YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com


Sudah menjadi hal wajib jika ke Waerebo untuk sekaligus menginap disana. Tentu bakal menjadi pengalaman tersendiri bisa merasakan bagaimana tinggal di salah satu "Mbaru Niang", rumah adat di desa etnik yang berada ketinggian sekitar 1.100 mdpl itu. Temen-temen mungkin bertanya-tanya juga mengenai bagaimana perijinannya, bayar berapa, dan lain-lainnya. Kalau lagi nggak pengen pusing, biasanya dari trip organizer seperti yang saat itu saya pakai sudah semua termasuk ke dalam biaya awal alias all in one. Tapi kalaupun mau kesana secara mandiri bisa juga kok. Rinciannya kira-kira seperti yang diceritakan oleh dua orang traveler yang menginap dihari yang sama dengan kami. Mereka berdua pergi ke Flores tanpa trip organizer. Tapi mereka ke pulau-pulaunya tetep pakai operator juga sih. Operator ke pulau-pulau banyak tersedia di Labuan Bajo dengan harga tegantung dengan fasilitas, durasi, dan banyak spot yang dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, barulah mereka menuju Waerebo. Singkat cerita, dari Labuan Bajo mereka naik elf ke Denge, desa terakhir sebelum trekking. Biasanya bakal sampai di Denge tengah malam, tidur sejenak di homestay, paginya sarapan, lantas memulai trekking menuju Waerebo. Untuk trekking, harus ditemani seorang guide. Tawar-menawar terlebih dahulu tentunya sekaligus nanti sang guide pula yang bakal menjadi jembatan untuk perijinan dan administrasi kepada ketua adat Waerebo. Biaya untuk guide kalau belum naik sebesar Rp 100.000,-an dan untuk semalam menginap di Mbaru Niang dikenakan biaya Rp 325.000,- sudah termasuk upacara penyambutan, kuliner tradisional, bisa mencicipi kopi khasnya yang enak banget, tempat tidur beralas tikar lengkap dengan selimut tebal, dan kamar mandi. Tersedia juga etalase souvenir, oleh-oleh, dan kopi bubuk untuk wisatawan yang pengen beli kenang-kenangan dari Waerebo.

Salah satu hal yang menarik saat mengunjungi Waerebo adalah trekking sejauh sekitar 8 km melewati jalan setapak yang juga digunakan untuk warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil bumi maupun membeli kebutuhan lain. Terbukti saat itu kami sering berpapasan dengan warga Waerebo yang turun, salah satunya membawa sebongkok kayu manis untuk dijual di pasar. Sempat juga kami berpapasan dengan salah satu ketua adat Waerebo yang juga dalam perjalanan turun untuk mengunjungi kerabat yang sudah menetap di desa lain. Bicara soal ketua adat, Waerebo dikepalai beberapa ketua adat yang bakal menyambut dan memberi sedikit wejangan ketika kita datang mengunjungi Waerebo. Sampai saat ini ada 3 ketua adat yaitu Bapak Alexander Ngadus yang lahir di Manggarai tahun 1947, Bapak Rafael Niwang yang lahir pada tahun 1927, dan juga Bapak Rofinus Nompor yang lahir pada tahun 1937. Salah satu dari mereka akan dengan ramah menyambut kita saat berkunjung ke Waerebo. Saat itu rombongan kami disambut oleh Bapak Rofinus Nompor, sedangkan dua ketua adat yang lain kebetulan sedang turun ke Denge untuk mengunjungi kerabat yang sudah tidak tinggal lagi di Waerebo.
Setidaknya ada 7 rumah adat yang berdiri dengan satu bangunan utama yang fungsinya untuk upacara adat dan penyambutan tamu bernama rumah gendang. Yap tepat, karena di dalam rumah adat utama yang juga ukurannya paling besar dan tinggi itu terdapat gendang dan beberapa properti upacara adat yang lainnya. Rumah Gendang juga dijadikan rumah hunian beberapa kepala keluarga dengan terbagi kamar-kamar dengan bagian tengah untuk tempat berkumpul dan juga dapur.
Berbeda dengan rumah gendang, para pengunjung yang datang dan menginap akan ditempatkan di salah satu rumah yang lataknya paling pinggir.

waduh, ini kok malah jadi kayak pengungsian yahhh hehe...

nge-cas smartphone adalah koentji begitu nyampe Waerebo
ngantre yah tapi

Bagian tengah rumah digunakan untuk berkumpul sambil makan, minum kopi khas Waerebo, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja sembari menunggu kantuk tiba di malam hari. Listrik sudah sampai kesini kok karena makin banyak wisatawan yang bermalam.

sumpa demi apa, kopinya "juara umum"

Kami saat itu juga sempat ada acara potong ayam juga loh. Bahkan kami sendiri yang diminta untuk memotong ayamnya. Begitu matang, saatnya makan deh. Kulinernya yang sederhana menjadi mewah ketika dinikmati bersama di dalam Mbaru Niang. Selain kopinya yang juara, sambal yang disajikan pun sangat enak dan terasa lain daripada yang lain. Ada gurih-gurihnya gitu, entah dari mana. Selain itu, bakal disajikan pula pisang dengan kulit berwarna kemerahan yang bisa menjadi teman ngopi setelah santap malam. Pokoknya sempurna lah perjalanan kali itu.
Pagi harinya, bisa dimanfaatkan untuk berkeliling sekitar dan melihat aktivitas sehari-hari warga. Pada musim tertentu bakal menjumpai kegiatan menjemur kopi tapi karena saat itu kami datang ketika musim hujan sehingga kegiatan warga yang bisa kami lihat adalah tenun menenun. Ketika sang ibu menenun, ayah pergi ke kebun, anak-anak pun bermain di halaman rumah yang berumput. Kami pun sempat bermain juga dengan anak-anak Waerebo yang pas awal-awal malu-malu gitu, tapi lama-kelamaan mereka bisa ketawa ketiwi juga sama kami.













Sungguh luar biasa kan yaaa, sampai-sampai PBB pun memberikan penghargaan bagi salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Sebagai generasi muda, kita semua bertugas untuk melestarikannya dan terus menjadi agen promosi agar Waerebo semakin mendunia.
16:57:00 2 komentar
Waerebo merupakan sebuah kampung adat yang letaknya di dataran tinggi Manggarai. Uniknya, kampung ini masih tetap menjaga tradisi dan budaya dari nenek moyang dan leluhurnya. Siapa sangka nenek moyang Waerebo malah berasal dari tanah Minangkabau bernama Empo Maro. Sang leluhur tersebut dan beberapa kerabatnya bisa sampai di Flores setelah mengarungi lautan dengan perahu layar selama beberapa waktu. Kemudian berlabuh lah mereka di Labuan Bajo, lantas mereka melanjutkan perjalanan ke arah utara menetap di satu daerah kemudian berpindah-pindah lagi ke daerah lain hingga memutuskan untuk menetap di daerah yang kini di kenal dengan Waerebo dan berketurunan disitu.


Ada apa sih di Waerebo???
Hmmm, alhamdulillah udah kesampean kesana dan asiknya lagi bisa menginap semalam di salah satu rumah adatnya. Bisa dibilang desa yang berada di ketinggian Pulau Flores itu memiliki banyak daya pikat hingga makin kesini semakin banyak wisatawan yang singgah kesana. Ditengah modernisasi seperti saat ini, mereka masih setia tinggal di pegunungan yang lumayan jauh dari pusat keramaian. Bangunan tempat tinggal mereka pun bentuk dan kondisinya masih mereka usahakan untuk jaga orisinalitasnya. Selain bangunan, cara hidup mereka pun masih sangat menjaga budaya yang diturunkan leluhurnya. Dengan segala keterbatasan yang ada, keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Upaya untuk mempertahankan warisan leluhur tersebut tak sia-sia, hingga pada 27 Agustus 2012 badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Waerebo sebagai peraih Award of Excellence pada event UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.

Menuju Waerebo

trekking diawali jalanan aspal selepas Desa Denge, desa tempat singgah sebelum menuju Waerebo

klik gambar, zoom in, dan baca yaaa...!!!

sesekali berpapasan dengan warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil alamnya

dapat teman trekking nih, ga tau namanya siapa. dia ngikutin dari tengah hutan sampai ke Waerebo

sempat juga nglewatin jembatan bambu yang bunyi-bunyi waktu dilewatin "krek krek krek"

cerita selanjutnya disini

21:46:00 2 komentar
Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau besar utama meliputi Pulau Komodo, Rinca, dan Padar disamping terdapat pulau-pulau kecil yang lainnya. Keindahan yang dimilikinya nggak hanya di daratannya, namun bawah lautnya pun memiliki keindahan dan biodiversitas flora maupun fauna yang telah mendunia kepopulerannya. Destinasi kece tersebut menjadi salah satu dream destination saya yang sudah sejak lama ingin disambangi. Siapa sih yang nggak ngiler melihat postingan-postingan para traveler yang hilir mudik di dinding Instagram yang memamerkan keindahan tempat keren ini. Finally kesampaian juga kesana meski dengan bantuan trip organizer. Lagi nggak pengen ribet aja sih sebenernya, pengen tinggal bawa badan doang. Pasalnya trip ke Komodo Flores ini menjadi rangkaian perjalanan setelah mendaki ke Gunung Argopuro yang saat itu menjadi pendakian terpanjang yang pernah saya lakukan. Pikir saya mumpung sudah di Jawa Timur kan tinggal dikit lagi buat ke Flores, ketimbang harus pulang dulu kan. Apalagi kalau sudah pulang tuh agak mager mau keluar-keluar lagi. Sekalinya keluar langsung dapet Gunung & Laut dalam satu rangkaian perjalanan itu kan lebih seru dan ekonomis. Hasilnya peralatan pendakian penuh lumpur pun ikut terbawa sampai ke NTT sana.



Setelah lebih dari setahun trip ini berlalu, baru ada hasrat buat nulis pengalamannya. Maklum lagi disibukkan sama urusan kuliah. Tapi insyaallah keseruannya masih teringat jelas dan siap untuk dishare kok. Foto-foto juga masih tersimpan rapi. Sayang aja kan kalau nggak dipamerin hehehe. Menuju bandara Juanda Surabaya sempat ada insiden hampir ketinggalan pesawat. Perjalanan dari basecamp Bremi di Probolinggo menuju Surabaya yang semula diperkirakan bakal tepat waktu, akhirnya buyar karena macet di beberapa ruas jalan. Sudah terbayang pula kalau ketinggalan pesawat menuju Denpasar, itu artinya penerbangan selanjutnya pun bakal ikut kacau. Untuk menuju ke Labuan Bajo, saya memilih untuk melakukan penerbangan ke Denpasar terlebih dulu. Banyak sih alternatif rutenya, bisa langsung bisa juga transit-transit segala macem demi mendapat harga yang paling nyaman di kantong.


Malam itu sampailah di Ngurah Rai International Airport. Masih harus nunggu sampai pagi sih untuk penerbangan ke Labuan Bajo-nya. Kalau kemarin ketinggalan pesawat pun sebenarnya masih ada waktu, tapi siapa sih yang mau nombok beli tiket lagi. Menunggu pagi, jadilah saya dan satu teman jaman SMA ngemper di bandara, yang penting ada colokan aja beres lah acara killing time-nya.

Pagi pun tiba, saatnya terbang menuju Labuan Bajo. Waktu itu lagi musim hujan memang. Saat pendakian Gunung Argopuro pun hujan senantiasa menemani sebagian besar perjalanan. Berharap saat di Taman Nasional Komodo nanti hujan nggak mendominasi hari-hari kami. Namun benar saja, begitu sampai di Labuan Bajo kami sudah disambut dengan hujan. Kami langsung diajak menuju salah satu cafe untuk istirahat sejenak sembari menunggu hujan reda. Mau gak mau hujan menjadi resiko yang harus diambil kalau kebetulan punya jadwal ngetrip bertepatan dengan musim hujan.


Bim salabim... akhirnya hujan reda dan matahari pun menampakkan cahayanya. Trip pun dimulai dengan diarahkannya kami menuju kapal yang nantinya bakal kami tinggali untuk beberapa hari kedepan. Duhhh, mabok laut ga ya 4 hari 3 malam jadi manusia laut. Kelar makan, kapal kemudian melaju ke spot demi spot yang kesemuanya ajiiiibbb.




1. Loh Buaya
Destinasi pertama yang dituju adalah Loh Buaya. Entah kenapa pake bawa-bawa buaya, padahal kan mau nengokin komodo kan yan. Letaknya di Pulau Rinca dan merupakan spot untuk melihat komodo dari jarak yang tergolong sangat dekat. Tentu kita nggak serta merta melihat komodo begitu saja. Begitu tiba di lokasi, kami disambut oleh guide lokal yang lebih tepat kalau disebut ranger yang kemudian akan menjelaskan rute trekking untuk melihat komodo secara lebih dekat. 



Ada beberapa rute trekking dan saat itu kami dipilihkan rute paling pendek karena kami sampai disana sudah terlampau sore, maklum lah tadi nungguin hujan reda dulu lumayan lama. Oiya, komodo akan menampakkan wujud nyatanya dengan terlebih dulu dipancing oleh sang ranger. Dengan senjata berupa tongkat kayu khusus dengan ujung bercabang menyerupai ketapel, ranger siap melindungi kita dan menghalau serangan komodo kalau-kalau “si komo” ngamuk dan berusaha menyerang. Udah tau kan kalau gigitan komodo sangat fatal akibatnya. Air liurnya itu loh yang berbahaya, banyak bakterinya. Okay, yang penting kalau udah didampingi ranger aman lah, tapi tetap waspada dan jangan sekali-kali membuat komodo ngamuk. Nggak lupa kami juga mengabadikan sedikit gambar dengan arahan dari bapak ranger. Waw...!!! hasilnya kami seolah-olah memegang komodo. 


View this post on Instagram

A post shared by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Mar 6, 2017 at 5:44pm PST


Komodo akan sering ditemukan di sekitar dimana dia menetas. Agresif, Tidak ada ti tempat lain di dunia ini meski ada yang mengatakan kalau asal mereka malah dari Australia karena sempat ditemukan fosil kerangka komodo yang berusia puluhan ribu tahun. Membunuh kerbau dengan gigitan mematikan, memakan bangkai lebih sering makan bangkai daripada berburu. Bisa mendeteksi bau dari bangkai sampai radius sekitar 10 km, perlu makan hanya sebulan sekali. Pencernaan lambat, berjemur, muntah sisa sisa makanan yg keras. Kanibal kalau nggak ada makanan yang tersedia di alam. Nggak segan untuk memangsa komodo kecil.

Beranjak dari kerumunan komodo di sekitaran Loh Buaya, kami lanjut trekking menaiki tanjakan menuju satu bukit dengan hanya terdapat satu pohon. Katanya sih dijuluki pohon jomblo karena saking udah terlalu lamanya sendiri (kayak sapa yaaa???). Nggak lama kami sampai di puncak bukit melihan indahnya Pulau Rinca dari atas, gelap pun tiba. Turunlah kami menuju kapal yang bersandar di dermaga dan hari pertama di atas kapal pun kami habiskan di tepian Pulau Rinca. Esok hari kami bakal berlayar menuju Pulau Padar, pulau dengan lekuk-lekuk pantainya yang unik.



02:06:00 No komentar




Daya pikat Bawakaraeng ternyata tak berhenti hanya sampai di Lembah Ramma saja. Masih ada serpihan surga yang disimpannya. Gunung yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan tersebut punya satu spot lagi yang menarik untuk dieksplor. Berbeda dengan Lembah Ramma yang lokasi memulai trekkingnya berada di Dusun Lembanna yang terletak sekitar sebelasan km setelah objek wisata Malino kalau dari pusat kota Makassar, untuk menuju spot keren ini kita perlu menuju Dusun Lengkese  terlebih dahulu untuk memulai trekking. Kalau Desa Lengkese terletak sebelum objek wisata Malino, berbelok kiri saat ketemu penunjuk Kecamatan Parigi.

Tempat menarik tersebut bernama Danau Tanralili.  Terletak di lereng Gunung Bawakaraeng, kita perlu berjalan menyusuri jalan setapak yang kadang menanjak tajam tapi terkadang juga terjal menurun. Menurut info sih cukup 2 jam saja berjalan dari basecamp.

Danau ini pernah kami lihat dari Puncak Talung sebelum menuju ke Lembah Ramma beberapa bulan silam. Namun saat itu saya masih bertanya-tanya danau apa itu. Masih belum dapat info apapun tentangnya. Namun saat pandangan pertama kala itu, saya pun mulai jatuh cinta dan punya keinginan untuk sekalian kesana setelah camp di Lembah Ramma. Hmmm, karena masih minim info jadinya kami saat itu hanya dapat lembahnya saja. Danaunya baru kesampaian untuk didatangi awal Bulan Agustus 2015 ini.


Danau Tanralili


Danau ini juga dikenal dengan Lembah Loe karena memang lokasinya berada di lembahan yang dikelilingi tebing-tebing tinggi menjulang yang menyerupai benteng yang menyembunyikan keindahan Danau Tanralili. Oiya, sempat saya singgung di postingan terdahulu kalau menuju Lembah Ramma saja yang punya start pendakian yang di dusun yang sama tapi setelah melewati Pos 1 akan terdapat perbedaan jalur yang saling bertolakan dengan yang mengarah ke Puncak Bawakaraeng. Nah, apalagi yang ini. Danau Tanralili punya titik awal trekking yang berbeda dengan Puncak Bawakaraeng maupun Lembah Ramma. Tapi ajaibnya kalau mau berjalan lebih jauh lagi ternyata terdapat jalur trekking untuk lanjut ke Lembah Ramma setelah menyambangi Danau Tanralili. Tapi kalau yang lanjutan ini saya belum nyoba. Jadi belum bisa memperkirakan berapa lama waktu tempuhnya. Atau mungkin ada teman-teman yang sudah pernah dari Tanralili lanjut ke Ramma? Berapa lama waktu yang kalian habiskan? 
Kapan-kapan bisa dicoba lah.
20:27:00 16 komentar

Puncak Rante Mario (3.478 mdpl), Pegunungan Latimojong

Nggak hanya di level dunia yang punya seven summits, di Indonesia pun ada. Dari ratusan gunung yang terpancang di negri kita tercinta, tentunya ada 7 puncak yang menjadi puncak tertinggi yang mewakili 7 gugusan pulau besar Indonesia.

Diantaranya yang pernah saya daki adalah Semeru (3.676 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi Pulau Jawa. Beberapa saat lalu saya juga berkesempatan mendaki salah satu yang lain dari seven summits-nya Indonesia yaitu Puncak Rante Mario (3.478 mdpl) bagian dari Pegunungan Latimojong yang menjadi pucak tertinggi Pulau Sulawesi. Puncak Tertingi Kepulauan Nusa Tenggara, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) pun alhamdulillah tercoret dari daftar rencana di tahun 2015 lalu.

Terkhusus melalui postingan ini bakal dikupas tuntas mengenai pendakian saya bersama dua rekan sesama anggota STAPALA STAN yaitu Samin dan Primbon menuju Puncak Rante Mario. Nggak perlu panjang lebar lagi, mari kita kenalan dengan Latimojong.

PEGUNUNGAN LATIMOJONG

Pegunungan yang juga mendapat predikat Big Mountain ini punya batas-batas yaitu sebelah baratnya adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan adalah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang, dan bagian timur seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu sampai ke Teluk Bone. Semuanya masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Pegunungan ini punya beberapa puncak yang mempunyai elevasi yang cukup tinggi untuk ukuran gunung di Indonesia, karenanya predikat terebut pantas disandangnya.

Berikut nama puncak-puncak yang ada di Pegunungan Latimojong:

Puncak-puncak yang membentang dari Barat ke Timur yaitu:

  • Gunung Pantealoan 2.500 mdpl
  • Gunung Pokapinjang 2.970 mdpl

Puncak-puncak yang membentang dari Utara ke Selatan adalah:

  • Gunung Sinaji 2.430 mdpl
  • Gunung Lapande 2.457 mdpl
  • Gunung Sikolong 2.754 mdpl
  • Gunung Rante Kambola 3.083 mdpl
  • Gunung Rantemario 3.478 mdpl
  • Gunung Nenek Mori 3.397 mdpl
  • Gunung Bajaja 2.706 mdpl
  • Gunung Latimojong 3.305 mdpl

Jalur pendakian menuju puncak-puncaknya ada beberapa alternatif pilihan, diantaranya:

  • Kec. Mingkendek, Kab. Tanah Toraja,
  • Kec. Baraka, Kab. Enrekang, dan
  • Ranteballa Kec. Latimojong, Kab. Luwu.

Dari ketiga jalur yang sering dilalui itu, kami memilih melewati jalur yang paling favorit yaitu melalui basecamp Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kec. Buntu Batu, Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan.

Sekitar jalur pendakian masyarakatnya didominasi oleh Suku Duri, yang sehari-hari berinteraksi menggunakan Bahasa Duri. Jangan kaget kalau ada beberapa warga yang jika disapa akan menjawab dengan bahasa yang tidak kita ketahui. Begitu pun yang saya alami waktu itu. Sempat bertemu dengan anak-anak yang usai memancing di sungai dan iseng kami tanya dimana mereka mencari ikan malah mereka seperti bingung dengan apa yang kami tanyakan, padahal kami menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi memang dengan kondisi mereka yang bertempat tinggal sangat jauh dari kota, mungkin hal demikian bisa dimaklumi.

Suku Duri  mendiami daerah pusat Kecamatan Baraka hingga Dusun Karangan pada jalur pendakian Latimojong. Mayoritas mereka merupakan petani kopi. Mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang mereka bersemayam di tempat – tempat tertentu di Latimojong. Begitu pula dengan berbagai tempat disana dianggap memiliki penunggu. Hiii serem... Tapi selama saya mendaki bersam 2 orang teman nggak ada sesuatu apa pun yang mengganggu kok. Lagi pula mereka tidak bakal menganggu kalau kita tidak macam-macam. Satu macam saja cukup, hehehe...

Yaaa, Dusun Karangan sangat jauh memang. Sudah pernah dengar cerita pendaki-pendaki Latimojong bagaimana mereka bisa mencapai Dusun Karangan yang merupakan basecamp pendakian dan dusun terakhir sebelum trekking ke puncak?

Hmmm, belum mendaki saja butuh perjuangan ekstra loh. Untuk menuju basecampnya butuh kesiapan mental menghadapi medan-medan yang off road.
Biar lebih enak, gimana kalau cerita selanjutnya dalam bentuk time line saja???

Simak terus yaaa cerita kami sampai ke puncaknya dan bisa bersujud syukur di tanah tertinggi Pulau Sulawesi itu hingga bisa turun lagi sampai basecamp dengan selamat sentosa, adil, dan makmur !!!

00:32:00 26 komentar


Kenalnya saya dengan Lembah Ramma ini bersamaan dengan perkenalan saya dengan Gunung Bawakaraeng. Bagaimana nggak barengan, secara dua spot tersebut merupakan satu paket keindahan alam istimewa yang ada di Kab. Gowa, Sulsel. Kabupaten tersebut bersebelahan dengan Kota Makassar, sehingga yang dari dalam kota maupun luar kota bahkan luar provinsi bisa dengan mudah menapaki dua spot tersebut. Karena lokasinya yang strategis itu pula, tempat tersebut menjadi destinasi yang difavoritkan.

Oiya ngomong-ngomong sepaket, jangan dibayangin kayak Rinjani sepaket dengan Danau Segara Anak, Semeru dengan Ranu Kumbolo, beda dengan Bawakaraeng dengan Lembah Rama. Beda banget setelah tahu kemarin secara langsung. Tapi awalnya memang saya kira itu sepaket bener-bener sepaket kaya Rinjani dan Semeru. Di tulisan ini pula bakal saya ceritakan bagaimana jelasnya bisa beda begitu. “ Tetap mi di tempat dudukta’...!!! “

Begini singkatnya...

Kalau kita mendaki Gunung Rinjani tentunya kita bakal singgah di Danau Segara Anak, karena itu merupakan salah satu spot yang istimewa yang dimiliki Rinjani. Biasanya kalau sudah dari Puncak Anjani, pendaki Rinjani biasanya turun sekaligus mampir di danau vulkanik tersebut karena masih dekat dengan jalur utama pendakian. Tapi belum tahu juga sih persisnya kayak apa yang di Rinjani itu, sebatas info-info dari pendaki lain. Soalnya saya baru awal Mei 2015 ini berencana mendaki Rinjani sekaligus membuktikan statemen saya tadi. Mau gabung? Jadwal pendakian bisa dilihat disini nih.



Setali tiga uang dengan Rinjani, Semeru pun demikian. Kalau kita mau mendaki sampai Puncak Mahameru, pastinya bakal melewati Ranu kumbolo, entah pas naik atau turunnya. Asal nggak motong jalan loh, tetap di jalur yang benernya. Kalau yang Semeru kebenarannya terpercaya. Soalnya sudah dua kali lho saya kesana. Hehe.... (yang baca pada mbatin : “Aku aja udah 5 kali ke Semeru gak pamer, Ardiyanta baru dua kali aja pamer). Hahahahahah....

Oke, balik ke Gunung Bawakaraeng dengan Lembah Ramma-nya. Paket ini jangan dibayangkan seperti dua contoh gunung sebelumnya. Kalau yang ini, dengan terpaksa kita harus memilih mau ke Puncak Bawakaraeng atau ke Lembah Ramma. Karena apa? Jalurnya pendakiannya terpisah pake banget.
23:31:00 15 komentar


Beruntungnya saya yang punya FB dan selalu bisa menemukan hal-hal yang kadang tidak ditemukan orang lain disana. Satu hari, seperti biasanya saya yang selalu tidak bosan memandangi tulisan-tulisan di dinding facebook yang isinya macem-macem mulai dari curhatan, makian, iklan, foto-foto selfie dengan bibir yang dimonyong-monyongin, sampai ajakan-ajakan piknik di grup-grup yang makin kesini makin rame saja dengan orang-orang yang pengen piknik, termasuk saya. Kalau dimanfaatkan untuk hal positif, media sosial sangat banyak manfaatnya. Nah, itu pula yang membuat saya makin berterimakasih sama yang namanya FB karena dia bisa jadi sarana bertukar info hingga akhirnya saya bisa menemukan ajakan trip yang sangat menggugah selera.

Yap, dari sekian open trip yang nongol di wall FB saya, mata saya tertujukan pada ajakan seorang member dari grup “Makassar Backpacker” yang ngajak trip ke Pulau Lanjukang plus bonus 2 pulau lain yaitu Pulau Langkai dan Badi. Dari foto yang dishare mengikuti postingannya membuat saya makin ngiler saja. Pake kuota lagi tripnya. Sudah, tanpa pikir panjang saya pun langsung meregistrasikan nama saya dalam list peserta trip. Satu hal lagi yang bikin makin semangat adalah ongkos alias iuran per orangnya Rp 100.000,- doang uda dapet tiga pulau keren.

Menuju 3 Pulau Eksotis

Pada hari H, kami berkumpul di depan Pelabuhan Paotere Makassar. Pelabuhan ini adalah pelabuhan tua peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang sudah ada sejak abad ke-14. Pada masa Raja Tallo ke-2, sebanyak 200 armada Phinisi diberangkatkan dari pelabuhan ini untuk menyerang Malaka. Sampai saat ini kita bisa melikat kapal-kapal phinisi yang bersandar di Pelabuhan Paotere. 
Namun, kami nggak naik kapal Phinisi juga kali ke Pulau Lanjukangnya, kami cukup naik perahu bermesin motor tempel (jolloro) dengan dua deck sudah cukup. Satu kapal itu diisi 42 orang belum termasuk nahkoda dan rekannya. Dengan segitu banyak orang kami nggak bersempit-sempitan kok, pokoknya pas.

Kalau Papua punya kepulauan Raja Ampat, Jakarta punya Kepulauan Seribu, Sumatra punya Kepulauan Anambas, Kalimantan punya Kepulauan Derawan, maka Sulawesi Selatan punya Kepulauan Spermonde yang kurang lebih mencakup 120 pulau dari Takalar sampe Pangkep termasuk tiga pulau tersebut. Ketiga pulau yang bakal kami datangi berada di wilayah yang sama yaitu Kelurahan Barrangcaddi, Kec. Ujung Tanah, Kota Makassar, kecuali Pulau Badi yang masuk dalam wilayah administrasi Kab. Pangkep.


sumber: SAC Makassar

Urutan pulau yang kami datangi adalah Pulau Langkai, Pulau Lanjukang, lalu Pulau Badi. Pulau Lanjukang jadi pulau yang diprioritaskan, karenanya kami bakal menghabiskan malam minggu dengan camping di pulau tersebut. Meski yang terdekat dengan Makassar adalah Pulau Badi tapi pulau ini yang kami datangi terakhir.

22:39:00 19 komentar

Tongkonan Toraja
L
ovely December termasuk salah satu event adat terbesar di Indonesia yang diselenggarakan di Tana Toraja dan sayang banget untuk dilewatkan bagi kalian yang doyan banget sama hal-hal yang berbau etnik dan kultur. Dari namanya saja pastinya even tersebut digelar pada bulan Desember, tepatnya menjelang perayaan Hari Raya Natal dan sifatnya tahunan. Banyak acara yang digelar dan semuanya seru-seru, hanya bisa dilihat di Toraja deh. Salah dua upacara yang paling tenar di Toraja adalah Rambu Solo' yang merupakan upacara kematian dan Rambu Tuka' yang tak lain adalah upacara pernikahan. Tapi dari keduanya yang paling keren diantara yang terkeren adalah upacara kematiannya. Banyak orang yang bilang orang Toraja cari duit buat mati. Upacara kematian selain bermakna kedukaan juga berarti pesta. Gak salah kok dan itulah yang terjadi di sana. Saat upacara kematian itulah duit keluar dengan gampangnya. Bisa sampai angka miliaran lho untuk upacara kematian saja. Lebih lagi upacara tersebut tak hanya dilakukan satu prosesi saja, banyak rangkaian upacara mulai dari sesaat setelah meninggal hingga akhirnya “dikubur”. Hal itu karena setelah mati mereka tak lantas langsung dikubur seperti kebanyakan orang mati, tapi diawetkan dulu selama beberapa waktu dan bahkan sampai tahunan. Wow, makanya Toraja terkenal pula dengan mummy-nya. Disamping itu ada pula upacara yang namanya Ma’nene’ yaitu upacara mengganti pakaian mayat yang sudah diawetkan dan kalau beruntung kita bisa melihatnya dari dekat upacara tersebut. 
Duit milyaran itu habis dimananya ya kira-kira, kok bisa-bisanya upacara kematian bisa memakan dana hingga angka “M”. Nah, itu pula yang menjadikan Toraja istimewa dan patut masuk Dream Destination kamu. Duit milyaran itu habis di kerbau. 




Yap, KERBAU sodara-sodara, hewan yang dalam bahasa setempat disebut “Tedong” itu memang sangat bernilai lebih. Orang Toraja nggak tanggung-tanggung bisa mengorbankan ratusan kerbau dan harga tiap kerbaunya bisa mencapai ratusan juta, ckckckck. Belum kalau yang dikorbankan adalah kerbau yang warnanya belang pink coklat, hmmm harga satu ekor saja bisa semilyaran. Kerbau belang di Toraja ada berbagai jenis, yang membedakan cuman keadaan belang serta tanduknya. Ada Tedong Salekko, ada Tedong Bonga, ada yang tanduknya panjangnya dua meter punya nama sendiri, ada yang tanduknya melengkung ke bawah punya namanya sendiri, banyak deh. Bagi kalian yang pernah melihat kerbau belang seperti yang saya gambarkan itu apakah berarti kalian melihat kerbau yang harganya semilyaran juga? Sayangnya tidak bro, kerbau belang semilyaran itu cuma berlaku bagi kerbau Toraja. Bagi kerbau-kerbau belang dari daerah lain, maaf yaaa kalian tidak berharga dimata orang Toraja.
Oh iya... cerita sedikit ya tentang masa kecil saya. Masih inget banget saat SD dulu ada pelajaran menggambar. Suatu hari Bu guru nyuruh buat menggambar salah satu rumah adat yg ada di daerah-daerah di Indonesia. Saya yg saat itu tinggal di Jawa Tengah tak lantas menggambar Rumah Joglo yg jadi rumah khas provinsi saya itu.
Kebetulan saya punya Buku Atlas yg isinya lengkap, tak hanya gambar peta-peta tapi komplit dengan kebudayaan dan wisatanya.

Saya buka bagian rumah adat karena memang sedang ada tugas untuk menggambar rumah adat. Setelah pikir-pikir lama, biasa lah anak SD susah menentukan pilihan. Sampai akhirnya mata saya tertuju pada satu rumah adat yang bentuknya sangat unik, disitu tertera namanya yaitu “Tongkonan”. Hingga akhirnya entah mengapa saya putuskan untuk menggambar rumah adat Suku Toraja itu.
19:07:00 14 komentar


Ini adalah kali kedua kedatangan saya ke Dusun Berua, sebuah dusun kecil yang terisolasi oleh pegunungan karst keren yang tinggi menjulang, namun menjadi kunjungan yang pertama dengan teman-teman sekantor.

Ya, ini adalah rangkaian trip kami ke Makassar yang sebelumnya telah kami awali dengan mengunjungi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang niatnya mau melihat kawanan Kupu-kupu tapi ternyata belum musimnya. Namun dengan datang di saat bukan pada musimnya  ternyata nggak semengecewakan yang diduga, masih banyak hal lain yang bisa dinikmati disana. Keindahan alamnya saya sendiri menilai sangat lengkap. Pentas kawanan Kupu-kupu hanya salah satu yang ditawarkan olah TN Babul, yang lain masih banyak lagi kok tenang saja.


Begitu puas menyusuri seluruh penjuru taman nasional tersebut kami keluar gerbang dulu dan duduk sejenak untuk mempertimbangkan destinasi yang akan kami kunjungi selanjutnya. Apakah TamanPurbakala Leang-leang atau Dusun Berua di Rammang-rammang. Mengingat waktu yang terbatas dan sudah agak kami habiskan di Bantimurung jadi akhirnya kami putuskan untuk ke Dusun Berua saja, melihat sebuah dusun yang dikelilingi pegunungan karst yang sangat indah dan untuk menuju kesana dicapai dengan menyusuri Sungai Pute menggunakan perahu wisata yang disewakan penduduk sekitar. 

Akses menuju ke Dusun Berua sudah pernah saya ceritakan di catatan perjalanan saya disini nih. Jadi bagi teman-teman yang belum tahu bagaimana cara menuju Dusun Berua, silahkan buka link tersebut sekalian biar tahu apakah ada perbedaan antara kali pertama kedatangan saya ke tempat tersebut dengan yang kedua kalinya ini karena saya datang di dua musim yang berbeda. 
16:15:00 No komentar

Anak muda jaman sekarang memang sukanya kumpul-kumpul dengan yang punya kesukaan yang sama, termasuk kami yang punya minat lebih dengan yang namanya mendaki. Kami yang awalnya adalah sekumpulan perantau dari Tanah Jawa yang ditempatkan sama-sama di Pulau Sulawesi dan disatukan lagi dalam suatu pendakian Bawakaraeng Agustus 2014 silam, membuat kami memutuskan untuk memberi nama pada perkumpulan kami ini. Dan dalam pendakian kedua menuju Puncak Lompobattang yang punya ketinggian sekitar 2.870 mdpl pada tanggal 11-12 Oktober 2014 lalu, barulah tercetus satu nama yang begitu mewakili masing-masing dari kami. Cuman lucu-lucuan saja lah, biar kalau bikin grup di WhatsApp ada nama kerennya gitu hahah. "JAVABEST" yang kepanjangannya "Orang Jawa Penempatan Celebest" adalah nama yang akhirnya kami pilih yang begitu merepresentasikan kami semua.

GUNUNG LOMPOBATTANG

Pendakian kedua setelah mendaki GunungBawakaraeng (±2.830 mdpl) yang tak sampai ke puncaknya karena terhalang badai dengan 14 orang dalam satu tim bakal kami susul dengan pendakian ke Gunung Lompobattang yang berada di sebelah selatan Gunung Bawakaraeng. Kali itu kami mendaki dengan anggota tim setengah dari jumlah personil pendakian yang lalu.


GUNUNG LOMPOBATTANG (±2.870 mdpl)

Gunung tidak berapi ini terletak masih dalam satu deretan dengan Gunung Bawakaraeng dan juga sama-sama berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Gunung dengan nama yang berarti "Perut Besar" ini tak kalah pamornya dengan Bawakaraeng, termasuk yang menjadi favorit para pendaki. Saat musim haji atau menjelang Idul Adha pun ramai. Selain pendaki, penduduk sekitar pun yang masih menganut suatu kepercayaan tertentu turut meriuhkan gunung tersebut.

Mengenai jalur pendakian, menurut info yang kami dapat bisa melewati Malino yang berdekatan dengan jalur pendakian Bawakaraeng namun berbeda dusun. Jalur pendakian Lompobattang sisi utara diawali dari Dusun Lengkase. Dari Basecamp Bawakaraeng (Dusun Lembana) masih naik lagi. Kami belum tahu letak tepatnya sih karena kami saat itu melewati jalur yang lain yaitu Desa Malakaji yang merupakan jalur selatan.

Jalur selatan pendakian Gunung Lompobattang diawali dari Dusun Lembang Bu’ne. Memang masih termasuk wilayah Kab. Gowa, namun untuk menuju basecamp Dusun Lembang Bu’ne kita perlu melewati 2 kabupaten yang lain yaitu Takalar dan Jeneponto. Sangat jauh memang, saat itu kami yang menyewa mobil pick up menghabiskan 5 jam berada di atasnya sebelum akhirnya sampai ke basecamp. Dari Kota Makassar pukul 07.00 pagi menuju Kab. Gowa via Sungguminasa lalu melewati Kab. Takalar selanjutnya Kab. Jeneponto hingga masuk lagi di Kab. Gowa.

saat kami melintasi sebuah pasar di Kab. Jeneponto
Melewati jalanan aspal yang terlihat masih baru dan tentunya mulus, akhirnya kami sampai juga di wilayah Kecamatan Tompobulu. Mulai dari situ jalanan mayoritas berbatu dan banyak genangan air karena memang mulai masuk ke dusun-dusun menuju Desa Malakaji. Bagitu menemukan desa tersebut, saatnya mencari letak dusun dimana titik awal pendakian akan dimulai, yaitu Dusun Lembang Bu’ne. 

Kami cukup kesulitan saat hendak mencari basecampnya, padahal dusun yang dimaksud sudah kami temukan. Gampangnya, titik awal pendakian punya patokan yaitu sebuah masjid yang bernama Masjid Al-Ikhlas dan perijinan bisa dilakukan di kediaman Tata Juma. Perlu masuk ke jalan kecil berbatu di depan sebuah rumah tembok atau warga setempat menyebutnya rumah batu untuk sampai kesana. Rumah itu sangat mudah menjadi patokan karena di sekitarnya mayoritas rumah penduduk berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Mobil bisa melewati jalan berbatu yang cukup menanjak tersebut untuk menuju basecamp, namun tentunya mobil yang punya tenaga ekstra yaaa. 

kami ber-7 di depan Masjid Al-Ikhlas, Parambintolo

Kami tiba di Masjid Al-Ikhlas tepat sebelum kumandang adzan dhuhur. Karenanya kami sempatkan dulu untuk sholat dhuhur sekaligus ashar di masjid tersebut. Meski saat itu cuaca sangat panas terik, namun merasakan berwudhu dengan air disana serasa berwudhu dengan air es, brrrr.

Kami pun siap mendaki Lompobattang di tengah terik matahari siang itu. Gunung bisa terlihat jelas di depan kami namun tanah tertinggi yang nampak saat itu bukan puncaknya, tapi Pos 7. Dari bawah terlihat pendek memang, karena yang tampak bukan puncaknya. Puncak masih berada di sebaliknya yang entah masih sejauh apa kami harus melangkah. Usai berdoa kami mulai melangkah sedikit demi sedikit menuju puncaknya.

jalanan berbatu awal pendakian,
tapi jangan mengikuti jalan ini terus ya...


18:10:00 6 komentar
Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)