon sudah saya pahami dan dengan kecepatan langkah saya yang sudah saya tingkatkan beberapa kali lipat saya perkirakan bisa tersusul, tapi ternyata kok Bandon nggak keliatan juga batang hidungnya. Pos 3 saya lewati saja karena disitu tak saya temukan Bandon, pikir saya “Wah tega banget tu anak ninggalin saya begitu saja, kebelet kali ya pengen cepet-cepet sampe basecamp…”



Ada sesuatu yang berbeda di pendakian kali ini. Disamping karena mendaki di tengah malam, perjalanan menuju puncak Gunung Lawu pada 5 November 2013 ini bertepatan dengan pergantian tahun dalam kalender Islam. Orang Jawa bilang malam satu Suro. Cukup mendatangkan tantangan tersendiri selain karena momen yang termasuk disakralkan, pendakian kali itu juga kami lakukan di salah satu gunung yang termasuk deretan teratas gunung yang masih kental aura mistisnya. Perpaduan yang sungguh pas bukan…

Hal itu mantap saya dan Bandon rencanakan karena kami tahu memang di waktu tersebut Gunung Lawu sedang ramai-ramainya dikunjungi. Berbeda cerita jikalau kami tahu kalau di malam satu Suro tersebut hanya kami berdua saja yang mendaki Lawu, tentu kami bakal berpikir berulang kali dulu.

Rencananya sih kami mau tek tok saja tanpa ngecamp, tapi karena pengalaman pendakian tek tok Gunung Ungaran seminggu yang lalu yang berujung dengan pakaian basah kuyup karena hujan yang setia mengiringi perjalanan menuju puncaknya, jadi kami memutuskan tetap membawa tenda untuk sekedar jaga-jaga saja.

Singkat cerita kami yang masih berstatus pegawai diperbantukan pada instansi di bawah Kemenkeu harus menunggu jam 17.00 untuk memperoleh kebebasan waktu, setelah itu baru kami bisa memfokuskan pikiran ke rencana pendakian. Meski lelah, saya yang baru pulang langsung bergegas mengepack perbekalan pendakian. Setelah itu barulah menuju rumah Bandon di Karanganyar. 

Selepas Isya’ saya mulai memacu motor untuk menuju Karanganyar. Cukup jauh juga jaraknya, apalagi jalanan sudah mulai gelap. Apa boleh buat... Harus sedikit mengajak tubuh untuk bekerja lebih demi satu momen tersebut, karena waktu luang bagi saya memang sekarang benar-benar sulit untuk dicari.

Cukup santai memacu motor hingga terpaksa berhenti sejenak untuk memakai jas hujan ketika melintasi jalanan sebelum masuk Kota Boyolali. Hujan deras seketika turun dengan lebatnya. Dari situ mulailah kehilangan sedikit harapan untuk mendaki Lawu tanpa bertemu sang hujan. Pengalaman pendakian seminggu lalu membuat saya sedikit was-was bakal terjadi hal yang sama. Ga enak banget kalau mendaki basah-basahan, jadi ga bisa menikmati pendakian gitu lho. Apalagi kalau sepatu sampai basah, duh super gak nyaman. Positif thinking saja lah semua bakal baik-baik saja. 

Keluar Boyolali, hujan mulai reda. Sepertinya hanya hujan lokal saja nih. Barulah sekitar jam 10 malam saya sampai di rumah Bandon. Istirahat sebentar sambil ngeteh hangat, lalu kami pun bergegas menuju basecamp pendakian Lawu. Kali ini kami memilih Cemoro Sewu sebagai jalur pendakian yang kami pakai. Selain karena lebih singkat, di jalur itu biasanya lebih ramai pendaki maupun penduduk sekitar yang melakukan kegiatan adat.

Benar saja, begitu kami sampai di basecamp Cemoro Sewu, lautan manusia memenuhi jalanan dan warung-warung yang ada disana. Kami pun sempat kebingungan mencari lokasi parkir karena memang semuanya penuh. Namun akhirnya kami menemukan area parkir yang masih bisa menampung motor kami meski harus berjalan beberapa meter dari gerbang pendakian. Dari yang kami lihat saat melewati jalanan menuju basecamp, ternyata Cemoro Sewu memang lebih ramai dari pada Cemoro Kandhang yang juga sama-sama merupakan jalur pendakian Lawu.

Setelah motor dipastikan aman, kami pun menuju gerbang pendakian untuk mengurus perijinan dan administrasi. Biaya administrasinya cukup Rp 7.500,- saja perorangnya. Sebelum memulai pendakian kami pun berdoa. Barulah sekitar jam setengah 12.00-an malam menuju pergantian hari Rabu kami mulai mendaki. Di sekitaran gerbang pendakian sudah banyak tenda yang didirikan. Mungkin mereka cuma ngecamp disitu tanpa muncak atau mungkin juga hanya istirahat sejenak sebelum meneruskan mendaki ke puncak. Bisa dipastikan malam itu Cemoro Sewu rame banget, saking ramenya saat mendaki kita tak akan berjalan satu rombongan sendirian saja, pasti di depan maupun di belakang ada saja rombongan lain yang juga mendaki.

Setelah Pos 1 kami lewati, barulah satu hal mistis kami temui. Ada seorang cewek di depan kami yang kesurupan mennn. Ngigau-ngigau, teriak-teriak, muntah-muntah gitu. Ngigaunya dibilang nggak jelas juga enggak, tapi jelas juga nggak jelas-jelas banget. Ada satu kalimat yang saya tangkap dari igauannya.

“Dendame sunan kudu dibuang dhisik…”

Berkali-kali kalimat itu terlontar dari mulut cewek yang kesurupan itu. Sepertinya hanya kesurupan sebagian karena dia sempat tersadar, namun tak lama kemudian dia kehilangan kesadaran lagi berubah menjadi sosok yang berbeda. Kami berdua yang berjalan di belakangnya pun terpaksa ngerem mendadak dan duduk-duduk dulu sembari menunggu kondisi menjadi aman terkendali lagi. Tapi setelah menunggu beberapa saat kok tidak menunjukkan satu kemajuan. Teman-teman sang cewek itu terkesan tenang-tenang saja seolah menganggap kejadian tersebut memang wajar terjadi pada sang cewek. Bandon pun juga sempat berkata kalau memang cewek itu punya semacam indra keenam yang dengan itu ia bisa dengan mudah menjadi perantara atau mediator alam lain. Wallahualam…

Lama ditunggu tapi tak menunjukkan satu kemajuan, akhirnya kami berdua memutuskan untuk mendahuluinya. Tapi…. Aku takuuttt…. Haha… enggak dink. Kami berdua memberanikan diri, entah ntar dicegat atau pun enggak pasrah saja.
Kami berjalan pelan-pelan, tak lupa baca alfatihah, dannnn kami pun berhasil mendahuluinya.

Kami melanjutkan berjalan menapaki jalur pendakian yang didominasi batu terjal yang menanjak tersebut perlahan-lahan karena di sisi kanan dan kiri mulai banyak pendaki-pendaki yang tiduran di pinggir jalur pendakian. Kalau gak melihat dengan seksama bisa-bisa pas kita jalan mereka bisa terinjak tuh karena saking berserakannya pendaki yang tiduran di jalur pendakian.

Tak terasa satu per satu pos yang ada berhasil kami lewati dengan lancar. Hingga akhirnya sampai di Pos 4 dengan tanah berkapur putih nya. Rasanya tubuh ini sebenarnya ingin segera direhatkan karena letih dan kantuk yang perlahan makin bertambah intensitasnya, namun kami memutuskan lanjut saja berjalan hingga Pos 5 karena jaraknya nggak terlalu jauh dari pos sebelumnya. 

Langit di sisi timur sudah mulai menyala tanda pagi mulai menjelang, kami pun mencukupkan menikmati pemandangan sunrise hanya di Pos 5 saja, tak perlu sampai ke Puncaknya dulu. Toh tempatnya cukup terbuka dan lumayan strategis.

Menikmati matahari terbit di Puncak Lawu, Hargo Dumilah, memang sudah pernah saya lakukan beberapa bulan sebelumnya. Cerita pendakian pertama bisa dibaca disini nih (klik). Sehingga selain keadaan yang memaksa kami untuk menikmati sunrise di Pos 5, disisi lain saya juga ingin menikmati matahari terbit Gunung Lawu dari sisi yang berbeda.

Sepertinya kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat mendirikan camp. Gimana nggak kesulitan coba, sudah ada puluhan tenda yang didirikan disana ditambah ada sebuah warung dadakan lagi. Warungnya luar biasa lho… Seperti warung-warung yang ada di tiap pos Gunung Lawu sebelumnya yang sekaligus menyediakan pondokan bagi pendaki untuk beristirahat atau pun tiduran, di Pos 5 pun ada. Mungkin karena bertepatan dengan malem satu Suro kali ya. Biasanya sih cuman ada di Pos 1, namun kali ini kalau dihitung-hitung yang tidak ada warungnya hanya di Pos 4 saja, karena memang tempatnya nggak begitu luas.

Setelah berjuang dengan menahan angin ekstra kencang yang membawa hawa super dingin di Pos 5, akhirnya kami mendapat lokasi mendirikan camp yang tepat meski tak begitu sempurna. Agak miring, nggak rata, cukup tertutup sih, yah gimana lagi emang sudah penuh. Karena dikejar waktu yang terus berjalan seiring dengan langit yang mulai menguning, saya pun meninggalkan sejenak acara mendirikan tenda dan menuju tempat yang pas untuk memotret keindahan sunrise Gunung Lawu.

kerlap-kerlip Kota Magetan dikala fajar

menjelang munculnya mentari

Bandon menatap sang mentari

begitu indah

Beberapa jepretan sunrise indah sudah didapat, kami lanjutkan dengan menunaikan kewajiban untuk sholat Subuh sebelum matahari semakin meninggi. Sehabis itu barulah kita menikmati lagi sunrise dengan leluasa.




Travelling without Phothography is like Romeo without Juliet, dalam versi bahasa kita boleh dibilang kalau jalan-jalan tanpa poto-poto itu seperti Rama yang kehilangan Shinta. Saking lengketnya kaya perangko, kedua hal tersebut bisa-bisa membuat seseorang yang sudah “OTW” alias sudah di tengah perjalanan dan tersadar kalau kamera kesayangan tertinggal di rumah, tak jarang yang rela balik lagi untuk mengambil gadget penangkap gambar tersebut.

Senada dengan saya dan kedua teman semasa SMA dulu, Angga dan Meykke, yang berencana berburu keeksotisan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang masih berdiri kokoh di suatu daerah bernama Ambarawa. Bangunan tersebut memang sering digunakan kawula muda untuk sekedar berfoto-foto, bahkan tak jarang banyak pula calon pengantin memilih lokasi ini sebagai latar untuk foto prewedding mereka karena suasana di tempat tersebut yang terkesan berbeda. Bisa jadi yang menjadi daya tarik adalah suasana klasiknya atau mungkin malah kesan horornya yang dicari. Memang yang namanya bangunan peninggalan jaman baheula (dahulu red.), terkadang menyisakan cerita-cerita berbau mistis yang menjadi topik perbincangan yang santer terdengar di masyarakat sekitar. Bangunan yang juga menarik minat kami untuk sedikit banyak mengisi memori kamera tersebut dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan Benteng Pendem. Namun benteng itu sejatinya bernama Benteng Willem I karena dibangun untuk didedikasikan kepada raja Balanda yang pertama yaitu King Willem atau Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau (1772-1843). 

Lalu kenapa kok namanya Benteng Willem I, berarti ada Benteng Willem II, III, dan seterusnya dong??? Ntar yaa, kita bahas yang Benteng nomer wahid dulu…

Rekaman Sejarah di Ambarawa

Kalau ditanya tentang lokasi berdirinya benteng tersebut, pernahkah teman-teman mendengar nama Ambarawa???
Mungkin saja pernah atau bisa jadi masih terdengar asing di telinga. Tapi bagi masyarakat Jawa Tengah saya kira sudah familiar lah ya dengan nama tersebut. Bagaimana tidak, daerah tersebut sudah selayaknya kota yang memiliki seribu catatan sejarah yang pernah terukir terkait dengan masa kolonialisme. 
Peristiwa penting dan paling terkenal yang pernah terjadi di tempat ini adalah Pertempuran Palagan Ambarawa selama empat hari melawan tentara NICA yang berakhir pada tanggal 15 Desember 1945 pukul 17.30 dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa kembali, sekutu pun dibuat mundur ke Semarang. Kemenangan pertempuran tersebut sekarang diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan hari berakhirnya pertempuran sengit itu diperingati sebagai Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

Ambarawa merupakan titik strategis antara Semarang dan Surakarta ketika VOC berkuasa di Jawa Tengah sekitar 1840an. Pada rentang waktu tersebut, VOC sempat membangun beberapa benteng di sepanjang jalur Semarang-Ungaran sampai Salatiga hingga Surakarta. Pembangunan itu dimaksudkan untuk pengembangan relasi dengan Kerajaan Mataram. Barak-barak militer pun dibangun di kota-kota yang dilalui, termasuk Ambarawa. Daerah yang berada di tepi Rawa Pening tersebut merupakan kota kecamatan yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Semarang.



Satu kata yang saya rasa pantas disandangkan pada satu kegiatan yang dilakukan untuk menemukan harta karun dalam bentuk keindahan alam yang tersembunyi yaitu “BLUSUKAN”. Hal itu pula lah yang saya, Angga, dan Meykke lakukan dalam rangkaian perburuan kami mencari keindahan alam di sekitaran Banyubiru di hari Selasa, 30 April 2013 ini. Kami bertiga yang merupakan teman sewaktu SMA baru-baru ini juga pernah melakukan pendakian bareng ke Gunung Andong. Pendakian  kala itu sebenarnya dilakuakan berempat ditambah dengan Agam, namun dalam trip kali ini dia tidak ikut serta karena masih disibukkan dengan skripsinya. 

Perjalanan yang saya lebih suka menyebutnya sebagai ekspedisi ini sebenarnya merupakan rangkaian perjalanan setelah melakukan hunting poto-poto narsis di Benteng Pendem “Willem I” di Ambarawa.

Blusukan kali ini awalnya hanya tertuju pada satu candi di pinggiran Rawa Pening yang juga sempat saya kunjungi sendirian beberapa waktu yang lalu, tapi karena Angga dan Meykke merasa penasaran dengan keeksotisan candi peninggalan Prabu Brawijaya Pamungkas itu akhirnya mendorong saya untuk kembali ke tempat tersebut.

Segera lah kami tancap gas menuju lokasi Candi Dukuh berada, tepatnya di Desa Rowoboni dekat objek wisata Bukit Cinta. Dalam perjalanan menuju destinasi tersebut saya tak melulu menghadap mengarah ke depan layaknya pengendara motor kebanyakan, saya yang tergiur dengan keindahan alam di sekitaran Jalan Raya Banyubiru seakan pengen punya mata di setiap sisi kepala. Selama perjalanan itu saya habiskan dengan jelalatan menikmati keindahan Banyubiru yang didominasi dengan persawahan dan perbukitan yang menjulang tinggi. Sawah-sawah yang tergenang air irigasi menciptakan keindahan tersendiri dengan refleksi yang berpadu dengan bayang-bayang perbukitan di permukaannya.


Pemandangan yang awalnya persawahan pun segera berganti dengan pemukiman-pemukiman penduduk desa yang mulai berbenah hampir meyerupai perkotaan. Mata ini pun belum terdorong untuk berkonsentrasi memandang ke arah depan, masih saja asik dengan berjelalatan ria. Angga dan Meykke yang berboncengan di depan saya terasa sangat cepat melaju hingga jarak antara kami tak disadari makin menjauh. Mungkin mereka sudah tak sabar lagi untuk segera sampai di Candi Dukuh, atau malah karena perut mereka sudah keroncongan pengen segera mencicipi pecel keongnya Mbak Tun di depan Pemandian Muncul hingga mereka memacu motor secepat itu.

Mata saya yang jelalatan pun akhirnya mendatangkan berkah hasil. Saya melihat satu papan petunjuk di ujung pertigaan Banyubiru yang bertuliskan “Air Terjun Kembar BALADEWA”. Dua teman saya yang sudah melaju jauh akhirnya saya susul dan saya beri tahu kalau di pertigaan tadi ada petunjuk menuju suatu air terjun. Tanpa pikir panjang, mereka berdua pun tertarik dan kami segera berbalik arah menuju pertigaan Banyubiru tadi.

Objek Wisata tersebut rasanya masih asing di telinga saya. Beberapa kali melewati pertigaan tersebut rasanya baru kali itu melihat papan petunjuk tersebut. Dari segi warna dan bentuk papan yang terlihat masih kinclong, saya kira memang baru saja dipasang. Berarti pula air terjun kembar tersebut masih belum banyak dikunjungi orang.

Menuju Curug Kembar Baladewa


Kami masuk gapura dan melaju terus hingga kami sampai di tempat pemecahan batu-batu. Khawatir tersasar karena keterbatasan petunjuk mengenai lokasi air terjun itu, kami pun bertanya pada ibu-ibu di dekat tempat pemecahan batu tersebut. Ternyata kami kebablasan dan jalan sebenarnya adalah berbelok di gapura kedua. Gapura ini berada di sebelah kanan jalan tengah desa. 

Setelah melewati gapura tersebut kami kira tak perlu memacu motor terlalu jauh lagi, namun ternyata hingga menanjaki perbukitan tinggi kami belum juga sampai.
Makin lama jalanan makin menanjak dan menjauhi peradaban penduduk. Jalan saat itu sudah cukup mulus semulus paha ceribel dengan aspal yang tampak masih belum terlalu lama dibangun. Rawa Pening pun makin cantik dan tampak sangat-sangat luas banget dari jalanan menanjak tersebut. Cuaca yang cerah sangat mendukung ekspedisi kami hari itu sehingga semangat kami tetap menggebu hingga menemukan lokasi curug kembar itu berada.

Kami merasa semakin “mblusuk” atau mengarah makin pelosok saja yang ditunjang dengan suasana yang makin sepi dan makin menuju puncak bukit yang rimbun. Hingga akhirnya kami berpapasan dengan seorang ibu muda yang siap menuruni bukit untuk berladang. Kami pun berhenti sejenak untuk menanyakan kebenaran lokasi air terjun yang ingin kami tuju. Ibu itu pun berkata bahwa Desa Wirogomo tempat curug kembar itu bersemayam masih dua kilo meter lagi. Walau ibu itu terkesan tidak mantap menyebutkan jarak yang masih harus kami tempuh, tapi kami percaya saja karena ibu itu juga menerangkan kalau kami hanya perlu mengikuti jalan berasapal itu saja.

Makin jauh kami melaju makin indah pula pemandangan yang terlihat. Sudah ribuan beberapa kilo jalan yang telah kami tempuh, tapi penampakan air terjun masih belum ada tanda-tandanya. Keberadaan peradaban sudah mulai terlihat dengan kami temukannya sebuah desa, namun jalanan yang awalnya mulus berubah menjadi ngetrek. Masih beraspal memang, tapi aspalnya udah mulai soak alias terkelupas hingga kerikil kerakal dan semacamnya bertebaran menghiasi jalanan saat itu. Memastikan berapa jauh lagi jalan yang harus kami tempuh, Meike pun turun untuk menanyakannya pada seorang ibu yang sedang tidur-tiduran di teras rumahnya yang agak sedikit berada di atas. Ternyata dari rumah ibu itu yang sedikit berada di tanjakan, sudah mulai terlihat penampakan curug kembar yang kami maksud. Benar sih sudah terlihat, tapi masih tampak kecil dan rasanya masih sangat jauh. Kami langsung bergegas memacu motor tangguh kami menuju desa Wirogomo. Dari info yang kami dapat saat Meykke bertanya pada ibu tadi, jalan yang harus kami ambil adalah yang lempeng-lempeng saja, jangan mengambil jalan yang menanjak. Ohhh, berarti naik-naik ke puncak bukitnya sudah habis dong…!!! Yeyeyey….

Yap, akhirnya gerbang lokasi air terjun sudah terlihat. Kami pun masuk dengan leluasa karena hanya kami pengunjung saat itu yang datang, selain beberapa pekerja penggergaji kayu yang sedang duduk leyeh-leyeh di dekat gapura air terjun. Sepinya pengunjung disamping mungkin karena masih minimnya informasi yang menjelaskan keberadaan Curug Baladewa tersebut, hari itu juga bukan merupakan hari libur sehingga hanya kami bertiga saja yang hari itu mengunjunginya. 

Oiya, kami saat itu masuk ke lokasi air terjun tanpa merogoh kocek sepeser pun alias gratis. Tempat petugas tiket sebenarnya sudah ada, tapi tidak ada yang jaga. Fasilitas di sekitar tempat parkir sudah cukup lengkap dengan adanya warung dan kamar mandi yang baru selesai dibangun.

Gapura Desa Wirogomo 

Gapura Menuju Air Terjun Kembar Baladewa

Usai memarkirkan motor dan memastikannya aman, kami segera memulai trekking mendekati curug kembar Bolodewo bersemayam. Dari lokasi parkir ternyata kami masih harus berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir sawah sejauh 400m. Ada beberapa percabangan di jalan setapak yang kami lalui, untung saja ada bapak-bapak penggergaji kayu yang berjalan di belakang kami. Di percabangan pertama bapak itu mengarahkan kami untuk ambil jalan yang ke kiri. 

Tak lama kemudian kami temui sungai kecil jalur irigasi sawah yang airnya sangat jernih, mungkin berasal dari aliran air terjunnya. Kami berjalan menyusuri jalur irigasi tersebut yang sudah disemen. Sampai di ujung kami masih harus jalan terus sampai kami menyebrangi sungai kecil. Jalan setapak itu makin berat saat bertemu dengan trek yang dipenuhi dengan lumpur.


Tak berapa lama berjalan, kami menemui aliran sungai lain yang juga harus kami seberangi. Setelah menyeberangi sungai dan trekking beberapa langkah akhirnya kami temukan air terjunnya. Alirannya tak terlalu deras namun cukup tinggi. Aliran air terjun tersebut jatuh di sebuah penampungan dan mengalir menuruni teras-teras yang menciptakan keindahan tersendiri.


Tak bisa kita lupakan begitu saja jika sebelum negara kita ini berdiri dan menjadi kesatuan seperti sekarang, terdapat banyak negara-negara kecil yang berdiri di wilayah nusantara dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang memiliki latar belakang sejarah masing-masing, seperti contohnya Majapahit, Singosari, Mataram, Sriwijaya, Demak dan masih banyak lagi tentunya. Saya jadi ingat masa-masa SD dulu yang berusaha menghafal nama raja-raja yang memimpin tiap kerajaan yang menurut saya cukup menguras otak untuk melakukannya. Namun sekarang malah ingatan masa SD tersebut luntur sedikit demi sedikit  tertimbun satu demi satu masalah kehidupan  hehe *-*, padahal dulu sempat hafal lho…
Tak apalah jika ingatan pelajaran sejarah semasa SD sedikit luntur, namun semangat untuk mencintai sejarah masih menggebu-gebu dalam lubuk hati. Rasa penasaran terhadap peninggalan-peningglan sejarah selalu muncul di pikiran saya. Selalu saja jika keluar rumah dan pergi ke tempat baru saya berusaha mencari-cari ada apa saja yang menarik di tempat tersebut.
Sebenarnya sangat banyak peninggalan sejarah yang belum tereksplor dan banyak diketahui masyarakat luas. Peninggalan sejarah yang baru-baru ini saya kunjungi tepatnya pada hari Rabu, 17 April 2013 adalah Candi Klero yang belum terlalu dikenal dan sering dikunjungi. Nama candi ini mencerminkan letaknya yang berada di Desa Klero, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang yang berlokasi hampir mendekati Kabupaten Boyolali. Candi ini berada di pinggir timur Dusun Ngentak–Klero yang membuat kita harus jeli melihat petunjuk yang ada di pinggir jalan. Saya mengetahui letak candi ini memang dari papan petunjuk yang berada di pinggir jalan Salatiga-Solo.
Saya sih melihat petunjuk letak candi itu sudah dari dulu-dulu. Setiap melakukan perjalanan ke Solo atau Klaten selalu saya lihat, namun baru kemarin itu saya berkesempatan menyambangi Candi Klero. Sebelumnya penasaran juga sih bagaimana bentuk dan seberapa terawat candi tersebut. Setelah melihat Candi Dukuh yang ada di tepi Rawa Pening dan Candi Ngempon yang ada di tengah padatnya perindustrian Kecamatan Bergas beberapa waktu yang lalu akhirnya saya bisa melihat secara langsung kemegahan Candi Klero.


Perjalanan menuju Kota Semarang di suatu pagi membawa saya mlipir dulu ke satu klenteng yang terkenal di kota tersebut yaitu Klenteng Sam Poo Kong. Tempat ini menarik hati saya untuk mengunjunginya karena mungkin tempat ini juga sudah menjadi icon Semarang selain Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Gereja Blenduknya. Klenteng ini dibangun sebagai penanda pernah singgahnya seorang penjelajah lautan yang sangat pemberani dari China yaitu Laksamana Cheng Ho. Sebenarnya sih tujuan ke Semarang saat itu untuk menikmati suasana jadul Kota Lama Semarang, tapi karena masih pagi yaa gak ada salahnya menikmati suasana negeri “tirai bambu” dulu di salah satu sudut Kota Semarang. Bermodal pengetahuan mengenai Kota Semarang yang pas-pasan dan mengingat kembali memori perjalanan bolak balik Salatiga Semarang saat geladi dari kampus tahun lalu, saya akhirnya bisa menemukan lokasi tempat ini berada. Sebelumnya saya pernah mendengar dari seorang teman yang asli dari Semarang kalau mau ke Klenteng Sam Po Kong lewat di pertigaan depan RS Kariadi ambil ke kanan kalau dari Tugu Muda. Tapi hanya itu saja yang saya tahu, tidak lebih.


Pada tanggal 20 Februari 2013 lalu saya sempatkan mengunjungi klenteng tersebut sebelum ke “Kota Lama” dengan berbelok di pertigaan depan RS Kariadi. Setelah itu saya masih harus tengok kanan dan kiri karena belum begitu tahu persis lokasinya berada. 
Beberapa menit memacu motor dan melewati satu jembatan dengan sungai dibawahnya yang lumayan besar, mulai terlihatlah bangunan dengan ornamen merah-merah di kejauhan. Benar saja, itulah klenteng yang saya cari, Klenteng Sam Poo Kong.
Klenteng tersebut mengingatkan saya pada satu masjid di Pandaan, Kab. Pasuruan yang sempat saya datangi sewaktu mau ke Gunung Bromo. Masjid itu benama Masjid Muhammad Cheng Hoo yang memiliki arsitektur akulturasi antara kebudayaan Tiong Hoa dan nuansa Islam. Sejarah masjid yang diresmikan pada 27 Juni 2008 itu oleh Bupati Pasuruan H. Jusbakir Aldjufri, S.H, M.M belum sempat saya ketahui. Apakah memang ada hubungannya dengan singgahnya Cheng Hoo di daerah tersebut atau bagaimana masih menjadi tanda tanya bagi saya. Mungkin ada teman-teman yang tahu? boleh dishare dong.....!!!

di depan Masjid Muhammad Cheng Hoo

Masjid yang hampir serupa dengan klenteng




Ibarat zat adiktif yang bisa menyebabkan candu bagi siapa saja yang mencobanya, naik gunung juga demikian. Bisa saja orang yang benar-benar anti dengan yang namanya naik gunung, namun jika satu hari diajak melakukan kegiatan outdoor yang terhitung perlu nyali besar ini dan akhirnya bisa mendaki sampai puncak lalu melihatlah dia di sekeliling puncak dengan keagungan ciptaan-Nya niscaya candu sedikit demi sedikit akan merasuk dalam dirinya. Selain itu rasa puas juga akan sangat terasa saat mampu mencapai tingginya puncak gunung dengan kaki dan usaha sendiri. 
Itulah sebabnya para pendaki kebanyakan tidak akan berhenti hanya di satu puncak gunung saja, pasti ada keinginan untuk terus menjelajahi  gunung-gunung lainnya yang memiliki tantangan dan keindahannya masing-masing.

Setelah beberapa kali sampai di puncak gunung, rasa untuk menjelajahi gunung-gunung yang lain masih menggelayuti pikiran saya. Tak bosan untuk mencari kesempatan untuk mendaki lagi dan lagi. Ketemulah saya dengan satu kesempatan dimana bertepatan dengan tanggal merah yaitu pada 29 Maret 2013 ini. Setelah kesempatan tersedia kemudian dirasa masih ada yang kurang kalau mendaki tanpa kawan. Maka saya ajaklah Vandi, teman SMA yang juga pernah ngetrip bareng ke Baluran dan Kawah Ijen. 
Awalnya sih saya menawarkan untuk mendaki Gunung Sumbing (3.371 mdpl) di Wonosobo bareng dengan salah satu forum backpacker namun kami masih pikir-pikir dulu. Pilihan kedua sebagai plan B jatuh  pada satu gunung di perbatasan Jateng dan Jatim yaitu Gunung Lawu (3.265 mdpl).

Puncak Lawu "Hargo Dumilah" 3.265 mdpl
Beberapa hari berlalu masih belum bisa mengambil keputusan untuk mendaki Gunung Sumbing atau Lawu. Hingga sehari sebelum hari H barulah fix diambillah keputusan untuk mendaki Gunung Lawu saja karena beberapa pertimbangan. Selain jarak yang lebih dekat dengan Salatiga, lagi pula Vandi sedang ada di Solo saat itu. 
Dirasa sangat nggak rame jika mendaki gunung hanya berdua saja, maka diajaklah Wawan yang juga teman satu SMA untuk join di pendakian ini. Setelah mantap dengan persiapan seadanya kami pun tinggal menunggu jam keberangkatan.

Hal yang tak biasa memang jika pendakian dilakukan tanpa persiapan yang mantap, karena kita bahwa alam sulit diprediksi. Tapi jika berbekal niat serta restu orang tua dan juga informasi yang memadai mengenai tujuan, tentu akan lebih memberi jaminan keselamatan. Persiapan yang paling seadanya pada pendakian kali ini adalah rencana kami yang pengen ngecamp semalam di Lawu namun tanpa membawa tenda. 
Gimana bisa yaa mau ngecamp kok gak bawa tenda??? 
Apa nanti tidurnya beratapkan langit berbintang dan beralaskan tanah???   Ohhh, tentu tidak…..!!!

Banyak orang sudah tahu bahwa negara kita ini merupakan negara bekas jajahan bangsa-bangsa yang kala itu sudah maju seperti Spanyol pada tahun 1.521 yang pertama kali merapat di Sulawesi Utara dan mendirikan pos-pos di Manado pada tahun 1.560. Berakhir pada tahun 1.692 dengan diusirnya mereka dari dari tanah Minahasa. Di bagian lain Indonesia dimulailah zaman penjajahan Portugis pada tahun 1.509 yang mendarat di Malaka dan berakhir pada tahun 1.595 dengan ditariknya pasukan Portugis seiring masukya orang-orang Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman yang berniat memonopoli perdagangan di Indonesia.
Kolonialisasi Belanda di Indonesia merupakan kolonialisme yang benar-benar kolonialisme karena diperkirakan mencapai 350 tahun. Tapi tidak seluruh wilayah di Indonesia yang dijajahnya, melainkan hanya wilayah yang berada di beberapa wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua saja.  
Lepas dari masa penjajahan Belanda di akhir abad ke-19 penjajahan di tanah air belum usai. Masih ada lagi masa pendudukan Jepang pasca Perang Dunia kedua yang juga membangkitkan semangat untuk merdeka bagi Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia sudah terlepas dari cengkraman Belanda yang menindas bangsa Indonesia. Bahkan pada tahun 1942, Jepang menjanjikan pemerintahan bagi Indonesia apabila Indonesia bersedia membantu Jepang. Namun demikian para golongan muda tidak sabar lagi untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, sepulangnya Soekarno dan Hatta ke Indonesia para golongan muda merencanakan penculikan kepada Soekarno dan Hatta untuk secepat mungkin mendeklarasikan kemerdekaan dan akhirnya mereka dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia dinyatakan MERDEKA…!!!
Masa penjajahan memang membuat rakyat Indonesia menderita dan kehilangan kebebasannya di negeri sendiri. Bagaimana bisa di tanah air kelahiran malah seperti menjadi budak orang asing yang baru saja menginjak Indonesia melaui berbagai kerja atau pun tanam paksa.

“I become a volunteer in Indonesia because of the rich culture & social live, so I choose Indonesia not the other countries”. Itulah yang dikatakan Merry, perempuan asal Perancis yang kebetulan menjadi sukarelawan di SD Getasan 3 yang juga sekolah tempat ibu saya mengajar. Tentu saja yang dikatakanya tersebut sangat membuat saya bangga menjadi salah satu bagian dari negara ini. 
Setelah beberapa hari Merry dan sukarelawan lain yang juga berasal dari luar negeri seperti Taiwan dan Jepang mengabdikan diri di sekolah tersebut,  guru-guru dari SD Getasan 3 mengajak mereka untuk menikmati keindahan Indonesia. Kali ini mereka akan ditunjukkan dengan betapa Indonesia itu sangat menjaga tradisi dan kebudayaan yang diturunkan dari nenek moyang dengan menonton pertunjukan Tari Topeng Ayu di Desa Ngrawan Kecamatan Getasan, Kab. Semarang. Desa tersebut bisa dijangkau dengan mudah dari Jalan Raya Salatiga-Kopeng belok kanan di pertigaan mini pom bensin Salaran sekitar 3 km. Jalan menuju Desa Ngrawan ini sejalur dengan jalan menuju Objek Wisata Air terjun Kali Pancur. 


Saat kami mulai memasuki desa tersebut, atribut-atribut kesenian pun mulai terlihat dengan hiasan-hiasan tradisional dan juga ada spanduk besar yang bertuliskan "Selamat Datang di Desa Menari", dari situ saya mulai tahu ternyata desa ini mulai meng-eksiskan diri dari aspek kebudayaan.
Newer Posts Older Posts Home

kamu wisatawan ke-

Kotak Memori Perjalanan

POPULAR POSTS

  • Berkenalan dengan Argopuro, Trek Terpanjang Se-Jawa
  • Pendakian Gunung Slamet via Bambangan
  • Langkah Penuh Cerita Menuju Puncak Argopuro
  • Empat Air Terjun Ini Ada di Sekitar Salatiga-Kopeng
  • Puncak Merapi "Naik Ngesot-Turun Mrosot"
  • Memijakkan Kaki di Puncak Ciremai via Apuy
  • Misteri Dibalik Kemegahan Kraton Ratu Boko

Categories

Air Terjun 17 Alam 85 Backpacker 60 Bitung 1 Bromo 1 Budaya 25 Bukit 8 Candi 11 cerita hidup 21 Cerita Kehidupan 110 D.I. Yogyakarta 4 Danau 12 desa 27 diving 6 Ekowisata 55 Flores 3 Fotografi 100 Gunung 54 Hewan 3 Jawa Barat 4 Jawa Tengah 44 Jawa Timur 12 Karst 10 Komodo 1 Laut 18 Lombok 5 Mahameru 3 Majene 4 Makassar 23 Manado 9 Melancong 62 NTT 3 Papua Barat 1 Pendakian 42 Raja Ampat 1 Religi 8 Savana 14 Sejarah 26 Semeru 3 snorkling 6 Sulawesi Barat 7 Sulawesi Selatan 27 Sulawesi Utara 7 Taman Nasional 22 Tari 1 trekking 66 Wisata 91
COPYRIGHT ARDIYANTA. Powered by Blogger.

Copyright © 2018 ARDIYANTA -