YouTube instagram facebook twitter tumblr linkedin
  • Home
  • Features
    • Budaya
    • Pendakian
    • Wisata
    • Alam
  • Documentation
  • My Profile

www.ardiyanta.com

Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau besar utama meliputi Pulau Komodo, Rinca, dan Padar disamping terdapat pulau-pulau kecil yang lainnya. Keindahan yang dimilikinya nggak hanya di daratannya, namun bawah lautnya pun memiliki keindahan dan biodiversitas flora maupun fauna yang telah mendunia kepopulerannya. Destinasi kece tersebut menjadi salah satu dream destination saya yang sudah sejak lama ingin disambangi. Siapa sih yang nggak ngiler melihat postingan-postingan para traveler yang hilir mudik di dinding Instagram yang memamerkan keindahan tempat keren ini. Finally kesampaian juga kesana meski dengan bantuan trip organizer. Lagi nggak pengen ribet aja sih sebenernya, pengen tinggal bawa badan doang. Pasalnya trip ke Komodo Flores ini menjadi rangkaian perjalanan setelah mendaki ke Gunung Argopuro yang saat itu menjadi pendakian terpanjang yang pernah saya lakukan. Pikir saya mumpung sudah di Jawa Timur kan tinggal dikit lagi buat ke Flores, ketimbang harus pulang dulu kan. Apalagi kalau sudah pulang tuh agak mager mau keluar-keluar lagi. Sekalinya keluar langsung dapet Gunung & Laut dalam satu rangkaian perjalanan itu kan lebih seru dan ekonomis. Hasilnya peralatan pendakian penuh lumpur pun ikut terbawa sampai ke NTT sana.



Setelah lebih dari setahun trip ini berlalu, baru ada hasrat buat nulis pengalamannya. Maklum lagi disibukkan sama urusan kuliah. Tapi insyaallah keseruannya masih teringat jelas dan siap untuk dishare kok. Foto-foto juga masih tersimpan rapi. Sayang aja kan kalau nggak dipamerin hehehe. Menuju bandara Juanda Surabaya sempat ada insiden hampir ketinggalan pesawat. Perjalanan dari basecamp Bremi di Probolinggo menuju Surabaya yang semula diperkirakan bakal tepat waktu, akhirnya buyar karena macet di beberapa ruas jalan. Sudah terbayang pula kalau ketinggalan pesawat menuju Denpasar, itu artinya penerbangan selanjutnya pun bakal ikut kacau. Untuk menuju ke Labuan Bajo, saya memilih untuk melakukan penerbangan ke Denpasar terlebih dulu. Banyak sih alternatif rutenya, bisa langsung bisa juga transit-transit segala macem demi mendapat harga yang paling nyaman di kantong.


Malam itu sampailah di Ngurah Rai International Airport. Masih harus nunggu sampai pagi sih untuk penerbangan ke Labuan Bajo-nya. Kalau kemarin ketinggalan pesawat pun sebenarnya masih ada waktu, tapi siapa sih yang mau nombok beli tiket lagi. Menunggu pagi, jadilah saya dan satu teman jaman SMA ngemper di bandara, yang penting ada colokan aja beres lah acara killing time-nya.

Pagi pun tiba, saatnya terbang menuju Labuan Bajo. Waktu itu lagi musim hujan memang. Saat pendakian Gunung Argopuro pun hujan senantiasa menemani sebagian besar perjalanan. Berharap saat di Taman Nasional Komodo nanti hujan nggak mendominasi hari-hari kami. Namun benar saja, begitu sampai di Labuan Bajo kami sudah disambut dengan hujan. Kami langsung diajak menuju salah satu cafe untuk istirahat sejenak sembari menunggu hujan reda. Mau gak mau hujan menjadi resiko yang harus diambil kalau kebetulan punya jadwal ngetrip bertepatan dengan musim hujan.


Bim salabim... akhirnya hujan reda dan matahari pun menampakkan cahayanya. Trip pun dimulai dengan diarahkannya kami menuju kapal yang nantinya bakal kami tinggali untuk beberapa hari kedepan. Duhhh, mabok laut ga ya 4 hari 3 malam jadi manusia laut. Kelar makan, kapal kemudian melaju ke spot demi spot yang kesemuanya ajiiiibbb.




1. Loh Buaya
Destinasi pertama yang dituju adalah Loh Buaya. Entah kenapa pake bawa-bawa buaya, padahal kan mau nengokin komodo kan yan. Letaknya di Pulau Rinca dan merupakan spot untuk melihat komodo dari jarak yang tergolong sangat dekat. Tentu kita nggak serta merta melihat komodo begitu saja. Begitu tiba di lokasi, kami disambut oleh guide lokal yang lebih tepat kalau disebut ranger yang kemudian akan menjelaskan rute trekking untuk melihat komodo secara lebih dekat. 



Ada beberapa rute trekking dan saat itu kami dipilihkan rute paling pendek karena kami sampai disana sudah terlampau sore, maklum lah tadi nungguin hujan reda dulu lumayan lama. Oiya, komodo akan menampakkan wujud nyatanya dengan terlebih dulu dipancing oleh sang ranger. Dengan senjata berupa tongkat kayu khusus dengan ujung bercabang menyerupai ketapel, ranger siap melindungi kita dan menghalau serangan komodo kalau-kalau “si komo” ngamuk dan berusaha menyerang. Udah tau kan kalau gigitan komodo sangat fatal akibatnya. Air liurnya itu loh yang berbahaya, banyak bakterinya. Okay, yang penting kalau udah didampingi ranger aman lah, tapi tetap waspada dan jangan sekali-kali membuat komodo ngamuk. Nggak lupa kami juga mengabadikan sedikit gambar dengan arahan dari bapak ranger. Waw...!!! hasilnya kami seolah-olah memegang komodo. 


View this post on Instagram

A post shared by Ahmad Andrias Ardiyanta (@ardiyanta) on Mar 6, 2017 at 5:44pm PST


Komodo akan sering ditemukan di sekitar dimana dia menetas. Agresif, Tidak ada ti tempat lain di dunia ini meski ada yang mengatakan kalau asal mereka malah dari Australia karena sempat ditemukan fosil kerangka komodo yang berusia puluhan ribu tahun. Membunuh kerbau dengan gigitan mematikan, memakan bangkai lebih sering makan bangkai daripada berburu. Bisa mendeteksi bau dari bangkai sampai radius sekitar 10 km, perlu makan hanya sebulan sekali. Pencernaan lambat, berjemur, muntah sisa sisa makanan yg keras. Kanibal kalau nggak ada makanan yang tersedia di alam. Nggak segan untuk memangsa komodo kecil.

Beranjak dari kerumunan komodo di sekitaran Loh Buaya, kami lanjut trekking menaiki tanjakan menuju satu bukit dengan hanya terdapat satu pohon. Katanya sih dijuluki pohon jomblo karena saking udah terlalu lamanya sendiri (kayak sapa yaaa???). Nggak lama kami sampai di puncak bukit melihan indahnya Pulau Rinca dari atas, gelap pun tiba. Turunlah kami menuju kapal yang bersandar di dermaga dan hari pertama di atas kapal pun kami habiskan di tepian Pulau Rinca. Esok hari kami bakal berlayar menuju Pulau Padar, pulau dengan lekuk-lekuk pantainya yang unik.



02:06:00 No komentar

Nama Ciremai baru akrab terdengar di telinga saya sebenarnya setelah hobi mendaki gunung berjalan sekian waktu, salah satu sebabnya karena letaknya berada di provinsi yang berlainan dengan tempat tinggal. Mengakrabi sekaligus mendaki gunung-gunung yang berada di sekitaran Jawa Tengah saja butuh waktu hampir setahun. Untuk memilih gunung-gunung di provinsi tetangga, waktu itu saya lebih memprioritaskan untuk mendaki gunung yang ada di Jawa Timur dulu. Barulah setahun belakangan ini, tahun 2016, saya yang “makan bangku”  kuliah lagi di PKN STAN Bintaro mulai berkenalan dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat.

Beberapa waktu berjalan, Ciremai akhirnya bisa saya sambangi puncaknya di akhir 2016 lalu via jalur pendakian Apuy barengan saudara-saudara di Kelompok Pecinta Alam STAPALA PKN STAN. Ceritanya bisa dibaca disini nih, khusus postingan kali ini bakal dibahas mengenai pendakian menuju puncak tertinggi Gunung Ciremai via jalur pendakian Linggarjati.





Mendengar nama Linggarjati apa yang kalian ingat? Hmmm, kayak pernah denger gitu yak. Pastinya pernah lah, terlebih bagi mantan anak sekolahan yang dulu pernah belajar IPS Sejarah. Yap, jalur pendakian Gunung Ciremai yang satu ini melewati lokasi dimana Perundingan Linggarjati antara yang dilaksanakan antara Indonesia dan Belanda pada 11-13 November 1946. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan dimana Belanda mengakui secara de facto wilayah RI yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura serta membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni. Itung-itung mengingat sejarah bangsa lah ya hehe. Btw kalau kalian pengen lebih greget lagi mengingat sejarah tersebut, bisa banget loh mampir sekalian dan melihat-lihat isi gedungnya. Lebih santai sih enaknya kalau pas udah turun gunung saja mampir ke gedung Perundingan Linggarjatinya.
00:22:00 9 komentar

Dalam Bahasa Jawa, “ardi” merupakan salah satu Dasa Nama atau nama lain dari gunung selain arga, giri, meru, dll. Mungkin karena itu pula ikatan batin saya dengan gunung bisa dibilang erat. Pendapat saya pribadi sih hehe. Pasalnya setiap ada waktu luang atau tanggal merah sehari saja langsung kepikiran mau mendaki gunung mana lagi yah. Naluri pendaki kali yaaa.

Pernah pula satu ketika setelah lulus kuliah, saya punya waktu yang super lowong selama satu tahun untuk menunggu penempatan kerja. Nah, saat itu adalah saat dimana saya gencar-gencarnya menjadi pendaki gunung. Bisa hampir tiap bulan mendaki bahkan sempat dua minggu sekali mendaki gunung. Terlebih lagi karena sangat mudah menemukan gunung-gunung tinggi di sekitar tempat tinggal. Secara saya hidup sedari kecil berada di sekeliling pegunungan. Mulai saat itu pula, hobi mendaki gunung saya geluti benar-benar.

Makin kesini hobi kadang berbenturan dengan kerjaan. Tapi jangan sampai pekerjaan menghalangi hobi lah yaaa. Hehe… Bercanda… Kalau bisa sih seimbang, toh bisa naik gunung duitnya dari kerja. Kesempatan naik gunung seperti saat baru-baru lulus kuliah itu rasanya saya dapatkan kembali. Sekiranya antara bulan Desember 2016 sampai Februari 2017 alhamdulillah punya kesempatan mendaki beberapa gunung yang tergolong luar biasa. Awal Desember 2016 saya berkesempatan mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu Ciremai, lalu akhir Desember berhasil menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah yaitu Slamet, kemudian peralihan Januari ke Februari 2017 finally bisa menuntaskan pendakian gunung dengan jalur terpanjang se-Jawa tak lain Gunung Argopuro, dan akhir Februari 2017 bisa menginjakkan kaki di puncak tertinggi keempat di Jawa Barat meski harus menerima bantaian tanjakan kejamnya sedari awal mendaki yaitu Gunung Cikuray.

Khusus postingan kali ini bakal dibahas semua tentang Cikuray termasuk pendakiannya yang Alhamdulillah dengan lancar terlaksana beberapa waktu yang lalu. Sebagai awalan, kita kenalan dulu yuk dengan gunung dengan bentuk mirip kerucut raksasa ini.

GUNUNG CIKURAY

Gunung yang terletak di Kabupaten Garut ini memiliki tinggi puncaknya mencapai 2.821 mdpl. Jalur pendakian bisa memilih diantara 3 pilihan yaitu jalur Pemancar di Dayeuhmanggung Kecamatan Cilawu, jalur Kiara Janggot di Kecamatan Bayongbong, dan jalur di Kecamatan Cikajang. Jalur Kiara Janggot adalah jalur yang baru dibuka dan punya pertemuan jalur dengan jalur pemancar di bawah Pos 7. Dari jalur-jalur tersebut, Jalur Pemancar lah yang menjadi paling favorit meski terkenal tanjakannya yang nggak habis-habis.

Jalur Pemancar juga kami pilih untuk pendakian ke puncak Cikuray saat itu. Akses menuju titik awal pendakian cukup mudah karena gunung ini termasuk gunung yang cukup sering didaki oleh pendaki yang kebanyakan berdomisili di Jakarta. Gunung ini juga berdekatan dengan Gunung Papandayan dan Guntur yang sama-sama populer. Bisa dipilih berangkat dari Terminal Lebak Bulus ataupun Terminal Kampung Rambutan. Tapi mengenai fleksibilitas waktu, bus yang berangkat dari Terminal Kampung Rambutan lebih banyak pilihannya. Tengah malam pun masih ada bus yang berangkat menuju Garut.

Pendakian Gunung Cikuray via Pemancar

Begitu sampai di Terminal Kampung Rambutan, kami langsung diserbu tawaran-tawaran para pemburu penumpang. Jangan takut, insyaallah kalau kita menyebutkan kemana tujuan kita pasti diarahkan ke bus yang bisa mengantar kita. Betul saja, ternyata sudah semalam itu kehidupan terminal masih riuh. Bus tujuan Garut pun masih banyak banget. Yap, untuk memulai perjalanan menuju Gunung Cikuray kita harus menuju Terminal Guntur di Garut. Banyak pilihan bus yang bisa mengantar kita ke kota yang punya sebutan Swiss van Java itu. Tarifnya pun hanya berkisar 60 ribuan saja. Enaknya, bus yang kami tumpangi tanpa harus menunggu penuh sudah langsung jalan. Mungkin karena sudah ada pewaktuannya kali ya, jadi patokannya bukan penuh tidaknya penumpang.

Sekitar lima jam perjalanan yang sepenuhnya kami isi dengan tidur, akhirnya kami sampai di Terminal Guntur Kota Garut tepat sebelum adzan subuh berkumandang. Sekali lagi kami beruntung karena begitu turun bus langsung mendapat tawaran mobil pick up menuju Pos Pemancar yang tak lain adalah start pendakian Gunung Cikuray. Tentunya bergabung dengan rombongan lain, soalnya kami hanya berempat saja. Ada tiga rombongan dalam satu mobil itu yang tanpa sengaja atau hanya kebetulan saja semuanya dari Bintaro. Haha kok bisa yaaa, padahal nggak janjian.
Satu jam perjalanan di atas mobil tanpa atap dari terminal menuju titik awal pendakian di pagi hari yang dingin itu, kami sempat berhenti sejenak di salah satu warung makan yang juga menjadi tempat istirahat para pendaki sebelum atau sesudah mendaki Cikuray. Kami mengisi perut dan tak lupa membawa bekal beberapa bungkus nasi dengan lauk khas Sunda untuk dimakan saat istirahat nanti.

Usai sarapan kami lanjut lagi menuju Pos Pemancar yang sebenarnya merupakan tower relay stasiun televisi. Keluar dari desa kami mulai menjumpai tanjakan-tanjakan yang luar biasa curam. Tak lama kemudian kami sampai di satu pos perijinan dimana kami harus menulis nama anggota dan mengisi kotak seikhlasnya. Kira-kira 10 menit kemudian sebelum memasuki kawasan perkebunan teh ada pos perijinan lagi yang mewajibkan kami membayar Rp 10.000,- per orang. Kami lanjutkan lagi naik mobil untuk menuju Pos Pemancar yang sudah nggak jauh lagi.
Beberapa meter dari Pos Pemancar, kami semua turun karena dirasa mobil mengalami kesulitan melewati tanjakan terakhir yang lumayan curam meski jalannya sudah beraspal. Belum-belum udah harus jalan nanjak. Anggap saja pemanasan lah sebelum dihajar tanjakan Cikuray yang sebenarnya.

Sampai di Pos Pemancar kami repacking dan istirahat sejenak disamping warung. Kami kira bakal ada basecamp atau sekedar bangunan tertutup yang bisa digunakan beristirahat maupun bermalam kalau-kalau turun gunung kemalaman. Tapi ternyata yang ada hanya warung dan pos beratap kayu semi permanen tanpa dinding. Semoga sebentar lagi segera dibangun bangunan permanen yang bisa dimanfaatkan pendaki untuk beristirahat.
  • Pos Pemancar – Pos 1

Cuaca saat itu sangat mendukung banget. Langit membiru dan Cikuray pun nggak tertutup kabut sama sekali. Kami pun memulai pendakian dengan berdoa terlebih dulu dan toss ala-ala pencinta alam untuk menjadi penyemangat. Awal perjalanan kami langsung disambut tanjakan tajam diantara kebun teh yang ada di samping tower-tower. Cerahnya langit saat itu makin lama membuat matahari menyengat dengan sangat teriknya. Apalagi baru awal-awal pendakian gitu, belum masuk hutan jadi nggak ada peneduh sama sekali kecuali shelter di Pos 1. 

ceraaah, Cikuray menyambut kami

repacking di bawah tower


diturunin dari mobil disini

trek awal pendakian

diantara kebun teh

Hanya sekitar 5 menit berjalan dari pemancar kita sampai di Pos 1. Disitu banyak warung-warung berjajar, tapi buka hanya saat weekend saja. Dari sekian banyak warung, yang paling hits adalah Warung Cihuy. Disitu pun ternyata kita masih harus membayar biaya administrasi lagi. Kali ini Rp 15.000,- per orang. Bisa beberapa kali bayar gitu mungkin karena peruntukannya berbeda. Yang pertama mungkin administrasi untuk masuk wilayah perkebunan teh, yang kedua untuk pendakian. Gak tahu juga sih alasan tepatnya kenapa bisa dua kali bayar, di gunung-gunung lain biasanya sih sekali doang kan.

  • Pos 1 – Pos 2

Selepas Pos 1 kita masih harus mengahdapi tanjankan tapi kali ini berupa tanah keras yang dibuat menyerupai anak tangga. Suasana masih terbuka, jadi makin siang makin terik saja matahari menerpa tubuh. Nggak heran bakal sering-sering minum. Perlu diingat ya, di Cikuray jalur Pemancar ini nggak ada sumber air sama sekali jadi harus pintar-pintar memanage air agar nggak kekurangan saat naik hingga turun lagi. Paling nggak satu orang bawa dua botol besar dan satu botol kecil untuk selama perjalanan.






Warung Cihuy

Sekitar 20 menit berjalan kita akan mulai memasuki kawasan hutan. Alhamdulillah jadi teduh namun jalur seketika berubah menjadi akar-akar yang menjulur tak beraturan tapi nanjak masih tetep. Dari catper yang saya baca sebelumnya, memang jalur yang kami lewati ini minus bonusan alias konsisten nanjak. Hanya ada nanjak dan nanjak abisss.

Pos 2 letaknya agak cukup jauh dari Pos 1 hingga kami berjalan serasa nggak nyampe-nyampe. Tanjakan demi tanjakan kami lewati. Trek didominasi dengan akar-akar pohon yang memenuhi jalur pendakian. Sampailah kami di Pos 2. Terhitung dari Pos 1 kami sudah berjalan selama 1 jam.

  • Pos 2 – Pos 3

penuh akar-akar

Lanjut menuju Pos 3 tanjakan masih konsisten. Kami sampai di jalur yang cukup unik yaitu jalur menanjak yang untuk melewatinya kami harus berpegangan pada akar-akar yang memenuhi jalur tersebut. Selain itu kami juga menemui jalur dengan nama Tanjakan "Wakwaw" yang ngeri-ngeri sedap nanjaknya. Tapi karena namanya lucu jadinya kami ngelewatinya sambil ketawa-ketawa sampai-sampai capeknya pun terlupakan. 

Tanjakan Wak-waw

Lolos dari tanjakan itu kami kira sudah selesai, ternyata tanjakan lain masih mengintai untuk dilewati. Memang kami akui Cikuray sangat menghajar dengkul. Baru sampai Pos 3 kami sudah dibuat kewalahan. Saat itu kami sudah memperkirakan kalau tanjakan bakal gini-gini terus sampai puncak. Karenanya kami pun beristirahat dulu agak lama di Pos 3 sambil makan nasi yang telah dibungkus di warung tadi. Perut juga sudah keroncongan minta diisi. Hampir sama waktu untuk pos sebelumnya, menuju Pos 3 ini juga perlu satu jam perjalanan dari Pos 2.

  • Pos 3 – Pos 4

Panas terik kini telah berganti langit teduh dengan sesekali angin yang lumayan menusuk tulang berhembus. Seperti perkiraan kami sebelumnya bahwa tanjakan Cikuray jalur Pemancar ini memang sangat konsisten. Sekitar satu jam berjalan dari Pos 3 akhirnya kami sampai di Pos 4. Waktu menunjukkan pukul 12.25 WIB, disitu kami menunaikan sholat sekaligus beristirahat sejenak. Jarak antar pos hingga sampai Pos 4 lumayan sama yaitu sama-sama hampir satu jam perjalanan.

  • Pos 4 – Pos 7

Setelah Pos 4 jarak antar pos sudah nggak saling berjauhan seperti pos-pos sebelumnya yang rata satu jam perjalanan normal. Menuju Pos 5 nggak sampai setengah jam dan begitu pula ke Pos 6 atau yang biasa disebut Puncak Bayangan. Pos 6 ini berupa tanah datar yang lumayan luas untuk beberapa tenda. Kalau pun sedang ramai-ramainya masih memungkinkan untuk membangun tenda di sekitaran tanah lapang itu. Pas kami sampai disitu kami hanya melihat sebuah warung tanpa penghuni. Mungkin kalau weekend saja baru buka. Bakal rame juga pasti pendaki-pendaki dari sekitar Garut maupun dari Jakarta yang mendaki Cikuray. Secara do'i termasuk gunung favorit yang lumayan mudah juga buat dijangkau dari segala penjuru. Kami sempat ngebayangin kalau warung itu buka pasti bakal beli teh anget dulu disitu, pasalnya udara juga mulai dingin banget.

warung di Pos 6 a.k.a Puncak Bayangan

Cukup istirahat di Pos 6 atau Puncak Bayangan kami lanjut menuju Pos 7 yang merupakan pos terakhir sebelum puncak. Trek menuju Pos 7 menjadi yang terberat dari sebelum-sebelumnya. Kita juga bakal ketemu dengan percabangan dengan jalur Kiara Janggot yang baru dibuka. Tanjakan yang menghajar dengkul bakal sangat kita rasakan disini selain karena tenaga sudah terkuras dengan tanjakan pemanasan di pos sebelumnya, kemiringan  trek sebelum Pos 7 juga jempolan.

Pos 7

Pukul 15.00 WIB kami sampai di Pos 7. Kalau dihitung sejak kami mulai berjalan dari Pemancar berarti kira-kira perlu waktu 6,5 jam menuju Pos 7. Pos ini ternyata hanya muat satu tenda saja. Kebetulan pula belum ada yang nempatin. Kami segera mendirikan tenda, setelah itu kami menunggu saat sunset tiba karena kami juga berencana menikmati syahdunya matahari tenggelam di Puncak Cikuray. Jarak dari Pos 7 ke puncak hanya tinggal paling 15 menitan saja kok. Jarang banget naik gunung bisa summit dua kali dan dapat sunset sekaligus sunset. 

Pas menuju puncak ternyata di atas Pos 7 masih ada tanah lapang yang bisa muat banyak tenda. Jadi nggak perlu khawatir kehabisan tempat. Di puncak juga bisa buat camp tapi khawatirnya ada badai atau petir yang membahayakan jadi kalau camp di puncaknya mungkin bisa menjadi opsi paling terakhir dari yang terakhir. Di Puncak Cikuray yang setinggi 2.821 mdpl tersebut terdapat satu bangunan yang entah fungsinya buat apa kenapa bisa di puncaknya banget gitu. Menurut saya pribadi sih kalau sekedar sebagai shelter seharusnya dibuat di bawah puncak. Kalau pun untuk sebagai penanda puncak tertinggi lebih baik hanya berbentuk tugu saja sih. Soalnya kalau ada bangunan di puncak serasa gimana gitu. Agak sedikit ngurangin kealamian gunung itu sendiri. Menurut kalian gimana?

Bangunan di Puncak

jendela

sunset

lautan awan

Papandayan view

on the top
 
salam dari Puncak Cikuray
19:59:00 6 komentar
Setiap pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari di puncak gunung sana?

Kalau ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain jadikan alasan kenapa mendaki gunung. Semua orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua kaki ini disana secara langsung bukan.

Argopuro, Mount of Thousands Savanas

Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.

 

Menuju Basecamp Baderan

Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan.  Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti kami, bisa drop your email on the comment form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw, jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur, bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo. Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan mobil pick up bisa dimanfaatkan buat nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit dengan jalanan beraspal nan menanjak.

Setelah mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally kami pun sampai di basecamp Baderan. So exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.

Target jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet. 

Basecamp Baderan


Yap, kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
23:44:00 64 komentar
Newer Posts Older Posts Home

Follow Us

recent posts

Blog archive

  • March (1)
  • March (1)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • October (1)
  • June (1)
  • May (1)
  • April (1)
  • March (2)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • July (2)
  • June (5)
  • March (1)
  • January (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • August (1)
  • July (1)
  • June (2)
  • May (2)
  • April (1)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (1)
  • November (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • June (2)
  • May (4)
  • April (6)
  • March (2)
  • February (1)
  • January (2)
  • December (2)
  • November (4)
  • October (2)
  • September (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (3)
  • April (6)
  • March (12)
  • February (4)
  • January (11)
  • November (3)
  • March (2)
  • February (1)
  • February (1)